I had a friend

I had a friend adalah sebuah judul lagu harmonika instrumental yang pernah aku dengar dalam film dokumenter seri perang dunia I di stasiun TV NatGeo sekitar lima tahun lalu. Aku kehilangan lantunan harmonika itu dari dalam ingatanku, selain judulnya tentu saja. Mencari lagu itu di internet lebih susah dari pada mencoba mengingat-ingat film dokumenter apa yang waktu itu aku tonton.
Ingatan akan lagu itu muncul kembali (sebatas judulnya) berkat seorang teman lama yang kini, pada detik ini, sedang merasakan hari yang mungkin terbaik dalam hidupnya. Ia baru saja lulus pendidikan S1 dari perguruan tinggi yang sama dengan tempat aku belajar kini. Butuh dua tahun lagi bagiku untuk meraih hari terbaik itu.

Sebuah perasaan asing sering kali menyerbuku hanya karena satu kejadian sederhana (Trivial Thing), karena selentingan ucapan iseng, atau sepotong ingatan masa lalu.

Aku mengenal temanku sejak tujuh tahun lalu. Masa itu 'aku' merupakan musuh terbesar bagi diriku sendiri sebab aku membencinya pada taraf yang terkadang sampai membuatku berpikir mengebu tentang betapa indahnya mati muda. Untuk mengatasi hal itu aku bertingkah dalam beberapa prilaku yang saling bertentangan. Kadang aku berusaha menonjolkan diri sebagai orang yang ramah tamah, suka dengan ketenangan masjid. Di satu pihak teman-teman terdekatku menilai aku seperti 'badut' atau komedian yang naif. Sedangkan mayoritas penilaian mengatakan bahwa aku sangat pendiam seperti orang tolol yang terjun ke hutan dan bingung mau melakukan apa. Aku melihat satu-satunya yang positif dari ketiga itu hanyalah bagian kepribadianku yang menyukai masjid.
Memikirkan semua itu sama sekali tidak berguna. Tapi paling tidak aku memperoleh pelajaran penting di awal-awal usia 20-an ini.
Lagi-lagi pelajaran itu datang berkat temanku yang aku kenal tujuh tahun lalu itu. Nah, ia sekarang resmi meninggalkan perguruan tinggi ini dan aku dirundung sebuah pertanyaan yang menyerbuku terus-menerus, apakah aku baru saja secara penghabisan melewatkan sebuah pertemanan yang teramat penting?

Tiga tahun di SMA adalah waktu paling penting yang banyak bagiannya telah aku sia-siakan, termasuk di dalamnya membangun banyak pertemanan, menumbuhkan jati diri yang sebenarnya, dan mengetahui jalan apa yang hendak ditempuh setelah lulus. Dalam tiga tahun selanjutnya hingga aku masuk kehidupan kampus, aku memikirkan banyak hal, merenungkan (yang kedua kalinya) kesia-siaanku dalam menghabiskan waktu, kesalahan-kesalahanku dalam mengambil langkah, hingga aku berakhir pada keputusan merantau ke Surabaya.

Sejak hari pertama aku sampai di kota ini, tidak sedetikpun terlewati tanpa aku berpikir negatif, bahwa semua ini adalah serentetan akibat dari perilakuku di masa SMA. Tentu saja aku salah. Tetapi jujur saja, untuk menyadari bahwa aku salah membutuhkan paling tidak pengaruh dari banyak sekali teman-teman lama. Sejak setahun lalu aku banyak menjumpai mereka, menggali sebanyak mungkin cerita, menyerap energi positif, menceritakan keluh kesahku, mendengarkan keluh kesah mereka, dan memaknai berbagai pengalaman mereka yang tidak aku rasakan, baik lewat obrolan panjang atau melalui membaca tulisan-tulisan di jejaring sosial.

Pertemuan dengan teman lama yang terakhir, kualami sekitar pertengahan bulan lalu. Dan kini (di saat-saat aku ingin sekali belajar banyak darinya) bahkan kemungkinan untuk sebatas bertemu dan mengobrol ringan telah menjadi langka. Dalam pertemuan singkat itu kuminta ia menemaniku mencari kamar yang dapat aku sewa sementara waktu, dua atau tiga bulan saja. Waktu yang dihabiskan tidak lama, hanya beberapa jam. Kami banyak mengobrol di dalam mobil dan selama waktu yang singkat itu tidak sedikitpun aku lewatkan tanpa menyerap banyak-banyak hal positif. Meski lewat kesempatan yang teramat terbatas, aku dapat meraup banyak pelajaran positif menganai bagaimana seharusnya orang berprilaku, memimpin, menyerahkan kepercayaan (bahkan sesuatu yang teramat pribadi seperti alamat E-mail), dan membangun pertemanan yang baik yang kurasa ia begitu ahli dalam hal itu. Satu perasaan teramat halus yang jarang sekali aku peroleh pelan-pelan memasukiku, bahwa seandainya aku ingin seseorang memimpinku dalam memutuskan sesuatu, maka aku perlu banyak-banyak berinteraksi dengannya; Aku merasakan satu sosok teman yang begitu aku cari-cari. Setelah hari itu, komunikasi hanya terbatas pada pesan-pesan singkat di media sosial Line.

Lagu I had a friend tampaknya akan sangat sulit bisa aku dengar lagi. Sayangnya hanya sedikit sekali informasi yang kudapat tentang lagu itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar