Padahal, hari kemarin hatimu patah
Ternyata, itu sinyal kalau berkah Allah akan datang
Apakah kamu pernah merasakannya?
Atau jangan-jangan, kamu selama ini lupa
Lupa kalau setelah ada kesulitan akan selalu datang kemudahan
Dan ternyata memang benar, setelah kesulitan, tinggal kemudahan

(Aku merasa berdosa karena telah mencuri kalimat yang sangat berharga ini)
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

-Memoar-

Sejak menyadari kepindahanku ke Surabaya adalah kasus yang sama sekali jauh berbeda dengan semua situasi yang kuharapkan dapat aku antisipasi, aku merasa tidak peduli dengan bagaimana kehidupanku nanti, apakah ia akan menjadi nyaman atau penuh kesusahan. Karena itu adalah sebentuk kepindahan nekat yang bahkan aku perlu waktu lama untuk meyakinkan diri bahwa semuanya worth it— aku telah mengorbankan begitu banyak hal serta dengan terpaksa meminta-minta pada orang tuaku—aku mengambil dalam satu kali pertimbangan sebuah kamar sewa usang di sebuah rumah tua milik pasangan lansia yang kesepian. Aku tidak bisa bilang hidup pasangan itu merana. Maksudku, bagaimana mungkin aku tidak merasa iba melihat dua orang yang telah ditinggalkan masa-masa puncak hidupnya? Meski demikian aku merasa yakin mereka tidak kurang bahagia dari pada bocah-bocah lima tahun yang baru hendak memasuki dunia. 

Pada mata orang sepuh yang menyambutku begitu aku mengetuk pintu, aku menemukan sebuah pengharapan terakhir dari usaha manusia bertahan hidup. Kuakui mereka adalah ‘pedagang ‘ yang kurang beruntung. Barang dagangan yang mereka jual telah sangat usang dan harganya kurang bisa bersaing. Tetapi aku menemukan kepolosan lewat ucapan mereka yang apa adanya. Dalam proses transaksi mereka jarang membahas menganai kamar yang hendak mereka sewakan, selain hanya sekali saja mengajakku melihat-lihat sebentar. Barangkali kesadaran tentang ketidaksempurnaan kamar-kamar itu yang membuat mereka menggiring transaksi ini berubah menjadi percakapan panjang. 

Dari pembicaraan yang objeknya menganai ‘aku’, mereka berhasil menyentuh beberapa hal dalam diriku seperti peramal yang tahu seluk-beluk kehidupan lewat garis tangan. Tipikal orang berumur senior yang merasa perlu membagi pengalaman yang berserakan dalam lemari ingatan berdebu mereka. Aku merasa sungkan untuk menghentikan pembicaraan mereka seputar detail-detail random dari berbagai kejadian yang tidak saling berhubungan. Tahulah aku bahwa bapak itu adalah pensiunan praktisi hukum, sementara istrinya adalah mantan arsitek.
Aku penasaran apa yang telah mereka korbankan sehingga pada masa tuanya hidup dalam kesederhanaan yang begitu jauh dari semua kenikmatan hidup.

Setelah percakapan selesai dan aku setuju membayar uang muka untuk satu bulan pertama, bapak tua itu menawarkan makanan. Sisa lebaran katanya.
Mendengar ia mengucapkan Lebaran, aku dan temanku saling menatap sebentar. (aku meminta seorang teman lama untuk mengantarku)
Lebaran sebetulnya sudah lewat 1 bulan. Bagiku itu sudah lama berlalu seperti kejadian bertahun lalu. Tetapi, dengan semacam kepolosan anak-anak yang sangat senang menyambut hari raya, meski dengan satu kalimat yang diucapkan tanpa sadar saja, Bapak tua itu mengesaniku bahwa hari-hari tidak lain merupakan selingan-selingan  menuju satu lebaran ke lebaran selanjutnya, hingga lebaran terakhir dalam hidupnya tiba. Selama selingan-selingan itu, ia pastinya menemukan hari-hari yang tidak menyenangkan, yang tentunya tidak perlu banyak dipusingkan selama lebaran-lebaran itu kedatangannya telah pasti.

Dalam kerangka pikiran yang sederhana itu aku menemukan penghiburan yang aku cari-cari. Hari-hari yang berjalan berisi kejadian yang bila kita membaginya menjadi dua : tragedi dan komedi, mungkin sekali akan kita dapati tragedi lebih mendominasi. Tetapi apalah artinya hari-hari buruk itu, jika pada akhirnya kita akan selalu bertemu lagi dengan hari yang sudah sangat pasti berisi segala hal yang kita sebut 'kemenangan'. Betapapun penindasan kehidupan mengoyak seseorang, selama ia ingat untuk bersenang-senang saat lebaran, maka ia menang dalam segala hal.

Oh, tapi bahkan aku tidak mampu lagi merasakan euforia yang sama yang dulu selalu membuatku melompat-lompat bersama adik-adikku saat lebaran datang. Aku belum lama berada di dasawarsa kedua hidupuku, tapi bertingkah seolah-olah seumur hidup telah berkutat dengan dunia yang berdebu ini. Lebaran kurasakan lambat laun menjadi sebentuk seremonial yang berisi kebosanan konstan.
Bapak itu kukira sudah kepala tujuh. Fakta bahwa ia menjalani hari tua dengan sederhana bersama istrinya berdua saja, dan kalimat tanpa sadar yang terlontar dari mulutnya tentang kue lebaran, membuatku merasakan betapa aku telah dikuasai perasaan dengki pada kehidupan. Kurasa aku telah memperoleh perasaan itu sejak sekolah menengah dulu, waktu pertama kalinya aku mulai menumbuhkan rasa muak pada diriku sendiri, kepribadianku yang lemah. 

Magrib sudah lama lewat saat aku pergi dari tempat kost itu. Bersama teman lamaku kami singgah di masjid sebentar. Selama duduk setelah shalat magrib aku terus-menerus memikirkan kejadian yang sederhana itu. Sebelum membaca kalimat yang dibuat temanku pada sajak yang aku cantumkan di atas, aku kesulitan menemukan perasaan apa yang paling tepat untuk menggambarkan kejadian yang sedehana itu, atau memikirkan kalimat-kalimat apa yang bakal aku tuliskan untuk membuat hal itu kuingat terus sampai lebaran-lebaran selanjutnya datang. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar