“Tiada
yang lebih tahu Jawa dari pada diri saya.” Kurang lebih begitu yang diucapkan
Raffles. Ia mengemas pengetahuannya yang melimpah soal pulau tersebut dalam
buku termahsyur History Of Java. Dikatakan pulau yang bentuknya memanjang ini
menurut bahasa berasal dari kata ‘jawawut’, semacam sebutan untuk biji-bijian
tertentu (satu informasi yang baru aku ketahui). Membaca buku itu aku tidak
merasa ngantuk meski pemaparan yang sangat formal demi kepentingan administrasi
itu sarat angka dan tabel.
Sebutan
lain pulau Jawa yang tercantum dalam buku tebal itu adalah Nusa Hara-hara,
berarti pulau liar. Mengingat karya itu ditulis dua ratusan tahun lalu, dapat
dibayangkan pulau Jawa yang dijumpai Raffles barangkali masih berupa tempat
yang belum terbangun seperti sekarang. Menghabiskan buku tebal itu akan makan
cukup banyak waktu.Tetapi kepuasan berkat informasi yang terkandung di dalamnya membuatku rela
begadang; aku seolah sedang membaca sebuah kisah tentang negeri yang asing.
Pikiran bahwa aku merasa sedang menggali informasi tentang sebuah negeri
‘asing’ saat membaca buku itu sebetulnya sangat mengangguku. Dan alasannya baru
aku pahami betul setelah baru-baru ini, karena keperluan pendidikan aku mesti
pulang pergi Sukabumi – Surabaya. Perjalanan panjang yang makan waktu hampir
seharian itu aku tempuh lewat jalur darat, menggunakan bus dan kereta. Rasanya
mudah sekali menebak apa yang ada dalam pikiran seseorang yang hidup seperti
katak dalam tempurung ini, yang karena suatu hal ia dengan enggan mesti menempuh
perjalanan jauh keluar dari tempat tinggalnya yang nyaman. Tempat tinggal yang
telah ditempatinya sapanjang umur.
Dalam
kereta aku melewati banyak daerah yang berderet-deret dari Jawa Barat hingga
Jawa Timur, kebanyakan baru aku ketahui sebatas nama. Dua ratusan tahun lalu
seorang tentara kerajaan Inggris bernama William Thorn terlibat dalam ekspedisi
militer di pulau Jawa—bentuk perjalannya jelas jauh
berbeda dengan yang aku lakukan— dan ia menulis memoar tentang
pengalamannya yang tidak terlupakan itu. Yang menjadi perhatianku adalah
komentarnya tentang Jawa. Ia menyesalkan pulau yang kaya raya itu begitu tidak
terbangun padahal Belanda telah mengukuhkan kekuasaan selama beberapa generasi.
Katanya, orang-orang Belanda begitu tergesa-gesa meraup sebanyak-banyaknya
sumber alam tanpa menunjukan keseriusan untuk membangun pulau yang telah
menjadi sumber penting bagi kemakmuran negeri mereka di seberang lautan.
Kajian-kajian demi memuaskan pengetahuan akademik atas Jawa amat jarang
dilakukan, bahkan yang sifatnya menguntungkan bagi kegiatan eksplorasi. Berbeda
jika dibandingkan dengan pemerintah Inggris yang dalam waktu singkat saja telah
mengumpulkan informasi secara mendetail, salah satu yang hingga kini masih
relefan tersusun secara cermat dalam buku karangan Raffles yang aku sebutkan di
awal. Buku yang dipersembahkan untuk Maharaja itu, yang menunjukan keseriusan
orang-orang Inggris dalam memuaskan keingintahuan akademik mereka (entah apapun
tujuan sebenarnya), sungguh-sugguh membuatku merasa malu karena sepanjang
perjalananku di kereta, aku menyadari begitu sedikit yang aku tahu tentang
pulau tempat aku menghabiskan waktu seumur hidup ini.
Sejak
aku mulai membaca sejarah, terutama tentang bangsa Eropa di sekitar abad 16
yang menjelajah laut untuk menemukan tempat-tempat baru, aku dipenuhi rasa
kagum pada bangsa itu, yang meski pada tahap selanjutnya kedatangan mereka
turut juga membawa bencana bagi masyarakat pribumi.
Penjelajahan
besar-besaran bangsa Eropa yang dalam berlangsungnya sejarah adalah satu babak
yang sangat penting, merujuk pada buku Mohammad
Hatta : politik, kebangsaan, ekonomi, merupakan sebab utama dari munculnya
kolonisasi atas negeri-negeri di Asia dan Afrika. Ada satu teori yang
menjelaskan hubungan antara nafsu menjelajah bangsa Eropa pada masa-masa itu
dengan kebiasaan manusia primitif. Hatta
mengutip dari seorang sarjana Jerman bernama Gustav Klemm, yang menurut
hipotesisnya, keinginan sekumpulan orang (masyarakat, bangsa, dan sebagainya)
untuk melakukan ekspansi bermula dari kecenderungan penghuni dataran tinggi
yang lebih aktif dan maju, dalam mengekspansi masyakat dataran rendah pemilik
sumber daya alam melimpah yang lebih cinta damai meski kurang maju. Pada saat
mereka (masyarakat dataran tinggi) telah berhasil menguasai masyarakat dataran
rendah dan keinginan untuk terus berekspansi akhirnya terhalang lautan, mereka
mulai berpikir untuk menyebaringinya. Jejak penjejahan mereka di lautan kini
dipercaya sebagai cikal bakal jalur pelayaran modern.
Faktor
yang menyebabkan masyarakat dengan peradaban maju melakukan ekspansi menurut
Klemm sebetulnya amat sederhana, hanya terdiri dari beberapa dorongan yaitu, urge of
possession, urge of fame, urge for something new, urge of collectivity,urge of
freedom, dan terakhir (dan rasanya yang paling utama), overpopulation. Di sini jelas terlihat bahwa tampaknya, kelebihan
populasi, sejak masa-masa awal peradaban telah menjadi persoalan yang coba
manusia urai. Melakukan migrasi dan membentuk koloni di ‘negeri baru’ sepertinya
menjadi solusi menjanjikan, yang menurut Klemm juga merupakan motif, meski
dalam bentuk yang berbeda, terjadinya kolonisasi baru yang dilakukan
pertama-tama oleh bangsa Spanyol dan Portugis.
Akan
tetapi, Hatta punya keyakinan bahwa
kolonisasi modern tidak bisa dijelaskan dengan hipotesis itu. Apa yang melatari
kolonisasi modern (atau ‘penjajahan’ dalam bahasa yang lebih familiar di
telinga kita) menurutnya jauh lebih kompleks dari pada sekedar
dorongan-dorongan itu. Masyarakat modern, menurut Hatta, tidak akan serta
merta, tanpa motif-motif yang lebih mendalam,
mengambil risiko terlibat dalam ‘petualangan penuh marabahaya’.
Mengutip
kata-kata yang Mohammad Hatta tulis, mencari sebab-sebab kolonisasi hampir sama
tuanya dengan kolonisasi itu sendiri. Dan lagi-lagi para peneliti menghasilkan
fakta dan sebabnya yang utama, yaitu konflik. Dan apapun pandangan kita
sekarang, faktor konflik tetaplah yang menentukan. Kalimat itu seolah
memberi tahu kita bahwa akan sangat panjang jika membahas sebab-sebab kolonisasi modern
disini. Aku sebetulnya bukan bermaksud untuk membahas hal itu dan lagi pula,
dalam buku yang kini mudah untuk didapat itu,
Hatta menguraikan persoalan kolonisasi (terutama yang dilakukan Belanda
atas Indonesia) dengan sangat lengkap serta memuaskan.
Ada
satu lagi opini dalam buku itu terkait dorongan bangsa Eropa melakukan
penjelajahan. Kutipan ini adalah inti dari argumen Jules Harmand yang Hatta
rujuk, “area-area yang luas dan subur di
dunia bakal hilang bagi ‘kita’ (Maksudnya bangsa Eropa yang beradab) dan bagi
kemanusiaan (dalam sudut pandang bangsa Eropa saja!) karena ketidakmampuan
orang-orang yang berdiam diri di sana dan karena salah pengelolaan mereka
atasnya bila sumber alam itu dibiarkan mereka kelola sendiri”.
Tentunya
Harmand menyadarai bahwa tindakan mendominasi orang lain meski tujuannya ‘mengelola
sumber daya alam demi kemanusiaan’ merupakan tindakan terkutuk. Ia mengatakan
bahwa tindakan itu, imoralitas yang terpaksa dilakukan, tidak lain adalah wujud
the
universal struggle for life. Pembenaran yang dilakukan orang-orang Eropa
atas dominasi terhadap bangsa lain serta alasan-alasan yang mereka anut, tentunya bersifat sangat urgen
ketimbang dorongan-dorongan dalam hipotesis Klemm, bahkan mereka harus
mengabaikan sisi kemanusiaan. Hal yang sungguh paradoks jika memperhatikan asas
hidup mereka yang mengedepankan ‘keberadaban’. (berlanjut)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar