Khayalan

Aku kemarin selesai membaca sebuah esai yang dibuat Sigmund Freud berkaitan dengan inspirasi, khayalan, dan mimpi. Dalam pembahasan yang tidak panjang lebar itu, aku paling tertarik pada bagian bagaimana seorang penulis dapat menemukan isnspirasinya, membentuk khayalannya menjadi semacam ‘kenyataan’ yang dipercayai oleh pembaca sungguh-sungguh terjadi. Kita memang menyadari bahwa apa yang berlangsung di dalam cerita fiksi hanyalah karangan semata. Tapi bahkan kebohongan yang paling murahan sekalipun tidak membuat kita begitu saja melempar buku tersebut, apalagi saat kita sudah terlanjur tenggelam dalam cerita. Saat aku mencoba menyimpulan maksud esai itu, mendadak aku tersenyum seorang diri, dan mulai mengagumi bagaimana aku bisa melewatkan pemikiran yang begitu mudahnya untuk dipahami itu. (isi esai tersebut bukan hanya membicarakan masalah fiksi, tetap bagian itu yang paling mudah aku asosiasikan pada kepribadianku.)

Secara kebetulan, tidak lama sebelum menemukan esai itu, aku membaca sebuah majalah sains populer. Aku terkejut pada fakta bahwa banyak sekali penemu yang menciptakan benda-benda hebat dari pikiran sederhana yang ia kembangkan secara otodidak. Pada saat aku membaca fakta itu, aku sedang dilanda perasaan murung bahwa barangkali usahaku selama ini dalam mendalami fisika bangunan, yang sebagain besar aku nikmati sepenuh hati, tidak akan banyak gunanya, mengingat bahwa di lapangan kerja orang-orang bertindak atas logika yang tidak dibangun oleh pendidikan tinggi yang didapat di bagku kuliah. Bahkan beberapa atasan yang  aku kenal secara terbuka mengunggkapkan bahwa ‘engineering judgment’ yang ia lakukan semata-mata instuisi belaka yang dibangun oleh pengalaman nekat terjun langsung dengan tangan kosong dan pengetahuan alakadarnya ke lapangan. Aku sepintas merasa ngeri saat menatap menara beton yang rupanya dibangun oleh tangan-tangan nekat nan berpengalaman itu.

Kembali pada persoalan para penemu, aku sedikit terkejut saat  membaca sejarah alat perekam suara, yang inspirasi atas temuan itu hanya berdasarkan pada pemikiran sederhana, bahwa sebuah membran yang bergetar karena suara nyaring (contohnya nyanyian), dapat dimanfaatkan untuk meggerakan semacam pena yang selanjutnya akan menggores kertas tertentu, sehingga suara dapat ‘dicatat’. Untuk menghasilkan suara imitasi, cukup membalik alurnya. Tugas sulit yang tersisa tinggal menemukan membran yang paling bagus dalam besuara mirip manusia. Kemudian cerita melompat menuju berabad-abad sebelumnya dan aku disuguhi lukisan pemuda berambut aut-autan tengah menatap apel dengan ansusias. Lalu cerita tentang orang yunani kuno yang belari telanjang di jalan dan berteriak eureka. Aku tidak akan membahas majalah sains populer itu secara panjang lebar.

Dalam kaitannya dengan sulitnya membangun motivasi diri, esai yang aku baca kemarin, serta majalah sains populer anak-anak yang iseng-iseng aku buka di perpustakaan, tampaknya merupakan semacam pertolongan Ilahi yang selama ini aku cari-cari dalam masa transisi yang aneh setelah aku menyelesaikan studi diploma di perguran tinggi. Aku merasa sangat berdosa saat menyadari selama ini aku mengabaikan nasihat universal itu, bahwa disaat-saat sulit dan membingungkan, pertama-tema kita seharusnya 'mencari' pada hal-hal kecil dan sederhana. Aku memiliki tujuan yang begitu jauh melampaui kata ‘realistis’, yang bahkan terkadang aku sendiri malu mengungkapkannya dalam sebuah do’a malam hari. Tujuan itu begitu besarnya sehingga dalam masa transisi tanggung ini, aku merasa seperti semut yang memandangi kaki manusia dari jarak satu sentimeter. Aku ngeri saat mendapati diriku yang terkadang meragukan kemampuannya sendiri, hanya karena takut pada tujuan yang aku buat dan khayalan yang aku ciptakan tanpa menindahkan kata ‘realistis’ jauh-jauh hari.

“Coba kita berkenalan dengan beberapa segi dari berkhayal. Kelihatannya orang yang bahagia tidak berkhayal, tetapi orang yang tidak puas justru melakukannya. Motiv bekhayal adalah keinginan yang tidak tercapai, dan setiap khayalan adalah tercapainya keinginan, suatu perbaikan dari kenyataan yang ada. Keinginan itu berbeda-beda sesuai jenis kelamin, sifat, dan keadaan orang yang berkhayal, tetapi secara umum terdapat dua golongan. Pertama , keiginan ambisius, yang mengangkat kepribadian subjek—dan yang kedua, keinginan erotis.” –Sigmund Freud.

Kalimat itu agak mengerikan, kurasa, jika mengingat bagaimana orang bisa begitu keranjingan dalam berkhayal sampai tidak mampu lagi memebedakannya dengan kenyataan. Tetapi hingga kini, aku selalu mendapati diriku berada dalam situasi yang memungkinkanku untuk berkhayal tanpa merasa menyesal atau malu. Anehnya aku tidak berani mengungkapkan khayalan-khayalan itu bahkan pada Tuhan sekalipun.

Fakta yang baru aku sadari belakangan itu memberiku sebuah kesimpulan sederhana. Barangkali aku hanya perlu mengumpulkan dan menyusun berbagai tujuan-tujuan praktis kecil-kecilan sehingga aku tidak perlu lagi merasa akan ditertawakan karena mungungkapakan tujuan-tujuan itu. Memulainya dengan kegiatan seperti menyusun semua tulisan yang kubuat, mengobrol dengan sebanyak mungkin tema lama yang kini sedang sama-sama berjuang dalam jalan masing-masing, atau membaca tulisan-tulisan beberapa orang teman dekat yang begitu jauh, mungkin akan mengakhiri saat-saat membingungkan ini.

-30 Ramadhan-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar