Bagian 1 : Aku lama-lama merasa tidak betah berada di rumah
Akhir-akhir ini aku merasa kurang betah saat pulang ke
rumah. Alasan ketidakbetahanku kutuliskan dalam daftar panjang. Dua diantaranya
adalah. 1) aku merasa dihakimi seisi
rumah karena kerjaanku yang tidak jelas jika pulang, bahkan pada saat liburan
seperti ini. Kukatakan pada orang tuaku bahwa ini adalah satu-satunya waktu aku bisa bermalas-malasan dengan benar, aku mengucapkan itu dengan penekanan agar nantinya mereka tidak
menyerangku dengan tatapan tidak menyenangkan saat aku bermalas-malasan. 2) Karena memang tidak banyak yang dapat aku kerjakan terutama dalam liburan
singkat satu atau dua hari semacam ini.
Dua alasan itu yang membuatku kini duduk di hadapan layar
sementara di luar hingar bingar, dan dari pengeras suara masjid terdengar imam
memimpin shalat Tarawih dengan kecepatan mengesankan (aku tidak turut andil
karena datang telat dan mendapati masjid yang penuh tidak mungkin menerima satu
orang lagi).
Agar mudah menata pikiranku, aku mulai dengan
peristiwa biasa tiga atau empat hari yang lalu saat bapakku menelepon pagi-pagi
sekali. Saat itu aku pastinya sedang tidur dan suara dering yang kupikir alarm
itu segera aku hentikan dengan kasar. Handphone aku pencet seolah ia mahluk
kurang ajar sementara aku mendumel, ‘Perasaan tadi malam alarm tidak
diaktifkan’, lalu dengan kesal aku melemparnya ke ujung ranjang (pagi-pagi saat
bangun aku kesusahan mencari dimana ia terselip).
Aku sering kali dilanda rasa malu menyadari bahwa seorang
tidak tahu diri yang ternyata Bapakku sengaja menelepon jam 5 pagi (Sejak aku
memulai masa perantauanku, kuhitung panggilan itu datang kurang lebih tiga kali
seminggu), hanya untuk mengetahui anaknya yang ia percaya masih beringsut malas
di bawah selimut. Mungkin kebiasaan ini yang membuatnya sengaja manaikan
intensitas panggilan, dan barangkali dengan kecewa di sudut yang jauh itu ia
berkali-kali meminta petunjuk Tuhan apa hal terbaik yang mesti diperbuat.
Berpikir seperti itu mendorongku untuk menelepon balik dan
minta maaf, biasanya lengkap dengan cerita karangan bahwa aku sedang ke masjid
saat panggilannya datang, dan handphone tidak aku sentuh begitu aku kembali
lantaran sibuk mengerjakan tugas atau membaca (aku tidak berani
mengarang sedang membaca Al-Quran).
Aku tahu bapakku pasti pura-pura percaya saja, dan aku
pura-pura merasa lega karena tahu di rumah sana bapakku pura-pura termakan
ceritaku. Ritual itu lambat laun membuatku jengkel karena kurang pentingnya
alasan ia membuat panggilan. Seperti tiga atau empat hari lalu, begitu aku
menelepon balik, ia hanya berkata bahwa aku jangan pulang di awal Ramadhan
tahun ini kecuali naik kendaraan umum. Aku berkata bahwa tidak ada niatan
pulang di awal Ramadhan atau pertengahannya. Tapi sehari sebelum Ramadhan, tadi
pagi, tiba-tiba aku berpikir untuk pulang.
Begitu sampai rumah reaksi orang tuaku yang biasa saja
membuatku agak lega, walaupun sejujurnya aku merasakan sedikit kekecewaan
konyol karena berharap terjadinya semacam drama kecil percekcokan antara ayah
dan anaknya yang ngotot bukan lagi anak kecil ingusan.
Sampai rumah aku kebingungan karena hal-hal yang biasa aku lakukan di rumah empat tahun lalu, saat masih sekolah menengah, telah aku lupakan Belakangan aku jarang menulis di blog, bukan
lantaran aku tidak menulis, tapi aku malas menyalinnya di sini. (aku perlu
repot-repot menyalin karena kini aku sedang berada di tengah kebiasaan menulis
dalam kertas).
Perihal kebiasaan yang sedang aku paksakan tersebut, aku
sering kali merasa bodoh kalau menulis dalam lembaran kertas. Apa yang sedang aku perbuat ini? Sering
kali aku terhenti di tengah tulisan karena pikiran-pikiran tolol mulai melandaku.
Pertama : Apa gunanya menulis ini-itu
kalau setelahnya aku sadar bahwa selain catatan yang mengungkap omong-kosong
pikiran si penulis, hanya ada hasil nyata berupa sedikit terlatihnya aku dalam
memilih kata-kata (yang sebagian orang merasa jengkel karena gayanya yang kurang efektif). Kedua : Aku tidak lain
mulai membiasakan menulis dalam kertas karena dorongan ingin meniru-niru orang
semacam Hitler, Gandhi, Freud, dsb. Aku bahkan tidak punya se-kutu pun kapasitas
orang-orang itu. Ketiga : perasaan
hampa sering kali menderaku lantaran menyadari bahwa aku adalah pria yang hidup
di abad 21 yang bergumul dalam kalimat-kalimat omong kosong yang dipaksakan
agar terlihat sangat terpelajar,
sementara media-media narsisme atau promosi diri yang sangat elegan bertebaran
dalam genggaman, dengan daya pikat yang fantastis. Keempat : perasaan hampa lainnya bahwa aku meyakini sebuah pikiran
menyedihkan bahwa menulis merupakan caraku untuk memamerkan diri, narsis, atau
apapun istilahnya. Kelima : Perasaan
hampa lainnya bahwa aku begitu miskin dalam urusan memahami dunia anak muda
masa kini. Alih-alih mengobrol soal ini-itu di chat group yang berjubel dalam handphone, aku justru malah sibuk dengan urusan pribadi
yang pada akhirnya membuatku menyesal saat mengetahui betapa orang kebanyakan
memilik dunia yang kaya, dengan beragam orang di sekitarnya, dengan segala
kemungkinan yang mengeliminasi kemungkinan deperesi ke tingkat yang paling
minim.
Bagian 2 : Pikiran
untuk mulai menjadi blogger
Alasan menulis di blog telah aku ungkapkan dalam banyak catatan, akan tetapi kali ini aku ingin membuatnya menjadi lebih gamblang dan terstruktur. Dalam semua catatan praktis mengenai alasan aku menulis dalam tempat ini, yang kebanyakan hanyalah potongan pikiran selintas, atau sebuah luapan keinginan menulis akibat adanya peristiwa khusus pada hari tersebut, semuanya menuju pada kesimpulan bahwa aku tetap menulis di sini karena blog telah ditinggalkan.
Tanpa pernah melakukan riset, aku telah mengetahui hal itu dengan pasti sejak lama. Apa gunanya menulis catatan harian, atau luapan perasaan dalam blog? Apakah tidak ada lagi hal lain yang bisa dikerjakan selain berpura-pura bahwa tulisan-tulisan yang dicantumkan di tempat ini (segagaimana yang selalu kita lakukan pada media sosial) akan menjadi penting bagi orang lain? Pertanyaan-pertanyaan itu begitu dangkal untuk bisa dijawab dengan mudah oleh siapapun.
Hal yang ingin aku ungkapkan secara terperinci adalah bagaimana orang-orang memanfaatkan blog semata demi kepentingan akademik, ilmiah, penyebar luasan informasi organisasi, jurnal travel, jurnal wisata kuliner, tulisan-tulisan berisi hobi disenangi yang ingin dibagikan pada khalayak, dan hal-hal umum lainnya yang (jika ada) pembaca akan menjadikannya sebagai bacaan iseng-iseng, pustaka untuk kepentingan riset, atau PR sekolah. Kunjungan-kunjungan itu bersifat sambil lalu tanpa peduli siapa penulisnya.
Dulu, dalam waktu luangku, aku menjelajahi dunia ini dengan kesenangan meluap-luap dan mengunjungi berbagai macam halaman-halaman milik banyak orang. Kegiatan itu sudah beberapa tahun kebelakang ini aku tinggalkan, mengingat aku sempat menjadi muak pada minatku dalam dunia tulis-menulis, karena sebagian besar yang kulakukan berupa omong kosong tanpa arti atau cerita fiksi yang bodoh, dimana didalamnya aku pura-pura merasa terpuaskan.
Penjelajahanku yang biasanya terjadi di malam-malam larut atau dini hari (saat kecepatan internet sedang ngebut) membuatku menarik kesimpulan bahwa jarang sekali orang menuliskan hal yang bersifat sangat pribadi.
Siapa sangka semua orang merasa terpuaskan dengan amat sangat setelah mencurahkan sesuatu yang teramat pribadi di berbagai media sosial, tetapi jarang sekali pada blog dan wordpress, kalaupun ada, hanya sedikit sekali.
Pada satu hari aku merasa kehidupan ini jadi sangat hampa saat dihabiskan dalam kesibukan jejaring sosial yang menggandrungi semua orang. Dan perasaan itu berimbas pada muaknya aku melakukan blogging yang telah jadi pelarianku sejak lama. Aku mendadak mendukung habis-habisan sebuah video atau artikel yang menjelaskan bahwa kita adalah generasi idiot yang menghabiskan waktu dengan menunduk pada layar. Tetapi, saat mencoba lebih objektif, aku merasa orang berpikir demikian semata karena hanya melihat pada yang buruk-buruknya. Memang aku merasa menjadi asosial dan idiot akibat teknologi, game virtual, media sosial, dan pada satu titik, aku tergugah untuk bangkit dan mulai menjalani kehidupan dengan sebenar-benarnya. Tetapi jangan sangka dalam pergaulanku dengan sahabat-sahabat dekat, yang kini menjadi kian sulitnya karena pasca perkuliahan kami terpisah-pisah dalam pengejaran impian masing-masing, media sosial menjadi jalan paling ampuh untuk menjaga kami tetap mengobrol (meskipun rasanya sungguh memuakkan karena apalah gunanya berbicara tanpa menatap mata, kasmaran tanpa menunjukan sipu malu, marah tanpa menunjukan muka yang merah padam, gugup tanpa keringatan, menulis wkwkwkw, hahaha, tanpa sungguh-sungguh tertawa, dsb). Tetapi kata pepatah, secuil jauh lebih baik daripada tidak sama sekali.
Aku pernah punya selentingan pikiran iseng, bagaimana jadinya jika orang-orang besar yang hidup di masa ketika komputer dan kecanggihan media sosial masih merupakan isapan jempol yang tak terpikirkan, hidup di jaman ini. Kubayangkan Gandhi memberi ceramah kebijksanannya lewat tweet-tweet harian, Hittler mendoktrin anggota-anggota Hittler Jugend melalui foto-foto propaganda yang diunggah ke instagram, dsb.
Orang-orang itu, yang berencana mengubah dunia, apakah akan menganggap media sosial sebelah mata? Lalu menggolongkannya sebagai agen pembodohan yang menjadikan kita idiot-idiot asosial yang gugup habis-habisan tatkala terjun ke dunia nyata?
Barangkali akan begitu. Tetapi aku memikirkan kemungkinan lain. Suatu hari seorang politikus legendaris mengungkapkan bahwa dirinya rela jadi komedian di tengah masyarakat badut, asalkan pikiran-pikirannya sampai ke setiap orang. Secara praktis aku menyimpulkan orang-orang besar, ambilah contoh, Churcil, pastinya akan berkoar-koar soal kekejaman Nazi di facebook fans page nya, andaikan saat itu para pemuda tidak penah lepas sedetikpun dari melihat layar smartphone-nya masing-masing. Dan coba saja bayangkan jika seluruh dunia, pada awal-awal masa perang dunia dua, tahu apa yang sesungguhnya mereka hadapi karena informasi yang mengarus dengan deras itu.
Bukan saja sejarah tidak ada gunanya lagi buat kita selain sebagai pembelajaran yang harus kita ambil hikmahnya, tetapi juga juga alurnya mustahil kita ubah. Tak akan ada ceritanya Churcil mempunyai facebook fans page. Tapi pada intinya, media sosial ini, bagaimanapun jeleknya pada kehidupan, terutama bagi pemuda-pemuda yang alih-alih menghabiskan waktu di perpustakaan-perpustakaan, justru malah tertunduk berbarengan dalam gelombang individualis yang tidak terbendung, tak boleh aku anggap remeh.
Nah, begitulah. Jika aku berkata akan ‘menjabarkan’, maka sesungguhnya aku akan berteori panjang lebar. Itu tadi merupakan yang pertama. Pertanyan selanjutnya (sebetulnya tidak ada pertanyaan apa-apa lagi), perihal kenapa aku perlu-perlunya membuang waktu membuat catatan yang nantinya aku tahu akan disalin ke blog (sebuah kebodohan karena aku harus capek-capek bekerja dua kali), akan menjadi ‘penjabaran’ lainnya, dan jujur saja itu akan sangat membosankan. Untuk itu, aku hanya perlu menuliskan poinnya.
1. Aku terlatih setiap hari menulis dengan sebebas-bebasnnya tanpa takut merasa kepanjangan.
2. 2. Blog sudah ditinggalkan, dan semua orang diluar sana (yang mungkin saja masih ada), yang mau-maunya membuat catatan, atau menyalin catatan hariannya ke blog, pastinya bukan orang malas. Fakta ia mau melakukan kerepotan-kerepotan yang sia-sianya tidak ada duanya itu, merupakan bentuk dari kesungguhan hati yang merasa puas oleh keyakinan tentang satu-satunya peristiwa yang nantinya akan muncul belakangan, bahwa pada satu hari yang tidak penting, seseorang yang bukan siapa-siapa akan membaca tulisannya. Bahkan yang paling ‘sambil lewat’ sekalipun akan membuat penulis itu merasa yakin dirinya adalah politisi komedian yang aku maksudkan tadi, yang merasa puas karena sedikitnya pemikiran-kurang penting-nya sampai pada seseorang yang bukan apa-apa. Itu patut disyukuri bagi mereka yang suka menulis catatan harian tentang curahan perasaan.
3. 3. Apa jadinya jika kita menulis segala macam di media sosial paling ramai, dan mulai merasa setiap like adalah ego yang terangkat martabatnya.
4. 4. Sama seperti tulisan di kertas, tulisan di blog pada suatu hari nanti akan musnah (barangkali oleh semacam kiamat teknologi manusia yang membuat kehidupan mundur kembali ke jaman batu).
5. 5. Suatu saat buku catatan mungkin akan hilang, tertinggal, atau terselip. Saat itulah aku pasti akan mulai bersyukur karena telah menyalinnya dengan apik.
6. 6. Semua ini bukan lelucon.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar