12:09
Hari sabtu ini aku habiskan di
kamar asrama. Paling tidak sampai nanti sore saat aku mesti menghadiri sebuah
diskusi kecil mingguan. Setiap Sabtu biasanya aku pergi ke perpustakaan
universitas. Berkeliaran di antara rak berisi buku-buku yang sebetulnya tidak begitu
menarik minatku. Aku merasa heran karena selama lebih tiga bulan ini,
sejak bulan Agustus lalu,tidak satu pun buku habis aku baca. Setiap minggunya
aku menambah judul buku baru untuk dibaca, seperti kebiasaanku, tetapi aku selalu berakhir pada bagian tengah tulisan yang belum menyimpulkan apapun. Pada saat-saat
ini keinginan untuk menyerap bacaan sedang berada di titik yang paling rendah
kurasa.
Aku mengupayakan banyak hal untuk mencari tahu apa yang sebetulnya aku inginkan. Upaya itu membawaku cukup jauh, hingga dengan mendadak aku menarik diri
dari kehidupan menyepiku—yang begitu tentram dan indah—untuk memasuki hidup
yang lebih ramai dan penuh oleh orang-orang. Berkat itu, aku telah menghabiskan
satu minggu tinggal di asrama mahasiswa yang keadaannya serba bertolak belakang
dari kehidupanku semula, yang telah aku jalani selama empat tahun sejak aku mulai
merantau dari rumah orang tuaku.
Aku tidak bisa menolak kenyataan
bahwa aku menipu habis-habisan diriku dengan mencoba menikmati masa-masa ini,
meski pun aku juga tidak membencinya sama sekali. Tetapi kupikir perasaan
netral ini yang membuatku jengah. Aku ngeri membayangkan kemampuanku dalam
merasa, mengindra emosi manusia, bahkan yang tertanam pada diriku sendiri telah
kebas. Yang melegakan adalah pikiran itu rupanya sama sekali tidak beralasan
dan semata-mata dampak dari paranoidku.
Di asrama ini aku hidup dengan 30
mahasiswa yang semuanya punya kultur serupa. Aku segera mencium nuansa
pesantren begitu memasukinya pertama kali. Anak-anak muda ini, yang keras pada
diri sendiri untuk menyerap kitab-kitab berbahasa arab, memiliki sikap disiplin
khas hasil bentukan pendidikan ala pesantren. Aku menciut saat seorang
supervisor memanggilku untuk menunjukan padanya berapa banyak ayat-ayat
Al-Qur’an yang telah aku hapal. Sejak itu aku menyadari mesti mengejar banyak
sekali ketinggalan.
Aku membuat daftar hal-hal yang
mesti dilakukan dalam dua tahun. Begitu menatapknya, aku diliputi perasaan
netral yang lagi-lagi membuatku ngeri. Tidak ada rasa khawatir atau penyesalan
tertentu saat mendapati banyak hal yang terlewat. Barangkali aku telah
tersesat dalam kegelapan yang tidak mengandung apa-apa, bahkan keinginan
sederhana untuk memicu kembali ambisi yang belakangan aku rasa telah pergi
meninggalkanku.
Penghiburan terbaikku saat ini adalah tenggelam dalam dua buku yang telah selesai aku habiskan betahun lalu, The Stranger-nya Albert Camus dan Kuil Kencana-nya Yukio Mishima. Membaca beberapa bagian yang paling aku sukai dari kedua buku itu membuatku memperoleh perasaan mengharukan bahwa keindahan sebetulnya dapat ditemukan disela-sela hari yang usang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar