2016 – November 11

12:09

Hari sabtu ini aku habiskan di kamar asrama. Paling tidak sampai nanti sore saat aku mesti menghadiri sebuah diskusi kecil mingguan. Setiap Sabtu biasanya aku pergi ke perpustakaan universitas. Berkeliaran di antara rak berisi buku-buku yang sebetulnya tidak begitu menarik minatku. Aku merasa heran karena selama lebih tiga bulan ini, sejak bulan Agustus lalu,tidak satu pun buku habis aku baca. Setiap minggunya aku menambah judul buku baru untuk dibaca, seperti kebiasaanku, tetapi aku selalu berakhir pada bagian tengah tulisan yang belum menyimpulkan apapun. Pada saat-saat ini keinginan untuk menyerap bacaan sedang berada di titik yang paling rendah kurasa. 

Aku mengupayakan banyak hal untuk mencari tahu apa yang sebetulnya aku inginkan. Upaya itu membawaku cukup jauh, hingga dengan mendadak aku menarik diri dari kehidupan menyepiku—yang begitu tentram dan indah—untuk memasuki hidup yang lebih ramai dan penuh oleh orang-orang. Berkat itu, aku telah menghabiskan satu minggu tinggal di asrama mahasiswa yang keadaannya serba bertolak belakang dari kehidupanku semula, yang telah aku jalani selama empat tahun sejak aku mulai merantau dari rumah orang tuaku.

Aku tidak bisa menolak kenyataan bahwa aku menipu habis-habisan diriku dengan mencoba menikmati masa-masa ini, meski pun aku juga tidak membencinya sama sekali. Tetapi kupikir perasaan netral ini yang membuatku jengah. Aku ngeri membayangkan kemampuanku dalam merasa, mengindra emosi manusia, bahkan yang tertanam pada diriku sendiri telah kebas. Yang melegakan adalah pikiran itu rupanya sama sekali tidak beralasan dan semata-mata dampak dari paranoidku.

Di asrama ini aku hidup dengan 30 mahasiswa yang semuanya punya kultur serupa. Aku segera mencium nuansa pesantren begitu memasukinya pertama kali. Anak-anak muda ini, yang keras pada diri sendiri untuk menyerap kitab-kitab berbahasa arab, memiliki sikap disiplin khas hasil bentukan pendidikan ala pesantren. Aku menciut saat seorang supervisor memanggilku untuk menunjukan padanya berapa banyak ayat-ayat Al-Qur’an yang telah aku hapal. Sejak itu aku menyadari mesti mengejar banyak sekali ketinggalan.


Aku membuat daftar hal-hal yang mesti dilakukan dalam dua tahun. Begitu menatapknya, aku diliputi perasaan netral yang lagi-lagi membuatku ngeri. Tidak ada rasa khawatir atau penyesalan tertentu saat mendapati banyak hal yang terlewat. Barangkali aku telah tersesat dalam kegelapan yang tidak mengandung apa-apa, bahkan keinginan sederhana untuk memicu kembali ambisi yang belakangan aku rasa telah pergi meninggalkanku.

Penghiburan terbaikku saat ini adalah tenggelam dalam dua buku yang telah selesai aku habiskan betahun lalu, The Stranger-nya Albert Camus dan Kuil Kencana-nya Yukio Mishima. Membaca beberapa bagian yang paling aku sukai dari kedua buku itu membuatku memperoleh perasaan mengharukan bahwa keindahan sebetulnya dapat ditemukan disela-sela hari yang usang.

Jawa

28-10-2016

Aku mengira dunia terlalu luas. Sekitar setahun lalu, saat aku pertama kali meninggalkan pulau Jawa, aku mulai beroleh perasaan bahwa akar-akar yang aku tancapkan di tempat aku berdiri terlampau dalam. Sementera teman-teman lamaku telah melebarkan sayapnya, aku baru mulai menyadari bahwa sebetulnya mimpiku terletak pada tempat-tempat yang jauh. Surabaya sementara ini adalah tempat terjauh kedua yang aku tuju.

Aku telah melewatkan bengitu banyak waktu, dan sejujurnya aku merasa kecewa pada diriku sendiri karena semangatku tidak pernah bertahan lama dan selalu kembali usang. Upaya untuk mengembalikan kemampuan meledakan energi dalam diriku meliputi pencarian teman sebanyak-banyaknya, berkegiatan hingga memakan waktu nyaris seharian, atau hal apapun yang bisa aku lakukan di luar jam kuliah, semuanya telah kulakukan. Aku bahkan mencoba untuk bekerja paruh waktu di sebuah perusahaan kunsultan, tapi aku gagal dan kabar terbaru ini membatku tersungkur. Setelah itu aku merasa heran pada diriku sendiri yang rasanya sangat menggantungkan kebahagian pada sumber-sumber yang  nyata-nyata telah gagal aku raih.
Baru-baru ini percobaan keduaku untuk mendapatkan pekerjaan paruh waktu lenyap berkat keteledoraku. Seorang teman menawarkan sebuah pekerjaan kecil sebagai penterjemah teks. Kesempatan itu terlewat karena aku terlampau ingnorant. Saat kupikir pekerjaan itu tidak akan pernah datang, ternyata sebuah pemberitahuan muncul di email-ku, hanya saja aku baru membacanya tepat satu hari setelah deadline masa tes yang mesti aku jalani. 
Dan kini aku harus menyesal habis-habisan karena menolak tawaran guru gitar klasikku untuk mengikuti sertifikasi saat di Bandung dulu. Waktuku telah begitu padat untuk mempersiapkan hal-hal semacam itu dan harapanku yang terakhir, melakukan pekerjaan paruh waktu yang mudah sebagai guru privat di tempat seperti Yamaha atau Purwacaraka harus kulupakan sama sekali.

Dengan demikian, harapan untuk manjalani hidup sebagaimana seharusnya dilakukan oleh orang berusia 22 tahun telah berada di titiknya yang paling rendah.
Mendalami Agama, Metodologi yang digunakan, serta konsekuensinya

Institut Teknologi Sepuluh Nopember
Surabaya, 2016/09/16

Catatan ini bukan merupakan buah dari hasil pikiranku sendiri. Aku merasa perlu mendokumentasikan ceramah Jumat tadi siang (hal yang belum pernah aku lakukan sebelumnya) lantaran apa yang diungkapkan khatib betul-betul baru aku dengar. Saat menyadari bahwa sifat ceramah siang tadi adalah universal, aku merubah judul yang semula ‘mendalami Islam serta konsekuensinya’, menjadi seperti apa yang tertera di atas.

Penceramah adalah Prof.Abdullah Sahab, seorang dosen di bidang mechanical engineering (ceramahnya banyak bertebaran di Youtube). Aku kira paparannya akan terbatas seputar ‘Sains dan kaitannya dengan Islam’, sebagaimana dilakukan dosen-dosen di bidang itu pada umumnya saat menyampaikan ceramah (ini berdasar pada pengalamanku). Pemaparan ceramah melalui pendekatan seperti itu, dengan menyertakan sentuhan iptek, memang rasanya lebih menarik dan tidak membuat ngantuk. Terlebih lagi jika pendengar yang notabene mahasiswa punya rasa ingin tahu terutama di bidang-bidang itu.

Hal penting tentang keseluruhan isi paparan itu langsung ia katakan pada kalimat pertama pembicaraannya. Kalimat pembuka itu langsung membuatku tertarik karena ternyata isinya bukan persoalan iptek. Hingga ceramah selesai, aku terus mencoba meresap semuanya meski agak sulit karena konten yang terlalu banyak mesti aku ingat dalam satu kali pembahasan selama 45 menit. Setelah memaknainya, aku menyusun sebuah tulisan yang isinya tidak berbeda jauh dari paparan penceramah pada kesempatan khutbah Jumat tersebut.

Metodologi dalam mempelajari sains
Bagian terpenting dari ilmu pengetahuan, di samping kandungan yang ada di dalam disiplin ilmu itu sendiri, adalah bagaimana mempelajarinya. Dalam skala yang lebih kecil, saat membuat sebuah jurnal ilmiah kita mengenal metodologi sebagai kerangka acuan yang memberitahu secara sistematis bagaimana tulisan itu akan meraih kesimpulan.

Metodologi sering dianggap sebagai pembentuk kekhasan antar berbagai disiplin ilmu. Dalam mempelajari sejarah, mungkin uji laboratorium jarang dilakukan.  Lain hal dengan bidang kimia atau kedokteran. Dalam sejarah, kesimpulan-kesimpulan dari hipotesis secara prinsip didapatkan melalui survei yang cermat terhadap manuskrip-manuskrip kuno, prasasti-prasasti, dan sebagainya. Beberapa diantaranya mungkin perlu diuji, misalnya dalam kasus membuktikan bangsa Peru adalah cikal-bakal penghuni sebuah kepulauan tertentu di Pasifik. Fakta bahwa bangsa Peru tidak pernah mengenal perahu, membuat ilmuwan bersangkutan mesti mencoba sendiri mengarungi laut dari negara di Benua Amerika itu menggunakan rakit.

Meski metodologi berbeda-beda terdapat kesamaan yang mendasar : semua disiplin ilmu eksak bersandar pada keragu-raguan. Dalam mengkaji kebenaran kita selalu berangkat dari sikap skepti, pertanyaan-pertanyaan yang jawabannya mungkin bertentangan dengan keyakinan kita semula, serta pada kebutuhan mendesak untuk menguji keabsahan keberan tersebut. Dengan demikian adalah wajar dalam satu disiplin ilmu sebuah teori menggantikan teori yang lain. Semakin tua sebuah teori, semakin usang jadinya. Ilmu yang kebenarannya diyakini secara luas ratusan tahun lalu barangkali akan menjadi omong kosong terbesar masa kini.

Jika lahir pada tahun 500 masehi, kita tentu akan ketakutan membayangkan bahwa semua lautan memiliki ujung berupa air terjun yang mengarah langsung ke ruang angkasa disebabkan otoritas ilmu saat itu menyakini bahwa bumi merupakan meja.

Otoritas-mutlak atas pengetahuan merupakan titik paling lemah dari semua disiplin ilmu. Otoritas dalam konteks ini sama artinya dengan menentang hal paling prinsip dalam mempelajari sesuatu, yaitu mendasarkan semua pada keragua-raguan. Menyimpulkan begitu saja suatu tanpa melakukan pengujian berarti membuat sains menjadi kebohongan semata, atau dalam kata lain mitos. Manusia telah sejak lama meninggalkan mitos-mitos sebagai sumber sains. Kita tidak akan pernah lupa pada Gelileo yang dihukum gereja karena menentang otoritas ilmu saat itu.

Galileo adalah bukti nyata ilmuwan sejati, disamping ribuan lain yang hidup bertebaran sejak ratusan tahun sebelum masehi.

Ada satu pertanyaan menarik yang sebetulnya bersifat paradoks. Jika seandainya mempercayai begitu saja sebuah teori tanpa membuktikannya sama sekali adalah bentuk penentangan atas prinsip fundamental sains, maka kita mesti meragukan bahwa bumi ini bulat, sebab dapat dipastikan bahwa nyaris semua orang tidak pernah memastikannya secara langsung. Kita mendapat informasi itu terbatas pada buku-buku dan foto-foto satelit. Bagaimana jika semua itu kebohongan semata?

Tentu saja kita tidak bisa serta-merta menentang sesuatu hanya karena belum pernah memastikannya secara langsung. Teori-teori yang menyatakan bahwa bumi bulat telah dikemukakan sejak lama dan pembuktian-pembuktiannya tidak bisa terbantahkan lagi, paling tidak sampai teori baru berkata bahwa bumi tidak sepenuhnya bulat seperti bola sebab pada bagian khatulistiwa bumi menjorok lebih keluar, gravitasi matahari dibagian itu lebih kuat. Dengan demikian dalam pemahaman manusia bumi telah beberapa kali berubah bentuk, bergantung pada otoritas yang berlaku.

Otoritas nyatanya merupakan satu bagian penting dari ilmu pengetahuan. Semua orang tentu saja berhak menentang dan mengajukan teori baru atas sebuah pengetahuan. Tetapi umur seorang ilmuwan terlalu singkat untuk bisa memastikan kebenaran semua teori yang ada.

Lantas, apakah metode yang digunakan untuk mempelajari ilmu pengetahuan juga berlaku dalam mempelajari Agama? Singkat saja, Tidak. Di dalam agama, satu-satunya dasar pegangan dalam menggali pengetahuan adalah otoritas dari ajaran yang bersangkutan. Dalam Islam, satu-satunya sumber otoritas itu adalah perintah Allah SWT yang disampaikan melalui Nabi Muhammad. Di banyak perkara furu’iah (semisal menggunakan qunut atau tidak saat solat subuh) pertentangan memang diizinkan. Tapi pada hal fundamental, semisal Tauhid, tidak ada pertentangan yang muncul. Dalam beberapa perkara yang lebih khusus, kita akan menemukan hukum yang tampaknya tidak masuk akal, bahkan seakan saling bertentangan, seperti dalam hukum memakan daging sapi yang dasarnya adalah halal, tetapi menjadi terlarang ketika hewan tersebut tidak disembelih atas nama Allah dan menghadap ke arah lain selain Ka’bah. Pertanyaan yang mungkin muncul adalah bagaimana mungkin sesuatu bisa menjadi terlarang hanya karena satu sebab yang sulit dipahami oleh nalar.

Bagi kebanyakan orang, agama pada prinsipnya telah mematikan proses berpikir; bentuk pengkhianatan sejati terhadap rasionalisme. Alasan itu sudah lebih dari cukup untuk mendorong penentangan atas agama. Prasyarat utama dalam mendalami agama, yaitu meyakini seutuh-utuhnya tanpa peduli apakah itu rasional atau tidak, adalah musuh paling besar dalam mempelajari sains. Kini tidaklah sulit untuk memahami jalan pikiran para cendikiawan-cendikiawan anti Tuhan, yang kebanyakan bahkan terang-terangan menghimpun upaya untuk melakukan perlawanan lewat buku-buku atau ceramah-ceramah.

Kebeneran agama sesungguhnya tidak diukur lewat rasional. Penekanan perlu diberikan pada kalimat ini. Itulah sebabnya tingkat intelektual sama sekali bukan menjadi jaminan keimanan bisa diraih. Sipapun tidak bisa menyangkal kecerdasan gemilang para intelek Atheis. Argumen menentang agama yang mereka kemas dalam bungkus ‘sains’ teramat elegen untuk sebuah penistaan yang keji. Orang-orang ini secara kasar memberondong keyakinan beragama dengan membabi buta, sering kali tanpa mempedulikan moral dan etika. Teori-teori dipaksakan sejalan dengan keinginan, argumen-argumen diungkapkan dengan penuh kepuasan, sementara pujian-pujian atas penistaan itu mengalir deras membuat nama mereka menjadi kian besar.

Ambil contoh salah satu filsuf terpenting di Eropa, Friedrich Nietzsche, yang pemikiran-pemikirannya dianggap memberi pengaruh sangat besar. Kita mungkin bertanya-tanya apa yang kurang dari kepintaran cendikiawan ini, sehingga bahkan ia tidak mampu lewat otaknya yang luar biasa cerdas itu menemukan setitik saja kebenaran agama. Ia yang berlatar belakang keluarga katolik saleh sebetulnya dididik untuk menjadi seorang pastur, tetapi kini dunia mengenalnya sebagai salah satu penentang kristen nomer satu, the antichrist. Untuk catatan saja, Nietzche yang gila-gilaan menentang kristen bukan berarti punya simpati terhadap Islam.

Kita kenal Stephen Hawking yang percaya bahwa alam semesta terjadi begitu sempurna tanpa perlu ada sangkut pautnya dengan Tuhan. Bill Gates yang tampak ‘ignorant’ dan lebih suka untuk  tidak repot-repot memikirkan kebenaran Tuhan atau menentangnya.

Agama dapat menjadi komoditas sains
Kita pernah mendengar bagaimana kerajaan Aceh pada akhirnya takluk pada Kolonial Belanda setelah Snouck Hurgronje menjadi game changer dengan mengerahkan pengetahuan luasnya tentang Islam. Ia begitu hebat mempelajari Islam, bersyahadat (menurut banyak sejarawan hanya untuk bisa ke Makkah), belajar melalui banyak ulama besar di Arab bahkan di Turki Ottoman. Faktanya ia adalah mata-mata, dan upayanya menjadi penasihat kerajaan Belanda berbuah pada kalahnya orang-orang Aceh.

Beratus-ratus tahun orang-orang barat (orientalis) tertarik Al-Quran dan memandangnya semata-mata sebagai prodak sains. Mereka mengupas semua aspek dalam diri umat Islam hingga pada taraf bagaimana orang-orang Timur Tengah bersikap sehari-hari (yang menurut mereka kekanak-kanakan).

Terlepas dari pembahasan Prof.Abdullah Sahab, secara pribadi aku pernah membaca buku Edward W.Said, Orientalism, yaitu sebuah biang kajian berfokus pada Timur Tengah (otomatis secara khusus pada orang-orang Islam). Salah satu yang hendak diungkapkan adalah kenyataan bahwa bangsa besar yang dulu pernah begitu signifikan, bangsa besar yang gemilang, yang dulu pernah Nabi Muhammad bina menjadi begitu mulia, kini bukan lagi apa-apa dihadapan orang-orang Barat, selain sepetak tanah luas yang boleh dibagi-bagi dengan layak. Aku dikenalkan oleh nama seperti Arthur James Balfour (belakangan jadi salah satu tokoh kunci permasalahan Israel-Palestina). Di depan parlemen Inggris ia mengatakan :
“…Is it a good thing for these great nations-I admit their greatness. -that this absolute government should be exercised by us? I think it is a good thing. I think that experience shows that they have got under it far better government than in the whole history of the world they ever had before, and which not only is a benefit to them, but is undoubtedly a benefit to the whole of the civilised West .... We are in Egypt not merely for the sake of the Egyptians, though we are there for their sake; we are there also for the sake of Europe at large…”
Kemudian nama lain, Lord Cromer yang hidup sejaman dengan Balfour mangatakan:
“…To be more explicit, what is meant when it is said that the commercial spirit should be under some control is this-that in dealing with Indians or Egyptians, or Shilluks, or Zulus, the first question is to consider what these people, who are all, nationally speaking, more or less in stalu pupillari, themselves think is best in their own interests, although this is a point which deserves serious consideration..”

Balfour dan Lord Cromer sebagai patriot Inggris berkepentingan untuk memenangkan bangsanya tentu saja. Mesir yang kala itu jatuh ke tangan Inggris setelah Khilafah Utsmani (Ottoman) tidak mampu lagi mempertahankannya, adalah semacam berlian paling penting yang dipunyainya selain India di sisi lain Asia. Apa yang mereka perbuat, termasuk secara mendalam mempelajari orang-orang mesir yang pada dasarnya adalah kaum Muslimin, semata-mata for the sake of Europe at Large. Memahami Islam sedalam-dalamnya adalah kepentingan yang besar karena bagi mereka in dealing with Indians or Egyptians (maksudnya orang Islam), the first question is to consider ‘what’ these people... 

Satu poin penting di sini adalah pertanyaan apakah orientalis tidak kurang baik dari pada ulama-ulama besar dalam mempelajari Islam, memahami Al-Qur’an?
Kita semestinya kini bisa paham alih-alih menjadi jalan menuju keimanan, bagi kebanyakan orang mendalami agama hanyalah upaya mengeksploitasi semacam komoditas sains sebagai alat untuk mencapai satu tujuan tertentu.

Celah keraguan dalam memahami Agama
Adakah celah untuk kita memperoleh keraguan dalam Islam jika melihat banyaknya hal 'tidak' masuk di nalar. Sebagai contoh, coba perhatikan hukum tentang pernikahan. Bagaimana satu aktivitas manusiawi (melestarikan keturunan), Seks, menjadi satu hal paling Allah SWT benci jika dilakukan tanpa melalui akad pernikahan. Orang-orang yang menentang tentu bertanya bagaimana aktivitas kurang dari satu menit, di mana ayah (atau wali) dari wanita berjabat tangan dengan pria yang mengucapkan sepenggal kalimat, disaksikan minimal 3 orang, bisa mengubah sama sekali sifat dari Seks yang sebelumnya sangat dibenci. Apakah moralitas manusia begitu rendah hingga hal-hal semacam itu diperlukan?

Kita boleh berargumen bahwa akad nikah adalah bentuk proteksi yang masuk akal, dimana kesaksian 3 orang adalah penjamin di masa depan bahwa pria yang memutuskan untuk menikahi wanita tersebut bertanggung jawab penuh. Mengungkapkan semua hikmah yang terkandung dari proses akad nikah akan memakan satu buku penuh. Dan semua itu bukanlah menjadi jawaban utama tentang mengapa Islam mengharuskan proses akad nikah sebagaimana disyaratkan. Jawaban awal yang kita berikan adalah: Allah SWT yang telah menetapkannya entah apapun yang dimaksudkan.

Al-Qur’an sebagai sumber otoritas mutlak tetap memberi peluang untuk proses berpikir. Memahami hukum pernikahan, memberitahu kita bahwa Al-Qur’an adalah sumber tertulis pengetahuan Islam yang memegang otoritas penuh (di samping sumber hukum lain yaitu Hadist dan Sunnah). Meski demikian, Allah tidak sama sekali menyuruh manusia untuk menjalankan perintah tanpa melalui proses berpikir. Saat mempelajari Al-Qur’an kita akan menyadari banyaknya perintah untuk berpikir, mengobservasi, dan menarik kesimpulan. Satu kisah di dalamnya bahkan menunjukan bagaimana proses Nabi Ibrahim hingga sampai pada kesimpulan bahwa Allah SWT adalah Tuhan yang Haq. Nabi Ibrahim secara sadar memahami bahwa satu-satunya yang ia punya untuk memahami Tuhan adalah melalui akal dan indranya. Kita semua pernah mendengar kisah ini, bagaimana Ia memandang Matahari dan menganggap itu sebagai Tuhan, hingga pada satu titik Ia berkesimpulan bahwa apapun yang bisa Ia jangkau dengan akalnya tidak lebih dari ciptaan..

(Berlanjut)