empat kekhawatiran pagi ini

Pagi ini ada dua hal yang saya khawatirkan. Saat terbangun jam setengah enam tadi, saya duduk di tempat tidur menatap lampu yang kosong. Suara ayam jelek yang dipelihara induk semang di pekarangan tempat kostan ini membuat saya gusar, tapi untungnya dari kejauhan terdengar suara anak-anak mengaji di pesantren milik Aa Gym. Saya merasakan semacam kelegaan yang sesaat  karena seketika itu juga kekhawatiran saya berubah menjadi tiga : Biaya sewa kostan naik, praktek kerja lapangan, belakangan saya selalu bangun telat dan shalat subuh di waktu duha.

Selesai shalat-subuh-pukul enam kurang yang tergesa-gesa, saya menyalakan semua alat elektronik sebagai bentuk balas dendam pada sistem pembayaran listrik tidak masuk akal yang diterapkan induk semang. Berapapun jumlah pemakaian, harga tidak berubah, seperti sistem bus damri : jauh dekat Rp. 3000.

Beberapa waktu lalu saya bertemu induk semang. Perempuan pelit tipikal ibu-ibu rumah tangga yang bersuamikan orang kaya baru itu selalu berhasil membuat saya mati kutu.
Saya tergagap-gagap ketika berkata, "waktu bula ramadhan, saya gak di kostan, jadi gak perlu bayar listrik dong, Bu."
Ia menjawab, "Tetep bayar setengahnya dong, kan peraturannya begitu."
Kata saya dalam hati, 'kampret banget orang ini'.
Yang saya katakan, "Baik bu, jadinya berapa?"

Tapi kekhawatiran nomer 1 ini segera hilang ketika saya mulai membagi total biaya listrik sebulan dengan 30. Hasilnya : 1.533333. Rp. 1500 per hari. Ternyata tidak semahal yang saya kira.

Dengan berbekal solusi pemecahan kekhawatiran nomer 1 tadi, kekhawatiran nomer 2 hilang separuhnya. Di akhir masa PKL nanti, ada tiga hal besar yang membuat saya khawatir. Sidang, penilaian laporan, dan penilaian kerja di lapangan. Dengan membagi semua masalah tadi dengan 24 hari (jumlah sisa hari PKl), tidak didapat angka yang rill (sebetulnya saya tidak membagi angka apapun). Saya heran dan sedikit ingin tertawa menyadari hal yang sudah lama saya temukan, bahwa apapun yang terlihat besar dan menakutkan ketika di bagi menjadi potongan-potongan kecil jadi terlihat kecil (tentu saja).

Barangkali itu alasan mengapa tugas yang dikerjakan beberapa jam sebelum dead line terlihat sangat menakutkan. Begitupun saat saya gugup dan kebingungan ketika harus begadang di malam ujian. Walaupun hasil ujian tidak buruk, yang saya lakukan itu tidak lebih dari menghafal tanpa belajar yang keseluruhan prosesnya berdasarkan pada ketakutan mendapat nilai buruk.

Dengan adanya kebiasaan-kebiasaan itu, tampaknya saya sudah begitu jauh berubah dari pelajar yang ingin mencari ilmu menjadi mahasiswa yang gila nilai.

kekhawatiran saya pun berubah menjadi empat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar