Setelah 19 tahun

Sepertinya kehidupan saya dan semua hal disekitarnya berjalan pelan. Pelan dan menghanyutkan. Mirip dengan matahari yang terbit ternggelam setiap harinya. Majunya pelan (bukan secara harfiah), maksudnya, siapa orang kurang kerjaan yang sepanjang hari memandangi matahari dari terbit sampai tenggelam? mungkin semua orang hanya secara otomatis akan sibuk ketika matahari muncul dan kembali pulang saat hari mulai gelap. Melihat pergerakan matahari buka jadi bagian dari hari-hari. Dirasakannya matahari berjalan pelan, tapi sekaligus cepat. Ah, susah sekali mejelaskannya. Begitu memang, perputaran bumi itu terasa pelan, tapi sebetulnya lebih cepat dari yang bisa kita bayangkan.

Waktu bergerak tidak terduga. Lambat laun jadi tampak kejam dan mengerikan seperti pisau dengan mata dua. Dan tahu-tahu, sudah sembilan belas tahun. Saya baru menyadari 19 tahun adalah waktu yang cukup lama bagi seseorang untuk hidup di dunia. Menarik sekali mendengar dua orang di kepala saya saling bergelut tentang apakah penting memperhatikan perubahan yang ada pada diri saya dan semua hal yang ada disekeliling saya setelah 19 tahun hidup. Sekalipun saya agak sedikit lebih memihak pada orang pertama yang berkata : jalani saja hidup seperti daun yang terbawa angin, membiarkan semua datang tanpa terduga sambil melupakan pohon yang pernah menjadi tempatnya bergantung.
        Cukup sederhana dan masuk akal, sekaligus menantang karena hidup semacam ini pastinya penuh dinamika dan kejutan-kejutan yang luar biasa.

Orang kedua tidak pernah mau menyerah. Baginya evaluasi adalah hal penting yang harus dilakukan setiap manusia sebelum ia tidur. Tapi orang pertama pikir itu sangat merepotkan. Harus mengingat masa lalu, mengorek rasa sakit dari kegegalan, membuang-buang waktu untuk memikirkan kesalahan, dan merencanakan baik-baik masa depan seolah-olah renacana-rencana itu akan benar-benar terjadi dan berjalan lancar. (ketika orang pertama mengatakan hal itu, orang kedua diam beberapa saat karena kehabisan kata-kata).

Saya pun diam sejanak. Tapi segera orang kedua berkata dan memecah keheningan diantara kita bertiga : Hidup adalah apa yang terjadi saat kita membuat sebuah rencan lain. Dan rencana-rencana itu selalu memberi harapan. Bisa saja kau hidup seperti daun hayalan mu itu, tapi setelah angin berhenti bertiup dan tanah jadi tempat pemberhentian. Lalu? tidak ada apa-apa lagi yang ingin kau lakukan karena harapan-harapan itu tidak pernah ada. orang ke kedua yang penampilannya mirip Andy dalam Shawsank Redemption, dengan tenang mengakhiri kalimatnya : hope is a good thing, maybe the best of things, and no good things ever dies. Tampaknya saya sudah tahu apa yang akan saya lakukan. Pertama-tama menyalakan sebuah lampu redup di dalam kepala saya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar