Malam tadi saya membeli buku baru seharga Rp.15.000. Buku tua itu berukuran 15 x 10 cm, kertasnya yang tua telah berwarna kuning, dan di sampul usangnya twrtulis : SILAS MARNER, George Eliot. Niat ingin membunuh waktu saat menunggu kakak untuk dijemput menuntun saya pada penemuan buku yang sangat menarik ini. Sebetulnya saya tidak tahu apa buku ini cukup bagus. Dan mengingat teks inggris nya sangat kental dengan sastra klasik, membuat saya ragu untuk bisa 'kuat' membacanya. Buku kecil yang dipublikasikan oleh penerbit di kota New York, USA, pada tanggal 1958 itu akhirnya saya ambil.

Buku yang terletak di sudut kios buku bekas itu sebetulnya terlihat sangat biasa dan nyaris saya lupakan. Tapi ada satu hal yang mendorong saya untuk membeli nya, yaitu catatan kecil pada sudut kanan atas di halaman ke dua :

Ami

Hari Minggu Tanggal 15-2-'59
Djam 10.00 di Majestic

dari catatan kecil itu ada beberapa fakta dan dugaan yang bisa saya simpulkan.
1. Buku itu dibeli satu tahun setelah terbit di sebuah tempat bernama Majestic.
2. Dari fakta 1, diduga  pembeli datang ke New York dan membeli buku ini. Hal tersebut  dimungkinkan karena sejauh yang saya tahu, buku terbitan luar negeri tidak masuk ke Indonesia secepat itu (satu tahun).
3. Barangkali pembeli tidak datang ke New York, tapi ia membelinya pada seorang yang baru saja pulang dari Amerika.
4. Saat ini pembeli sudah TUA. Mungkin sudah tiada.
5. Ami adalah nama perempuan. 
6. Fakta no 6, saya mendapati diri bertanya-tanya. Siapa Ami? yang segera saya temukan jawabannya. Ami adalah orang yang membeli buku ini. Jika catatan itu bertuliskan : Untuk Ami, maka dapat dipastikan pembelinya bukan Ami.
7. Saya mendapati diri saya melamun di depan layar komputer dan bertanya-tanya, mengapa semua ini jadi begitu penting?

55 tahun adalah waktu yang cukup lama bagi seseorang untuk hidup. Setengah abad telah mengubah status seorang manusia menjadi TUA, dan orang tua, sebagaimana buku yang sudah uzur ini, pastinya punya banyak pengalaman hidup.

Pada awalnya buku ini merupakan barang milik seseorang. Ami mungkin menyimpannya di rak buku dalam rumahnya yang nyaman. Dan sebelum saya beli, buku tersebut hanya terduduk lesu di sudut toko buku loak yang jelek, terjepit-jepit diantara buku-buku bekas lainnya. 

Di antara dua kondisi yang kontras itu terdapat jeda waktu yang sangat panjang. Jika saja benda uzur ini punya sesuatu yang bisa digunkan untuk mengungkapkan semua ingatannya, saya bersedia bolos PKL dan mendengar ceritanya sepanjang hari.
Tapi sejauh ini buku itu hanya bisa saya pandangi. Baru beberapa halaman yang saya baca Karena banyak kosakata yang asing buat saya.


        Fakta no.8. Satu jam lagi saya akan berdiri sambil terkantuk-kantuk memandangi pekerjaan   konstruksi. 
        Fakta no.9. Saya malas pergi dari kamar kostan. Saya sepertinya mendengar buku tua itu berkata : mandi sana!



empat kekhawatiran pagi ini

Pagi ini ada dua hal yang saya khawatirkan. Saat terbangun jam setengah enam tadi, saya duduk di tempat tidur menatap lampu yang kosong. Suara ayam jelek yang dipelihara induk semang di pekarangan tempat kostan ini membuat saya gusar, tapi untungnya dari kejauhan terdengar suara anak-anak mengaji di pesantren milik Aa Gym. Saya merasakan semacam kelegaan yang sesaat  karena seketika itu juga kekhawatiran saya berubah menjadi tiga : Biaya sewa kostan naik, praktek kerja lapangan, belakangan saya selalu bangun telat dan shalat subuh di waktu duha.

Selesai shalat-subuh-pukul enam kurang yang tergesa-gesa, saya menyalakan semua alat elektronik sebagai bentuk balas dendam pada sistem pembayaran listrik tidak masuk akal yang diterapkan induk semang. Berapapun jumlah pemakaian, harga tidak berubah, seperti sistem bus damri : jauh dekat Rp. 3000.

Beberapa waktu lalu saya bertemu induk semang. Perempuan pelit tipikal ibu-ibu rumah tangga yang bersuamikan orang kaya baru itu selalu berhasil membuat saya mati kutu.
Saya tergagap-gagap ketika berkata, "waktu bula ramadhan, saya gak di kostan, jadi gak perlu bayar listrik dong, Bu."
Ia menjawab, "Tetep bayar setengahnya dong, kan peraturannya begitu."
Kata saya dalam hati, 'kampret banget orang ini'.
Yang saya katakan, "Baik bu, jadinya berapa?"

Tapi kekhawatiran nomer 1 ini segera hilang ketika saya mulai membagi total biaya listrik sebulan dengan 30. Hasilnya : 1.533333. Rp. 1500 per hari. Ternyata tidak semahal yang saya kira.

Dengan berbekal solusi pemecahan kekhawatiran nomer 1 tadi, kekhawatiran nomer 2 hilang separuhnya. Di akhir masa PKL nanti, ada tiga hal besar yang membuat saya khawatir. Sidang, penilaian laporan, dan penilaian kerja di lapangan. Dengan membagi semua masalah tadi dengan 24 hari (jumlah sisa hari PKl), tidak didapat angka yang rill (sebetulnya saya tidak membagi angka apapun). Saya heran dan sedikit ingin tertawa menyadari hal yang sudah lama saya temukan, bahwa apapun yang terlihat besar dan menakutkan ketika di bagi menjadi potongan-potongan kecil jadi terlihat kecil (tentu saja).

Barangkali itu alasan mengapa tugas yang dikerjakan beberapa jam sebelum dead line terlihat sangat menakutkan. Begitupun saat saya gugup dan kebingungan ketika harus begadang di malam ujian. Walaupun hasil ujian tidak buruk, yang saya lakukan itu tidak lebih dari menghafal tanpa belajar yang keseluruhan prosesnya berdasarkan pada ketakutan mendapat nilai buruk.

Dengan adanya kebiasaan-kebiasaan itu, tampaknya saya sudah begitu jauh berubah dari pelajar yang ingin mencari ilmu menjadi mahasiswa yang gila nilai.

kekhawatiran saya pun berubah menjadi empat.