Dalam beberapa bulan ini gak ada cerita menarik yang patut untuk dikenang. Hari-hari baru yang sudah berjalan selama dua minggu dan, begitulah, berlalu begitu saja, sangat biasa seperti awan sore gemulai yang tidak pernah dipedulikan.
Dalam hari-hari dimana saya harus memaksakan diri untuk ikhlas menceburkan diri pada jalan yang saya lalui, terdapat banyak jawaban yang jadi tamparan hebat sekaligus pemuas petanyaan-pertanyaan.
Satu jawaban yang hadir, membuat jawaban-jawaban yang lalu jadi gak ada artinya.
Katanya, seseorang menemui jati diri di usia puber, di usia remaja ketika hendak menuju dewasa. Tapi saya rasa tidak begitu. Jati diri, paling tidak menurut keyakinan saya yang serapuh daun kering, mirip dengan sebongkah lilin. Bisa berubah. ,diubah-ubah, diputarbalikan, sampai diruntuhkan.
Jati diri gampang sekali dirubah, terutama saat pertanyaan-pertanyaan yang coba dihindari itu tiba-tiba terjawab dengan suatu hal yang bisa saja saya temukan di suatu sore. Lalu kanapa manusia menutup mata dengan pertanyaan-pertanyaan yang memburunya? pertanyaan yang hadir dan menuntutnya untuk berbuat sesuatu terhadap sisi gelap yang menggerogoti kehidupan. Lalu ia berusaha membentuk dirinya sesuai dengan apa yang dirasakan paling ideal. Kemudian berjalan bangga sambil menutup mata. kemudian, di pagi hari sebuah prinsip saya pegang, sorenya saya lempar seperti lap kotor. Jati diri jadi omong kosong. Harga diri cuma seharga jam tangan palsu! Dan mulailah saya merasakan diri ini sangat rendah ketimbang orang lain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar