Where is this?

Musik dangdut yang mengalun indah di radio kemerosok angkot ini emang rupanya jadi suatu kemewahan tersendiri. Paling tidak menurut si pemilik angkot, yang keliatannya bahagia sekali. Saya memang gak suka lagu dangdut. Hidup di tengah orang-orang yang secara gamblang merasa ‘gak banget’ dengan jenis lagu itu, saya jadi terbawa-bawa arus. Sebetulnya saya emang gak peduli sama dunia musik dan hiburan kecuali film,Tapi oke lah. Saya akui lagu dangdut di tengah bisingnya lalu lintas kota kecil Cibadak, mungkin jadi satu-satunya hiburan yang bisa saya dapatkan setelah walkmen yang saya punya suaranya tenggelam ditelan keramaian.

Lagu dangdut, apa lagi yang jadul, pasti jadi jenis musik terakhir yang mau saya dengar. Tapi lupakan soal gendangnya yang bertalu-talu riang, suara organ tunggal konvensional dengan melodi melayu kental, atau suara penyanyinya yang cempeng dibuat-buat dan sangat dipaksakan itu. Saya baru tahu kalau lagu dangdut ternyata punya lirik yang dalem banget. Saya sering dengan tidak sengaja mendengar lagu dangdut ‘modern’ di angkot-angkot. Kesan yang muncul adalah betapa tidak berbobotnya jenis musik ini. Liriknya tidak bermakna. Misalnya, dalam suatu lagu dangdut yang pernah saya denger, si penyanyi dengan enjoy menceritakan pengalamannya kehilangan keperawanan karena kebablasan, lalu hamil dan baru ketauan setelah tiga bulan kemudian. Begitu enjoy. Begitu lugas seakan sedang menceritakan pengalamannya pergi ke rumah nenek. Ayolah! Kenapa hal semacam itu harus diketahui orang lain?

Hingga pada malam itu, di tengah kemacetan saya dipertemukan dengan dangdut yang aga jadul. Penyanyinya siapa lagi kalau bukan legenda Rhoma Irama. Supir itu sepertinya penggemar nomer wahid. Satu album di putarnya. Macet pun jadi gak kerasa. Setelah mendengar beberapa lagunya, saya terdiam dan coba mencerna makna dari lagu-lagu itu. Dalem ternyata. Rupanya pak Rhoma Irama ini punya bakat membaca kehidupan dan memahami manusia secara mendalam. Lagunya ibarat artikel sosiolog tentang kehidupan urban yang kehilangan arah. Dalllem banget.

Jadi, intinya saya baru sadar ternyata musik dengan jenis apapun, semuanya tergantung pada lirik yang terkandung. Saya bukan pecinta musik. Saya gak tau apa-apa soal musik selain bisa main gitar serampangan. Tapi saya tau kalau nyawa dari sebuah lagu adalah lirik. Bukan persoalan jenis musiknya apa, tapi apa maksud liriknya. Gak jarang saya mendengar lagu-lagu pop, rock, atau sejenisnya yang dianggap sangat ‘gaul’, ternyata jauh lebih gak berbobot dari pada lagu dangdut tentang kehilangan keperawanan yang suatu hari saya dengar itu. Juga lagu-lagu barat. Banyak banget lagu yang setelah saya translate, meaningless. Yang bagus cuma musik sama suara penyanyi nya aja yang hot. Apalagi kalau video clip nya keren dan digemari remaja.

Yang sering sayadenger, lirik lagu hampir mirip semua. Putus cinta. Dan ajaibnya, laku bukan main. Gak heran, karena lagu-lagu putus cinta ternyata bisa mengobati mereka yang lagi bermasalah soal cinta, dan orang yang kehilangan selera makan karena putus cinta jumlahnya luar biasa banyak. Tapi gak apa lah, emang saya akui banyak lagu gak berbobot kalau di denger, musiknya yang kata orang-orang mirip suara malaikat, bisa menimbulkan efek manis. Kadang meningkatkan percaya diri tiba-tiba, bahkan jadi berbunga-bunga seakan baru di tembak oleh Ronan Saorsie. Bagus sekali jika dibuat sebagai alat buat sejenak melupakan realita yang gak enak.

Semua hal ada buruknya, tapi gak bisa terus-menerus di lihat buruknya. Dan amat sangat buruk jika buruknya dilupakan dan terus-menerus diliat baiknya. Di nikmati mentah-mentah. Terlalu tenggelam dan terbuai sama rayuan musik yang indah sering kali membuat saya lupa keadaan. Lupa dimana saya berdiri. Lupa ada dimana ini. Seakan sedang di kipas-kipasi supaya bisa tidur lebih lama dan mimpi lebih indah. Hasilnya, tidak mau bangun dan berbuat lebih untuk realita yang ada, yang amat bertentangan dengan lirik lagu-lagu gak berbobot itu.

Dirty realism spread around us...!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar