Nah, kalau ini adalah akhir dari sebuah permulaan, maka permulaan apa yang (demi Tuhan) tidak susah payah aku bangun? walaupun berdiri di tengah-tengah keterlambatan yang memuakkan, sehingga tempak seperti mencoba membangun kapal disaat banjir telah datang dan memendam rumput beberapa kaki dan memendam malam-malam yang coba orang lupakan dengan sekedar tidur di atas genting basah untuk dapat terlompati begitu saja dinginnya, dan tahu-tahu siang datang. Malam yang sangat memualkan perut.
Tapi Tuhan sebetulnya sudah tahu, dan aku pun agaknya mendapati sedikit keraguan walaupun dengan susah payah, tanpa henti, setiap pagi terus-menerus meneriakan mimpi yang lahir prematur dan terlanjur terbenam dalam ketertinggalan yang amat jauh. Seberapa kerasanya aku mengejar dengan rasa semangat (dengan rasa semangat tinggi seorang cendikia yang baru saja menemukan vaksin untuk menyelamatkan jutaan nyawa) justru ketika hilang menjadi serupa titik kecil yang hampir tidak kelihatan lagi, aku merasa seperti ditampar dengan tamparan yang sangat hebat. lalu tamparan itulah yang akhirnya memunculkan sedikit kenikmatan, kenikmatan berupa berlari-lari sembari tertawa bahagia didalam reruntuhan kota yang memang tidak pantas untuk berdiri.
Ah,, mimpi, kalau hancur, kenapa seketika jadi debu ?? tamparannya begitu memuakkan..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar