Dua apel dan dua jeruk tiap dua hari sekali

Aku terkadang tertawa sendiri saat menyadari beberapa hal kecil yang aku lakukan adalah upayaku mengatasi ketidakmampuanku dalam banyak hal. Sebagian besar adalah keputusan yang kupilih tanpa sadar. Seperti saat aku membeli dua buah apel dan dua buah jeruk secara teratur tiap dua hari sekali di minimarket. Aku bisa saja membeli banyak sekaligus untuk disimpan selama seminggu. Tapi saat itu aku tidak memiliki kulkas, sehingga yang kupikirkan (tanpa sadar) adalah : apel-apel itu tidak akan kemana-mana, kenapa tidak biarkan saja mereka tetap selalu segar dan utuh.

Di minimarket yang hanya punya kulkas kecil pun apel-apel itu bisa bertahan lama dengan lebih baik. Secara teknis apel-apel itu belum jadi milik-ku, tapi bagaimana pun aku telah membuat keputusan. Jadi aku telah membeli apel-apel itu dalam pikiran, seara idealis, teoritis. Dan kenyataannya memang aku mampu memiliki apel-apel itu sekarang juga jika aku mau.

Lama-kelamaan aku memperoleh ilusi; khayalan bahwa pada dasarnya semua kebutuhanku telah tersedia, setidakrealistis apa pun itu. Bahkan dengan fakta yang gamblang bahwa kebanyakan hal bukanlah apel atau jeruk yang bisa mudah diperoleh. Lucu saat menyadari bahwa aku dengan mudahnya termakan mentalitas itu, seperti saat aku berpikir bahwa upayaku dalam mempresentasikan diri, misalnya di media sosial atau kantor tempat kerja, akan mengesani orang-orang bahwa aku sebetulnya memiliki lebih dari apa yang sebetulnya aku punya.  

Aku penasaran apakah pikiran serupa juga pernah muncul dibenak orang-orang, bahkan mereka yang punya dampak signifikan dalam terbentuknya dunia seperti apa adanya sekarang. Jika melihat tindakan yang dibuat orang, contohlah Hitler jauh sebelum Ia merealisasikan tujaun hidupnya, rasanya aku dengan mudah bisa menebak bahwa barangkali 'mentalitas telah memiki' adalah hal yang lumrah. Misalkan ide nya tentang Lebensraum, yang kelak akan mengharuskannya membabat banyak tanah milik negeri lain di Eropa agar rakyat Jerman punya tempat yang luas untuk hidup makmur dengan sumber daya melimpah. 

Lalu bagaimana dengan politik luar negeri Spanyol dan Portugis 400 tahun lalu, saat membagi peta dunia: ini bagianku, ini bagianmu? Atau Kebijakan AS yang suka ikut campur kalau-kalau di satu negara ada sumber minyak sangat melimpah. 

Barangkali, jika mentalitas ini bisa teraktualisasi ke banyak bentuk, maka salah satunya pasti adalah ide-ide optimis (segila apapun itu) bahwa benda yang kini masih abstrak dan belum ada dalam genggaman sebetulnya adalah hak inherent yang melekat sejak lahir.

Mungkin aku kejauhan. 

Satu saat aku pernah meminta temanku mengambil fotoku saat kami bermain ke kafe. Aku duduk, di depanku adalah gelas kopi dan makanan yang terlampau bagus dipresentasikan sehingga sayang menghabiskannya. Aku pindah ke balkon, di foto lagi dengan latar gedung-gedung tinggi. Bagaimana dengan itu? aku hampir membagikannya di media sosial lantaran saat itu yang muncul di benakku adalah keharusan untuk mengesani semua orang; bahwa aku berada pada satu titik saat di sekelilingku ada cozy thing, dan begitu menyenangkannya mendapati orang-orang penyadari fakta itu melekat pada kehidupanku, segamblang apa pun kenyataan bahwa aku hanya datang ke tempat itu pada saat tertentu saja, sekali-kali saat sedang tidak meyesal hendak kehilangan banyak uang tabungan dalam satu kesempatan singkat. Aku tidak jadi memposting nya karena kenyataan bahwa tampangku konyol sekali di foto-foto itu.

Kupikir 'mentalitas telah memiliki' sungguhan ada di benak orang-orang sebagai bentuk kelaziman. Mungki ada istilah lain untuk itu yang tidak terdengar konyol seperti bagaimana aku menyebutnya. Bukan hal penting untuk dipikirkan, tapi setidaknya aku dapat penjelasan yang cukup memuaskan dan komplit kenapa dulu aku suka sekali repot bolak-balik membeli dua apel dan dua jeruk tiap dua hari sekali.