Photos

5-latest-1110px-slider

Kalimat pertama dalam buku Note from Underground adalah "Aku orang sakit". Keseluruhan jalan cerita menjelaskan dengan detail mengenai pesakitan itu dan secara mengherankan membuatku iritasi. Dostoefsky berkiprah lebih dulu sebelum psikolog-psikolog penting muncul.  Ilmu itu tua, dan orang-orang sadar kerumitan manusia menjadi objek menarik untuk diamati. Cara bagaimana kerumitan itu diungkapkan lewat fiksi, lewat sudut pandang orang sakit, membuatku menatap lama-lama potret tua Dostoefsky di sampul belakang buku itu. Aku bertanya bagaimana kakek tua yang lahir 200 tahun lalu ini mampu mengusik orang hingga sekarang. Ia akan terus mengusik orang-orang di masa mendatang kurasa, selama sastra klasik tetap bertahan.

Tokoh Aku dalam Note from Underground bisa dengan mudah terganggu pada detail-detail kecil yang terjadi. Hal yang sepele itu mempengaruhi arah jalannya semua peristiwa besar yang datang belakangan. Detail dari hal-hal yang teramat halus dan semua ucapan-ucapan atau perbuatan sederhana barangkali memang satu hal yang sangat menentukan. Manakah yang lebih sering mendorongku melakukan sesuatu, motif rasional? atau hal lain yang sangat halus yang bahkan aku tidak tahu dari mana asalnya. 

Paling tidak itu salah satu yang sangat mengusikku. Melibatkan diri dengan banyak orang terlampau jauh membuat semuanya menjadi lebih jernih, seperti manaruh objek kecil di satu tetes air sebelum diamati melalui mikroskop. Aku khawatir telah melewatkan begitu banyak detail-detail, atau sebaliknya, terlalu banyak menganggap detail-detail kecil sebagai hal penting yang bahkan bisa mengusikku.

Latent Content : 26 Tahun hidup di dunia

Tadi pagi aku membaca buku The Wind-up Bird-nya Haruki Murakami sebentar. Aku tidak melihat jam, tapi kurasa aku hanya membaca 30 menit sampai akhirnya tertidur. Tadinya aku ingin mengisi waktu sampai jam 5.30, aku berencana lari pagi pada jam itu. Alih-alih aku malah tertidur pulas dan mengalami mimpi yang begitu jernih. 

Aku jarang bisa mengingat mimpi. Tetapi terkadang mimpi yang muncul saat aku tertidur di pagi hari setelah solat subuh terasa begitu jelas. Sejelas aku berjalan ke luar rumah di siang hari saat matahari terik. Semua peristiwa yang terjadi begitu jernih. Detail benda-benda, emosi, sensasi indra- rasa sakit, sentuhan, kelelahan, dipabrikasi oleh otak ku dengan begitu baik. Memang ada satu area di otak yang berfungsi mengatur hal itu. Area itu mengelaborasi persitiwa dengan cermat, menyusun semua material menjadi bentuk cerita utuh, seperti ribosom dalam menerjemahkan mRNA, menyusun data genetis. 

Sesaat setelah terbangun aku selalu mencoba mengingat-ingat mimpi apa yang baru saja terjadi. Kali ini, seperti saat aku tertidur pagi-pagi di kesempatan lain, apa yang berlangsung dalam mimpiku rasanya seperti persitiwa yang terjadi kemarin sore. Aku ingat semuanya, bahkan sadar bahwa material-material yang dicampur adukan oleh kepalaku menjadi bentuk cerita sebagiannya pasti diambil dari buku Murakami yang aku baca sebelum terlelap. Suasana, udara, cahaya, dan segalanya mirip seperti sepenggal deskripsi di dalam buku. 

Membaca lagi beberapa ceramah Freud, mimpi sepertinya jalan yang lebih baik dan cerdas bagi diri untuk "merasakan" apa yang tidak mungkin terjadi di dunia nyata, jauh melampaui khayalan yang berlangsung saat kita sadar. Saat duduk sebentar di tempat tidur dan menyusun ulang peristiwa dalam mimpi, aku dipenuhi perasaan pathetic. Apa yang sedang repot-repot aku lakukan? kalau otak-ku ingin "mengkhayal" dengan sendirinya tanpa aku mangatur semua adegan dalam khayalan itu, lantas pikiran bawah sadarku menambahkan sedikit dramatisasi suasana musim panas dalam The Wind-up Bird-nya Murakami, memangnya kenapa?   

Aku tidak pernah berpikir untuk mencatat ringkas atau bahkan peduli pada kejadian di dalam mimpi, apalagi menyusunnya dalam sebuah tulisan kronoligis seperti satu penggal cerpen yang memiliki open ending. Tetapi mengingat pandangan Freud soal mimpi, aku pikir apa yang berlangsung dalam mimpiku, segamblang apa pun semua peristiwa terlihat jelas, adalah bentuk latent content. Kemudian aku bertanya, apa yang hendak disampaikan alam bawah sadarku? Jika ada simbol-simbol, atau mungkin ada satu dua hal yang begitu ingin aku capai atau aku singkirkan dalam kehidupan nyata, dan aku ingin memahami semua itu, maka jalan terbaik adalah mulai menuliskan sedetail mungkin apa yang berlangsung. 

Menuliskan itu di sini kurasa bukan tempatnya. Tetapi ada benang merah yang bisa aku tarik dari hal-hal yang terjadi. Semuanya jika kuringkas menjadi keyword dalam satu tulisan panjang, maka rasa-rasanya akan terdengar seperti ini : 26 tahun hidup di dunia dan apa-apa saja yang seharusnya telah terjadi.

Dua apel dan dua jeruk tiap dua hari sekali

Aku terkadang tertawa sendiri saat menyadari beberapa hal kecil yang aku lakukan adalah upayaku mengatasi ketidakmampuanku dalam banyak hal. Sebagian besar adalah keputusan yang kupilih tanpa sadar. Seperti saat aku membeli dua buah apel dan dua buah jeruk secara teratur tiap dua hari sekali di minimarket. Aku bisa saja membeli banyak sekaligus untuk disimpan selama seminggu. Tapi saat itu aku tidak memiliki kulkas, sehingga yang kupikirkan (tanpa sadar) adalah : apel-apel itu tidak akan kemana-mana, kenapa tidak biarkan saja mereka tetap selalu segar dan utuh.

Di minimarket yang hanya punya kulkas kecil pun apel-apel itu bisa bertahan lama dengan lebih baik. Secara teknis apel-apel itu belum jadi milik-ku, tapi bagaimana pun aku telah membuat keputusan. Jadi aku telah membeli apel-apel itu dalam pikiran, seara idealis, teoritis. Dan kenyataannya memang aku mampu memiliki apel-apel itu sekarang juga jika aku mau.

Lama-kelamaan aku memperoleh ilusi; khayalan bahwa pada dasarnya semua kebutuhanku telah tersedia, setidakrealistis apa pun itu. Bahkan dengan fakta yang gamblang bahwa kebanyakan hal bukanlah apel atau jeruk yang bisa mudah diperoleh. Lucu saat menyadari bahwa aku dengan mudahnya termakan mentalitas itu, seperti saat aku berpikir bahwa upayaku dalam mempresentasikan diri, misalnya di media sosial atau kantor tempat kerja, akan mengesani orang-orang bahwa aku sebetulnya memiliki lebih dari apa yang sebetulnya aku punya.  

Aku penasaran apakah pikiran serupa juga pernah muncul dibenak orang-orang, bahkan mereka yang punya dampak signifikan dalam terbentuknya dunia seperti apa adanya sekarang. Jika melihat tindakan yang dibuat orang, contohlah Hitler jauh sebelum Ia merealisasikan tujaun hidupnya, rasanya aku dengan mudah bisa menebak bahwa barangkali 'mentalitas telah memiki' adalah hal yang lumrah. Misalkan ide nya tentang Lebensraum, yang kelak akan mengharuskannya membabat banyak tanah milik negeri lain di Eropa agar rakyat Jerman punya tempat yang luas untuk hidup makmur dengan sumber daya melimpah. 

Lalu bagaimana dengan politik luar negeri Spanyol dan Portugis 400 tahun lalu, saat membagi peta dunia: ini bagianku, ini bagianmu? Atau Kebijakan AS yang suka ikut campur kalau-kalau di satu negara ada sumber minyak sangat melimpah. 

Barangkali, jika mentalitas ini bisa teraktualisasi ke banyak bentuk, maka salah satunya pasti adalah ide-ide optimis (segila apapun itu) bahwa benda yang kini masih abstrak dan belum ada dalam genggaman sebetulnya adalah hak inherent yang melekat sejak lahir.

Mungkin aku kejauhan. 

Satu saat aku pernah meminta temanku mengambil fotoku saat kami bermain ke kafe. Aku duduk, di depanku adalah gelas kopi dan makanan yang terlampau bagus dipresentasikan sehingga sayang menghabiskannya. Aku pindah ke balkon, di foto lagi dengan latar gedung-gedung tinggi. Bagaimana dengan itu? aku hampir membagikannya di media sosial lantaran saat itu yang muncul di benakku adalah keharusan untuk mengesani semua orang; bahwa aku berada pada satu titik saat di sekelilingku ada cozy thing, dan begitu menyenangkannya mendapati orang-orang penyadari fakta itu melekat pada kehidupanku, segamblang apa pun kenyataan bahwa aku hanya datang ke tempat itu pada saat tertentu saja, sekali-kali saat sedang tidak meyesal hendak kehilangan banyak uang tabungan dalam satu kesempatan singkat. Aku tidak jadi memposting nya karena kenyataan bahwa tampangku konyol sekali di foto-foto itu.

Kupikir 'mentalitas telah memiliki' sungguhan ada di benak orang-orang sebagai bentuk kelaziman. Mungki ada istilah lain untuk itu yang tidak terdengar konyol seperti bagaimana aku menyebutnya. Bukan hal penting untuk dipikirkan, tapi setidaknya aku dapat penjelasan yang cukup memuaskan dan komplit kenapa dulu aku suka sekali repot bolak-balik membeli dua apel dan dua jeruk tiap dua hari sekali.

 

 



Aku mengambil foto ini tanggal 25 Maret , hampir 5 bulan lalu di masa awal pandemi. Karena punya banyak waktu aku memutuskan lari pagi mengitari tempat itu. Kurasa saat itu pukul 5.30 pagi, dan meskipun telah melewati tempat itu ratusan kali aku berpikir barangkali aku tidak benar-benar mengenal banyak hal di sekitarku. Di hari-hari berikutnya saat aku melewati tempat itu lagi, seperti sebuah wajah, aku beroleh kesan bahwa Ia dengan begitu mudah bisa mengubah-ubah air mukanya. 
Jika mengingat tempat asalku yang selalu senyap sepanjang waktu, secuil waktu di pagi hari seperti ini membuatku menyadari bahwa dunia pada dasarnya adalah tempat yang sepi. Tapi tidak berapa lama aku bisa mendengar suara bising yang menghapuskan semua kesan itu. 
Seharusnya matahari dengan bentuk mirip seperti itu pernah terjadi berkali-kali karena dunia telah ada jutaan tahun. 

Mungkin kemarin-kemarin ada juga sesorang yang mengamati langit yang mirip dengan ini dan beroleh kesan bahwa dunia pada dasarnya adalah tempat yang sepi.

-Samping gedung Gandaria 8-


1 Bulan Terisolasi

Saat iseng membuka-buka jurnal yang sebagian besar tidak tersalin ke blog dan melihat foto-foto lama, aku mencoba mengingat suasana hati macam apa yang menghinggapiku saat itu. Sekarang tanggal 2 Ramadhan, bertepatan dengan 26 April 2020. Aku mulai berpikir ini adalah tahun paling aneh dalam hidupku. Setiap kali menulis hal-hal semacam ini aku diliputi rasa ganjil yang sama saat aku mulai menulis nyaris 10 tahun lalu. Masuk SMA aku menyalin beberapa ke sini, kebiasaan tidak berguna itu terus berlanjut. Entah kenapa aku melakukannya, saat itu mungkin aku hanya ingin meninggalkan semacam jejak. 

Aku begitu sadar semua ini adalah buang-buang waktu. Pukul 9:59 pagi, hari minggu, aku bisa menghabiskan waktu untuk apapun, tapi aku lagi-lagi mulai membuat kalimat-kalimat di sini (Sebetulnya aku sedang lembur, tetapi hanya menunggu pekerjaan seseorang selesai dan aku cuma sekedar menjadi reviewer).
Hanya Tuhan yang tahu kapan aku akhirnya berhenti menulis.

Tapi aku ingat alasanku buang-buang waktu di sini. Aku mungkin ingin meninggalkan semacam jejak, atau sekedar ingin merasa lega saat tahu bahwa aku pernah punya suasana hati serupa seperti apa yang terjadi hari ini. 
5,7, atau 10 tahun lagi aku akan iseng membuka catatan ini, dan menerka-nerka suasana hati semacam apa yang sedang aku rasakan.

-----------------------------------------------------------------------------

Ada beberapa catatan penting yang ingin aku ingat agar 5,7, atau 10 tahun lagi aku dapat gambaran  lebih baik saat menerka-nerka apa yang berlangsung hari ini.

1) Aku telah bekerja secara remote selama satu bulan lebih dan selama itu motivasiku turun drastis. Dalam waktu singkat ini aku sering berdebat dengan beberapa orang di kejauhan (mungkin aku berhasil membuat satu dua orang merasa jengkel). 
Beberapa kali aku diskusi dengan seorang teman soal pekerjaan, atau kami sekedar iseng membicaran atasan yang mulai menjadi menyebalkan di masa pandemik ini. Bersyukur aku bisa melakukan hal itu dan banyak memperoleh semacam motivasi. Aku kadang memaki-maki dalam hati kenapa wabah ini terjadi bersamaan dengan saat-saat akhir masa kontrak kerjaku. Sejak lulus kuliah hampir 2 tahun lalu, baru kali ini merasa ketakutan. Aku menelfon orang tuaku dan mengatakan bahwa aku telah berusaha melamar pekerjaan ke banyak tempat, hanya saja belum membuahkan hasil. Jika kontrak kerja habis dan aku tidak mendapat perpanjangan maka aku akan stuck di kota ini di tengah wabah bodoh, sebagai pengangguran

2) Wabah ini semakin parah saat Ramadhan datang sehingga rencanaku pulang ke rumah Jumat sore setiap minggu tidak terlaksana. Tapi aku bersyukur karena beberapa hal :
- Adik perempuanku berhasil masuk universitas yang dinginkannya, aku tidak akan bisa memberinya selamat secara langsung, paling tidak sampai Jakarta resmi di buka dan aku tidak akan disuruh putar balik saat hendak pulang. 
- Kakak perempuanku, sekitar 3 minggu lalu, entah bagaimana caranya bisa diam-diam pulang ke rumah tanpa terdeteksi. Aku khawatir jika Ia ketahuan keluargaku akan masuk daftar ODP. Ia tentunya paham juga hal itu dan pasti berusahan menjadi invisible. Seharusnya kini ia sudah melewati masa self quarantine.
- Adik laki-laki ku sama-sama harus menghabiskan masa-masa ini di Jakarta. Tapi ia punya penghidupan yang jauh-jauh lebih baik di sini (sudah sejak lama aku diam-diam punya prediksi kalau Ia akan melampauiku di banyak hal, termasuk pekerjaan). Entah kenapa itu membuatku lega. Aku telah lama mengakui, sejak SD, bahwa barangkali aku yang seorang adik. 

3) Andi Taufan dan Belva Devara mundur dari jabatan staf khusus presiden. Aku bersimpati pada mereka yang berusaha berkontribusi, tetapi harus menelan banyak celaan. Walaupun mundur mereka tidak mengendurkan effort kerja nya. Dan di masa-masa pandemik yang menyulitkan semua orang ini kita akan tahu kualitas orang sesungguhnya. Aku mendapat semacam tamparan karena masuk bulan Ramadhan motivasiku kering sama sekali. Belajar dari orang-orang itu membuatku paham bahwa kapasitasku bukan apa-apa bahkan untuk sekedar bisa menyulut lagi motivasi.

4) Aku menulis ini sambil menunggu pekerjaan Pak Maryanto usai (ia alasan aku harus lembur). Aku sering mendebatnya lewat telfon. Kurasa Ia merasa sangat jengkel, tapi belakangan, entah kenapa Ia sering share foto lingkungan rumahnya yang masih aman di Indramayu. Seperti kakak perempuanku, ia diam-diam 'kabur' dari Jakarta. Katanya Ia naik motor malam-malam menempuh 200 km, dan begitu sampai langsung melakukan self quarantine. Ia menceritakan aksi nekat itu lewat telfon beberap hari lalu, dan dengan lucu mengatakan bahwa Ia otomatis menjadi ODP kalau sampai kepergok jalan-jalan pagi. Mungkin gara-gara aku mulai mengurangi intensitas bantahanku di telfon, Ia pun menceritakan keluarganya, pekerjaan lamanya sebelum pindah (dan kini Ia sial karena harus satu tim denganku). Sangat melegekan mengetahui banyak orang masih bisa berada di rumah bersama keluarga di tengah pandemik.

Jakarta, 22 Maret 2020

Aku memikirkan hal ini saat sedang duduk di mikrolet yang berjalan dari Bogor menuju terminal dekat rumahku lebih dari sebulan lalu.  Beberapa menit sebelumnya, aku berdiri di depan stasiun Bogor, dipenuhi perasan yang hanya akan muncul di saat-saat tertentu. Aku bisa dengan enteng 'menghanguskan' uang untuk segelas minuman ringan yang  lebih mahal dari tiket kereta yang juga baru saja hangus itu. 5 menit, itu yang aku katakan berulang-ulang dalam hati. Ya Tuhan, kalau aku datang 5 menit lebih awal aku pasti sedang duduk di gerbong ber AC dan sampai rumah sejam kemudian, alih-alih kini aku harus menghabiskan 2 jam tambahan lagi. Aku lupa sejak kapan situasi trivial dengan mudahnya bisa merubah perasaan secara signifikan. Atau mungkin ini hanya satu hal asing lain yang berkembang di dalam benak semua orang saat pelan-pelan tumbuh dewasa.

Selama duduk berdesak-desakan di kendaraan meyedihkan itu aku berpikir lebih jauh lagi. Semuanya adalah pertanyaan serupa : 'mengapa dulu aku memutuskan itu', 'apa jadinya kalau aku melakukan atau tidak melakukan itu', 'mengapa aku tumbuh di sebuah kota kecil', dan seterusnya.

Di tengah-tengah miserable feeling (ya aku suka melebih-lebihkan) aku tetap menemukan perjalanan pulang menjadi pemicu paling baik dari munculnya pikiran, seperti bagaimana sukabumi yang menjadi tempat aku menghabiskan masa kecil membentuk apa yang aku tahu tentang diriku sekarang. Aku bisa saja tumbuh di tempat mana pun di dunia, tapi nampaknya kota kecil ini yg dipilih Tuhan. Kemudian benak ini, ruang jasmani yg aku tempati, resource yang aku punya sekarang, lingkaran kecil kehidupan di Jakarta, semua menjadi terasa asing saat aku duduk di kereta menyaksikan kota yang pelan-pelan ingin aku kenali lagi. 

Aku satu dua kali bertemu beberapa teman lama saat berjalan dari stasiun menuju rumah. Kami berpura-pura masih menyimpan keakraban, seolah 5, 10, 15 tahun bukan waktu yang lama untuk membuat orang menjadi merasa asing satu sama lain; bahwa orang yang saat itu bicara padaku telah menjalani semua bagian penting dalam hidupnya tanpa aku pernah terlibat sedikitpun.
Dan kurasa kami dilingkupi satu perasaan sama saat saling bergegas mengakhiri percakapan yang dibuat-buat untuk terasa hangat : kami seperti sekumpulan ikan salmon yang terbaru-buru mencapai hulu sungai, ingin kembali ke tempat asal. Teman-teman lama itu biasanya tidak pernah lagi aku temui, atau berusaha aku hubungi.

Peristiwa kecil semacam itu sering mengingatkanku bahwa barangkali kota ini telah seutuhnya menjadi 'orang' asing lain dalam hidupku, dan bahwa sepanjang hidupku nanti aku akan terus-menerus menjumpai hal-hal baru, orang-orang baru, tempat baru, yang semuanya pada satu titik akan  menjadi orang-orang asing lainnya.

***
Aku lupa pernah menulis catatan ini di handphone, dan kini terdorong untuk menyelesaikannya  lantaran waktuku terasa lebih longgar di tengah-tengah semua kejadian yang berlangsung.
Jakarta sudah sejak lama membatasi akses keluar masuk.
Kini tempatku menghabiskan masa kecil itu terasa sangat-sangat jauh.

Jakarta, 22 Maret 2020

Jakarta, 29 Februari 2020

Biasanya aku mulai merasa ingin menulis saat selesai membaca satu buku, setelah menonton film bagus, atau terserang insomnia, meskipun belakangan semua itu tidak bisa membuatku ingin menuliskan apapun.

Semua hal abstak yang aku pikirkan ini muncul beberapa waktu lalu. Lantaran pulang larut malam dan merasa kalaparan, aku berkeliaran dulu mencari makanan. Aku berjalan cukup jauh dari tempatku bekerja. Di jalan aku tidak berpkir apa-apa, tapi ingat melihat seorang gelandangan yang tidur dengan damai di jembatan penyeberangan. Jalanan becek, kupikir (satu-satunya yang aku pikirkan saat itu) hujan turun tidak berselang lama. Udara hangat dan kemeja flanel yang aku pakai mulai lengket dengan kulitku.

Aku sebetulnya hanya ingin mengatakan bahwa malam itu aku tidak bisa tidur. Tapi aku tidak bisa mengatakannya tanpa merasa perlu mengungkapkan dulu beberapa kejadian secara kronologis:

1. Aku telah lulus dari perguruan tinggi 2 tahun berselang, dan menjalani hidup dengan alakadarnya sebagai insinyur struktur. Aku bekerja penuh waktu, dan baru-baru ini keranjingan pulang malam.
2. Saat itu aku lagi-lagi dengan sengaja pulang larut malam, meskipun tidak ada deadline yang mesti aku selesaikan.
3. Satu hal membuatku sadar bahwa aku telah berlama-lama berada dalam permainan pikiranku sendiri, bahwa aku telah berbuat bodoh habis-habisan, dan barangkali aku telah mencapai titik balik.
4. Aku duduk diam di kursi begitu sampai di kamar, menaruh kantong plastik berisi makanan yang tidak jadi aku makan malam itu.

Dalam upaya keras untuk bisa tertidur (aku kesulitan 'mematikan' pikiranku) aku terus-menerus menyesali diri yang mulai kehilangan keinginan dalam melakukan banyak hal. Aku memutuskan berhenti dari kelas musik setelah menjalaninya selama 5 tahun, dan membatalkan niatku manjadi pangajar di salah satu sekolah; bebulan-bulan di Jakarta aku kesulitan menghabiskan satu buku pun; aku bekerja seperti robot tanpa menikmati apa yang aku lakukan, dan seterusnya dan seterusnya.

Entah bagaimana akhirnya aku tidur, dan tahu-tahu mendapati diri keesokan paginya berusaha kembali mengulang hari.

Aku terkesan pada daya tahanku menghadapi persoalan ini. Saat ini adalah satu penggal waktu yang aku tidak bisa mengukur, memprediksi, dan berharap bagaimana ujungnya akan berlangsung. Biasanya aku tidak pernah repot-repot selain sibuk berkutat meyakinkan diri bahwa di satu masa apa pun aku berada, aku hanya seperti orang yang duduk di dalam bus, menjumpai orang asing di bangku sebelah, kemudian berbincang sepanjang jalan, lantas berpisah di tujuan masing-masing.

Hidup rasanya mudah jika berlangsung seperti itu. Aku tahu pasti tujuanku, paham apa-apa yang aku ingingkan, dan tidak repot menebak arah mana yang mesti ditempuh atau dihindari. Hubungan dengan orang lain hanya seperti perbincangan hangat yang berlangsung singkat dalam bus, tidak lebih. Kini bahkan aku kerap merasa muak pada upaya-upaya kecil membesarkan hati seperti, "kamu masih muda, coba banyak hal! apapun yang terjadi hadapi saja", hal klise seperti "semua ada timing nya.."

Kurasa Tuhan mau memberi reward besar untuk sebuah kesabaran atau rasa syukur lantaran kedua hal itu sulit dijalani. Hanya saja, aku biasa menipu diri dengan mengatakan aku bersyukur, lihat saja, aku melakukan rutinitasku setiap hari dengan baik, tanpa sekali pun tergoda untuk mangkir.

Kupikir setidaknya itu penemuan penting yang aku peroleh dalam satu penggal waktu ini, bahwa sehebat apa pun aku berusaha bersyukur, rasa tidak tenang, tidak puas, frustasi karena kegagalan-kegagalan keinginan, selalu ambil bagian.
Barangkali seseorang mencapai kedewasaan ketika mampu memilah dan menentukan sebanyak apa porsi yang mau repot-repot dipikirkan. Dan seharusnya gejolak-gejolak semacam ini tidak ambil banyak tempat.

Jakarta, 29 Februari 2020

Flowers

Part 1
It was 15 years ago when I began to conduct a few experiments with trivial things I can easily found. I realized that ordinary yet mysterious stuff around me can be an object of a deep thought. I suppose that's how scientist, let say Newton and Einstein come up with many brilliant ideas.

There are two flowers among them, whose existence is being something I never noticed before, something I didn’t want to pay attention to.

I remember that day I was walking with friends, passed by the abandoned yard thronged with ‘wilding’ and bush. Wedged among those wild plants are some red flowers. Their appearance is obvious: Shaped attractively, yet their petals didn’t catch my attention. Not until one of my friends took one of those flowers harshly, and at that ordinary moment shown us a disgusting spectacle. He ripped out the lower part of it, a tiny green cover that reminds me with a cap, or scarf, but this one suppose to attach to the flower permanently. After mutilating the flower, he observed for a moment, look at something that shouldn’t be exposed to the universe, to the sunshine, to the lustful eyes.
I didn’t understand what would he did with that tiny red thing—the creature whose existence just stops at that moment.

“Look!” He said. Shown us what lays under the “green cap” he ripped out a moment before. That was a liquid. Small amount of clear colorless water. That was the first time I witnessed such a thing. Not until mid-school I clearly understand what the water is. Nectar: the holy water of life. The very essence of their existence. Of course they can count on wind or rainfall to spread their seed. But the fact they provide the ‘water’ in such a way is a proof that this is the matter of life and death for them.

Death is what those flowers would have faced that day. Naturally, bees or another ‘civilized’ creature who needs the nectar will go into the petal. Politely knock the door and entering the very private room of such vulnerable creatures. They are just like a delegate from foreign country entering emperor palace to bring friendship offering and diplomatic treaty. The great mutual symbiosis designed perfectly by God Almighty Himself.
But this ‘filthy’ creature, friend of mine, like European Bandit who called themselves ‘VOC’, literally took everything from the small red creature, including its life, for that crystal clear nectar. He sucked the flower at its lower part that covered by green cover a moment before, the part of pity creature that shouldn’t experience such a thing. After drying up all the nectar inside, he threw away the dying flower.

“That was sweet and delicious.” He cried.
What happened next is something I can’t bear to tell. For it was the greatest looting of life itself, the annihilation of all possibility for the creature to continue its existence by spreading their seed, vandalism to the natural balance.

And I, was not only seeing the incident, but also took a part in that pillage. We left that place after all the flowers ripped out from the tree. They lied died on the ground.


Part 2
It was a rainy day. I hate it because nothing I can do, but the tranquillity clinging in the air I was doing fine staying inside. I watched ‘Wall-E’ movie, laid I my bed with a warm blanket and a bowl of instant noodles. There was the scene when ‘Eva’ discovers the tiny green seed, the only plant survives in the earth. To watch that scene remind me of ‘the white flower’, that’s how I called her. I accidentally found ‘the white flower’ when I play football long ago when I was at elementary school. I forget the detail, but I thought I kicked the ball too hard it flew away and goes under the ditch.

The ditch not very big but little kid in my size can easily cramp to it. When I looked down, the ball was there covered by a layer of mud (not that kind of filthy and stink muds). The water inside the ditch was nearly as clear as water at the aquarium in my house. Even it looked more attractive with all those wild green aquatic flora. Dozens of tiny fish swam around, didn’t realized I watched over them through that crystal clear water. I took the ball. All the fish gone immediately as the water become chaotic. I was just about to leave that place when I saw a white flower attached to the ditch wall. She was alone at that ditch. The size was as big as my hand. Big enough to make her look prominent.

I remembered the “red flower” incident not long before, and I thought if inside those ordinary red flowers lays nectar, there must one that much more delicious lays inside this beautiful flower. I immediately took the flower, killed her without any hesitance, and voilà! I found them. Just like the red flower, all the nectar was hidden over there at the bottom of her body (Of course, I ripped out some “part” of her.).

I sucked it all and was very surprised with what I found. I cried a bit. Such an awful thing! The nectar is rather sweet and delicious, it tastes like a spicy sauce. The most terrible thing I ever taste. It reminds me of an acid at ants body, or perhaps it was similar to it. Perhaps she “eats” the flies, or any bug who dare to disturb her kingdom. She uses the liquid to digested her prey, kind of, perhaps, I am not sure.

After the incident, every time I saw her grow everywhere at a damp wall, surrounded by moss or fern at any kind, I saw something magnificent. She looks like a proud princess between her protectors.

One should not dare to mess with her.

The God of Small Things


Entering 2020 I got a lot of goals to be achieved. Among those goals are all of my articles, essay, journal, or whatever I have written, got translated into English. I found this is the easiest way to push myself drafting. I do give a fuck with grammatical or spelling, but I don’t want to strictly make it perfect.

#1. The God of Small Things, Sunday 20th October 2019

Traveling home to my parents' house at Sukabumi now becomes my new habit. As the distance is relatively close, compare to 2 years ago when I still living in Surabaya, I at least take a short 3 to 4 hours journey in every 3 weeks. It was 28th September 2019 when I took the last journey. At the point I sat down on the train 3 weeks ago, until I found myself inside the same train this morning, I saw the city change bit by bit – I was amazed by how my little city grow.

It takes more than a year after graduating from college until I realized that I was challenged. But by whom?

I shall face the truth, a pretty and enchanting reality that I am NOTHING, while In front of me are thousands of doors from which I shall start over. What I have to do is to decide which door I want to open. I did a lot of mistakes in the past of how I bring myself: I turned to another direction for no good reason and abruptly change my plan. Now every single hesitance, even a thought to start doing a new thing, can easily put me into dejected feeling. I face a big deal problem of how to be an adult, which I rarely given a fuck at before. I realize that a decisive change shall be taken, although I have a lack of resources to understand even the smallest thing, such as a simple rule of thumb of how I have to pay every single stupidity I’ve done.

When randomly took a book from my bookshelf this morning, I found The God of Small Things novel. It belongs to my sister. I don’t remember how it finally ends up there but I steal her books so often, then it makes any sense. The book that told the story about British colonial era in India reminds me of Pramoedya Ananta Toer works, but in another version with different cultural backgrounds. Nevertheless, I found a subtle similarity in how the cruelty is going on.

I’m not going to make a review of the book here. But, there is something slip into my mind just by reading its title and it feels like someone slaps my face.

How I can expect the big thing will happen, if I always ignoring all of little thing scattered around?
I heard about this very often, yet it never put me into this feeling before: to bring myself in such a manner that I never ignore all the little thing.  I never really understand that the trivial can bring the most important thing in my life, or even show me the turning point.

I can’t simply ignoring the daily small act such as praying in mosque, answer my mother’s chat in WhatsApp immediately, or push myself to attend monthly religious talk at my working place. 
I found that taking such things into account, in a serious way, is somehow similar with witnessing my little city growing.

Berita mengenai pemilihan menteri

Berita pemilihan menteri menjadi sorotan publik. Tampaknya masyarakat yang  semakin melek politik masing-masing boleh memiliki pendapat terhadap hal itu. Pemberitaan yang terkesan sangat digembor-gemborkan memicu banyak tanggapan, terutama di jejaring sosial yang rasanya pada dekade ini merupakan media paling sukses dalam membuat viral suatu pemberitaan. Saya termasuk orang yang mendapat informasi sebagian besar melalui media online. Hal itu secara langsung membuat saya ‘kemasukan’ semua jenis opini.

Selanjutnya, karena tidak ingin repot-repot menyaring semua pendapat yang ada, saya merasa perlu untuk mengkaji sendiri berita ini. Walaupun saya sepenuhnya sadar apa yang muncul belakangan dalam pikiran saya mungkin tidak lebih dari sekadar ‘cukup tahu’. Tapi pada gilirannya, terdorong oleh desakan bahwa tidak cukup bagi kita hanya menerima mentah-mentah begitu saja kebijakan yang dibuat pemerintah, saya merasa harus bersuara, dan opini yang tidak berarti apa-apa ini seharusnya sesuai dengan salah satu dari beberapa kelompok pendapat yang muncul.

Pada mulanya saya membuat sebuah pertanyaan untuk saya jawab sendiri. Yaitu, sejauh mana selama ini saya mengikuti jalannya pemerintahan dan secara sungguh-sungguh berniat untuk memahami sistem kerja yang sedang berlangsung tersebut? Satu jawaban singkat segera muncul dalam pikiran saya, dan itu bukan merupakan jawaban dari pertanyaan barusan, melainkan satu pertanyaan balik yang teramat menganggu dan sejujurnya membuat saya sendiri merasa malu : mengapa saya mendadak peduli pada masalah ini, di saat publik membicarakannya ramai-ramai?

Akhirnya saya menyadari penilaian saya  barangkali hanyalah selentingan pikiran temporer semata, yang muncul karena terbawa oleh arus deras pemberitaan. Kadang kala saya bertanya apakah sebagian besar orang sungguh-sungguh paham dengan suara mereka sendiri. Saya tidak berniat mengatakan bahwa opini seharusnya muncul dari hasil pemikiran serius yang didasari oleh proses belajar disipilin melalui membaca atau diskusi rutin, karena seharusnya tidak perlu susah-susah bagi kita untuk menilai apa yang berlangsung dengan begitu jelas dan gamblang di depan mata.
Berita ini mungkin sama mudahnya untuk dimengerti sebagaimana berita terorisme yang berulang-ulang mendera Perancis, atau berita mencengangkan dari Turki yang pernah menderita pemberontakan serius lewat beberapa tahun kebelalang. Kita bahkan tidak akan kesulitan mencari berbagai fakta karena semua media cetak atau online saling berkompetisi membeberkannya.
Memahami apa yang terjadi tidak sulit semestinya. Tetapi ada dua persoalan yang saya rasa perlu kita semua jawab. Pertama, apakah pertanyaan yang selanjutnya akan muncul di benak semua orang? (dengan anggapan semua orang tidak begitu saja melupakan berita ini seperti melupakan berita-berita gosip).

Adakah jaminan dengan mengganti mentri kinerja pemerintah (maksudku orang yang sama, Jokowi) akan jauh meningkat? Barangkali pertanyaan itu yang sering muncul. Dalam pikiran paling praktis saya menganggap bahwa apa yang dilakukan Jokowi mungkin adalah tindakan buang-buang waktu. Secara mudah, bayangkan saja sebuah mobil yang harus mengebut agar mencapai tujuan tepat waktu, sementara kita adalah penumpangnya dan apapun yang terjadi bergantung pada bagaimana supir menyetir. Di tengah jalan, pada saat mobil sedang melaju dengan kecepatannya yang paling optimal, mendadak kita diharuskan berhenti guna mengganti sopir (kita bahkan tidak begitu paham kenapanya). Saat hal ini terjadi sebetulnya kita baru saja kehilangan waktu. Tapi sekarang kita belum harus khawatir. Kita baru boleh cemas saat mengetahui bahwa tidak hanya sopir yang diganti, melainkan lengkap dengan kendaraannya (yang kita tidak tahu seperti apa bentuknya). Bagaimana kita tahu sopir baru itu akan paham kondisi jalanan melebihi sopir lama kita yang telah berpengalaman di jalan ini selama satu atau dua tahun? Mungkin sopir baru hanya sebatas melanjutkan kerja sopir lama dengan gaya yang berbeda. Kita boleh merasa khawatir jika ia akan bekerja lebih buruk, bahkan mungkin ia mampu mengebut jauh lebih mahir. Tetapi kita seharusnya tidak mengabaikan kemungkinan supir baru ini alih-alih mengebut, malah sibuk sendiri meraba-raba kondisi jalan, terlebih lagi jika mobil baru nya tidak seefektif mobil lama. Selanjutnya, anggaplah tenggat waktu yang diberikan untuk kita berkendara telah habis, dan anggaplah kebanyakan dari kita tidak begitu tahu percis kemana tujuan mobil ini (yang paling kita sadari hanyalah tahu-tahu mobil telah sampai di suatu tempat). Apa yang akan kita katakan pada supir kita yang baik hati, yang telah membawah kita sejauh ini?

Sekarang memang bukan waktunya kita memikirkan hal itu. Hanya saja, apapapun yang terjadi, kita yang kemarin-kemarin repot-repot beropini (bahkan bersitegang), berkewajiban terus memantau kerja orang-orang baru ini. Apalah pentingnya semua opini yang kita suarakan kalau pada akhirnya, setelah masa pemerintahan ini selesai, kita sama sekali kebingan pada satu pertanyaan yang paling sedehana sekalipun : mana yang lebih ngebut? Supir lama kita atau supir baru? (pertanyaan sejenis ini sering muncul pada saat jabatan satu presiden selesai).

Kedua. Persoalan ini muncul seketika di benak saya begitu berita ini menjadi viral, dan untuk menjabarkannya hanya perlu satu kata.
Mengapa?

Dengan iseng saya membuka browser di ponsel dan mengetik berbagai kata kunci. Terlibat kasus, ingin jadi capres, tetap jadi ketua parpol, dan lain sebagainya, membanjiri artikel-artikel yang saya buka. Yang saya sayangkan adalah ketidakvalidan alasan-alasan yang dikabarkan sebagai sebab beberapa menteri di copot dan diganti oleh Jokowi. Sejauh ini saya harus menyadari begitu lemahnya saya dalam memahami persoalan. Dalam pikiran yang paling naif saya merasa ada perlunya Jokowi mengumumkan alasan-alasan ia memilih atau mengganti beberapa menteri. Menteri (1) Pernah terlibat kasus A, menteri (2) Sangat penurut dan loyal, (3)Ingin jadi wapres lagi, dan sebagainya. Barangkali seperti itu.


Dalam catatan pinggir majalah Tempo edisi 6 November 2016, Goenawan Mohammad mangatakan bahwa di Negeri ini, ada orang-orang yang tampil di atas podium, ada yang berjubel tampak-tak tampak. Sebenarnya yang tampak-dan-tak-tampak itulah yang membuat sejarah.

“Indonesia” berasal dari bawah.

Sepotong kalimat diatas adalah pembuka yang ditulis Goenawan Muhammad dalam catatan pinggir majalah Tempo edisi 6 November 2016.  “Bawah” dimaknai sebagai mayoritas. Seperti sebuah piramida, “bawah” merupakan bagain terbesar dan terkokoh; sebuah kelas dengan jumlah paling banyak menyimpan potensi.  Sudah sejak beberapa abad lalu, kelas bawah ini, yang direpresentasikan oleh kaum buruh dan petani, menjadi sumber lahirnya banyak peristiwa penting.
Mundur lebih jauh lagi, melalui sejarah kita akan paham bahwa apa yang kita nikmati kini buah dari  kalangan “bawah”. Perjuangan kelas tani, pedagang (yang pertama-tama berhimpun), pelajar, adalah perjuangan kelas bawah. Belakangan kaum pelajar behimpun dan lihat bagaimana signifikan dampaknya.

Meskipun terutama hanya karena dorongan media sosial, aku jadi mau ikut-ikutan melihat peristiwa beberapa waktu lalu, dan diliputi rasa haru bagaimana pemerintah kita dibuat tampak kecil oleh teriakan ‘anak-anak’. Semasa kuliah aku jarang terlibat aktivitas politik. Faktanya aku memang bukan tipe itu. Tetapi dari banyak diskusi (aku sering terlibat sebagai pendengar), aku sadar bahwa apa yang berlangsung sekarang adalah permasalahan milik orang-orang seusiaku yang dulu berkoar di ere reformasi.

Selentingan pikiran mengatakan apakah teriakan-teriakan itu akan menggema? Apa yang akan terjadi begitu di masa mendatang generasi kita lah yang ‘diteriaki’ anak-anak kita.

Soe Hok Gie pernah mengkritik teman-teman sejawatnya yang setelah perjuangan melawan orde lama usai, duduk enak-enakan di lingkaran penguasa baru (tampak lupa pada apa yang diperjuangkan dulu). Aku setuju dengannya bahwa perjuangan kita pada dasarnya hanya akan melahirkan satu golongan penguasa baru yang bukan 'kita'. Seperti revolusi komunis rusia yang bermaksud menghapus kelas dalam masyarakat, justru malah memunculkan kelas baru yaitu golongan partai yang absolut.

Aku sebetulnya hijau pada persoalan ini, tetapi membaca harian kompas tadi pagi, aku agaknya paham bahwa pemerintahan baru Jokowi mendatang adalah satu bentuk kemenangan golongan. Bagaimana parlemen kini dipimpin: ketua DPR Puan Maharani, ketua DPD La Nyala, dan ketua MPR Bambang Susetyo, memberi petunjuk bagaimana Jokowi nanti akan menyusun kabinet.

Bagi-bagi kekuasaan untuk lingkaran sendiri adalah lumrah, begitu kata penulis di harian Kompas yang artikelnya kubaca tadi. Advantage dan disadvantage  dari cara Jokowi hendak menjalankan pemerintahan dibeberkan. Aku terima saja itu sebagai ilmu ‘sebatas tahu’.

Sebagai bagian dari orang-orang yang di bawah (seperti diibaratkan Goenawan Mohamad), aku boleh merasa agak kecewa pada Jokowi. Ditambah lagi fakta bahwa unjuk rasa besar beberapa hari lalu terkait UU KPK tidak digubris (dari berita terakhir aku dengar rancangan UU itu telah disahkan), aku jadi setuju dengan penulis artikel di harian Kompas tadi pagi: Kita masyarakat seperti pengantin baru yang diselingkuhi di tengah-tengah bulan madu.

Belakangan aku terus-menerus memikirkan bagaimana Allah hendak menunjukan bahwa tindakan bodoh pasti ada bayarannya. Aku semestinya ingat bahwa semua tindakan, ucapan, apapun yang kuperbuat pada manusia lain akan berbalik padaku dan tidak perlu menunggu lama untuk memperolehnya. Kata Tolstoy "Tuhan tahu, tapi menunggu".  

Berulang-ulang aku berharap dapat menarik kembali banyak hal: perkataan, tindakan paling sederhana yang kupikir sepele ternyata membekas begitu dalam pada orang lain; Bahkan aku mau menarik kembali sebuah pikiran yang terbersit.
Atau perasaan yang muncul begitu saja jika seandainya hati dan pikiran sepenuh-penuhnya dalam genggaman. 


Sering-sering pulang ke rumah membuatku memaafkan banyak hal, tapi hal itu berlaku juga sebaliknya

Aku pernah beberapa kali memutuskan untuk membenci satu dua hal. Mengingat masa kecilku di Sukabumi, saat sekolah dasar dan menengah aku membenci harus berjalan melewati sekumpulan orang yang selalu usil dalam berbagai situasi, dan saat duduk berkumpul bersama-sama, mereka dapat tempat khusus untuk menjadi mengesalkan sehingga tidak mau melewatkan semenit pun tanpa menganggu anak-anak lain. Dalam banyak kesempatan aku akan putar balik mencari jalan lain. Tapi sesekali aku turut bersama satu dua yang dikerjai habis-habisan.

Mengalami hal semacam itu saat kecil bagi banyak orang adalah persoalan serius lantaran menurut mereka, psikologi seorang anak seperti bubur encer, dan bagaimanpun ia kelak akan tumbuh dewasa, dengan atau tanpa menyadari psikologinya telah diganggu seperti bubur yang terlalu banyak diaduk-aduk. Aku merasa tidak setuju dengan pendapat ini, tetapi belakangan aku berpikir apa jadinya jika dulu aku tidak perlu selalu merasa khawatir saat berjalan sendiri.

Di usia setua ini, jika mengingat-ingat bagaimana aku bertemu tanpa sengaja dengan satu dua anak yang sering mengganggu saat kecil dulu, aku diliputi satu perasaan halus saat kami menaruh hormat satu sama lain. Saling melempar senyum dan menanyai kabar, membagi informasi sekarang sedang kerja di mana, berbasa-basi mengajak mampir ke rumah, dan seterusnya. Aku lupa pada kenyataan bahwa orang yang berada di hadapanku pernah aku benci habis-habisan.

Perasaan itu bisa berlaku kebalikannya dalam banyak situasi lain. Hal yang mirip aku rasakan di awal-awal masa SMA, aku bertemu sahabat dekat yang dalam tiga tahun tidak aku temui karena berbeda SMP, dan saat bertemu kembali kami merasa asing satu sama lain. Akhirnya SMA aku lalui tanpa punya satu kesempatan lagi untuk membentuk pertemanan yang pernah berlangsung tiga tahun lalu. Aku bisanya dengan iri memperhatikan bagaimana satu dua teman dekatku tumbuh sedemikian rupa tanpa aku terlibat sedikit pun di dalamnya.

Ada banyak hal akan berubah, tanpa aku bisa berpikir apa yang semestinya akan menjadi baik atau menjadi buruk dalam waktu yang terlewati itu. Tiga tahun lagi akan datang titik di mana aku menyimpulkan sesuatu yang mustahil kubayangkan sekarang, entah itu hal-hal yang berkaitan dengan orang-orang di sekitarku atau diriku sendiri. Kini aku masuk dalam kehidupan yang dulu kubayangkannya dengan sedemikian rupa, anehnya aku telah sama sekali lupa bagaimana aku pernah membayangkannya. Aku hanya merasa yakin kalau Ia (aku saat itu) akan begitu bernafsu untuk menghajarku habis-habisan jika tahu apa yang akan terjadi pada dirinya.

Aku ingat satu memoar dalam kumpulan esai yang ditulis Orwell. Di penghujung masa perang dunia II ia harus berjalan menemani Jurnalis anti perang yang sangat benci pada Jerman. Tidak ada yang aneh dengan itu karena tampaknya sebagian besar penduduk Eropa merasakan hal sama. Kebenciannya begitu jeneral, seolah apapun yang dilekati kata 'Jerman' adalah benda busuk. Persoalannya, ia belum pernah terlibat langsung dalam konflik sehingga apa yang ada di pikirannya betul-betul subjektif. Begitu kondisi telah sedikit 'aman',  ia mengambil kesempatan pertama untuk terjun ke lapangan dan dengan membawa serta kebenciannya ia berjalan masuk ke daerah konflik yang baru berakhir. Titik balik terjadi saat di tengah jalan ia melihat mayat tentara Jerman yang sangat memprihatinkan. Dalam sekejap rasa bencinya yang jeneral pada apapun tentang Jerman menguap habis. Apa yang terjadi setelahnya ada kebalikan dari semua hal yang dipikirkan dan diucapkan jurnalis itu. Ia menjadi begitu simpati dan tersentuh begitu menemui bagaimana orang-orang Jerman juga menjadi sengsara lantaran perang. Melihat kejadian itu, Orwell berkesimpulan bagaimana manusia sebetulnya membenci hanya pada situasi lemah atau takut. Melihat apa yang dibencinya kini tidak berdaya sama sekali membuat perasaan berputar balik.
Aku memikirkan hal itu baik-baik. Dan setelah sekian lama, saat aku akhirnya bisa sering-sering pulang ke rumah, kurasa apa yang Orwell katakan ada benarnya juga.

Hanya saja di satu sisi aku merasa kebingungan apakah perkataannya akurat lantaran aku telah melupakan banyak hal, atau kerena sesuatu telah tumbuh dalam diriku sehingga aku tidak lagi merasa 'lemah' terhadap satu hal yang begitu aku takuti dulu. Dan pikiran ini rupanya berlaku juga pada kondisi sebaliknya. Apa yang dulu begitu aku bayangkan akan terjadi dan berjalan dengan baik, kini adalah asal mula perasaan cemas terbesar dan ketakutan atas kehilangan waktu.

Delicate

Jakarta, Akhir Juli

Selalu ada cukup kata untuk mendefiniskan sesuatu. Aku menyadari bahwa ‘delicate’ tidak ada padanannya (atau aku belum menemukan saja). “Secara Halus”, paling-paling itu yang muncul di kamus. Satu kalimat bisa menggunakannya dengan ganjil seperti : The plumber working delicately. Awalnya aku mengartikan secara harfiah dengan “bekerja secara halus”. Tetapi informasi yang kuperoleh belakangan menunjukan bahwa belajar bahasa memang tidak segampang yang aku pikir. Hanya tukang pipa yang betul-betul mengerti cara memperbaiki wastafel bocor. Kira-kira itu maksud sesungguhnya.
Aku agak memahami kenapa ia diterjemahkan secara hafiah sebagai “cara yang halus”. Rasanya sulit menjelaskan bagaimana seseorang bisa melakukan satu hal lebih baik dari orang lain. Saat mencoba menjawab teka-teki itu, aku perlu berpikir seperti ini terlebih dahulu:

Aku kerap berada dalam situasi canggung saat masuk ke lingkungan baru yang sama sekali asing bagiku. Secara natural biasanya aku akan memencilkan diri di sudutku dan berusaha untuk tidak menonjolkan diri sedikit pun. Orang semacamku kelihatannya memang berbakat untuk memainkan peran itu. Dalam situasi itu aku dapat tempat istimewa khusus untuk bisa merasakan jati diriku sebaik mungkin. Kehidupan tengah bermaksud menjalankan rencananya tanpa mementingkan apakah aku terlibat atau tidak.

Kenyataannya aku membenci situasi itu habis-habisan. Dengan dungu aku sering melihat bagaimana wajahku terpantul di monitor komputer yang mati lantaran masuk ke mode sleep, lalu secara tergesa-gesa aku menekan satu tombol di keyboard agar pantulan wajahku segera lenyap. Dalam detik-detik terakhir itu aku biasanya berhasil menangkap sekilas wajah yang mengatakan: bagaimana aku akan membawa diriku andai masuk ke dalam lingkaran orang-orang? Satu pikiran segara mengusaiku dan mangatakan bahwa aku akan tetap berada di sudutku duduk dengan tenang, di lingkaran pergaulan apapun aku berada. Memahami maksud delicate dengan cara membandingkan dir terhadap lingkungan sekitar rupanya memberiku pengertian yang cukup memuaskan.

Bagaimana seseorang bisa mempraktikan tindakan-tindakan sederhana yang menimbulkan suasana hangat, inisiatif untuk membuka pembicaraan, menjadi cair dengan lawan bicara yang punya karakter berlainan, dan seterusnya dan seterusnya, adalah bentuk terjemahan yang bagus dari delicate. Memahami bahwa kemampuan yang teramat khusus itu akan sulit ditemui dalam diriku membuatku sadar bahwa satu pengertian yang mampu mewakili banyak keaadaan, terutama saat berkaitan dengan kondisi 'halus' yang susah diungkapkan, adalah penemuan yang teramat penting. Aku semacam memperoleh tongkat penggaruk untuk mencapai satu sudut di punggungku yang sulit dijangkau.
Dan tongkat itu membantu beroleh pengertian lebih baik tentang siapa orang di dalam ruang jasmani yang telah mengisi kehidupannya tanpa menjadi signifikan bagi apa pun ini.

Beberapa detail penting yang aku pikirkan dan ingin aku nikmati

Jakarta belum terasa mengesankan seperti Surabaya. Tapi cukup banyak detail kecil terjadi di tahun ini. Sebetulnya aku ingin menikmati kesan dari banyak detail yg berlangsung, tapi yang ada malah pikiran seperti ini : seharusnya kini aku sedang melesat dengan cepat di tengah-tengah usahaku ntuk mewujudkan berbagai hal yang telah kurencanakan dengan baik, kalau saja aku mulai memupuk sejak lama ambisi ke dalam diriku yang begitu enggan menerima yang paling sepele sekalipun. 

Kalaupun aku mendapati diri menjalani hari-hari sebagai pekerja yang tekun, bukan karena aku punya ambisi tinggi. Kenyataannya apa yang kulakukan kini ala kadarnya. Rasa-rasanya semua itu hanya lantaran aku tidak mau kelaparan! atau meminta ibuku mengirimi uang . Aku bekerja sekeras yang aku mampu hingga beroleh kepuasan kecil ketika satu tahap aku lalui, dan aku pulang berjalan kaki sambil berpikir apa yang akan aku kerjakan besok. Barangkali aku hanya menghabiskan waktu seperti anak kecil yang bosan di tengah film kartun dan mulai mencari makanan ringan.

Gagasan itu sempat aku kemukakan pada seorang teman dan seperti yang kuduga, ia berkata bahwa pikiran semacam itu cukup membahayakan. Ia menjelaskan pokok masalahnya sehingga aku paham bahwa gagasan itu agak ngeri untuk dijalani. Barangkali saja nanti aku akan dengan enteng berujar bahwa aku sibuk menjalani ibadah, Shalat, Puasa, hanya karena aku takut masuk neraka. Ia berkata lebih lanjut bahwa barangkali aku, pada satu titik akan mulai membenci kehidupan yang sendiri ini, hanya lantaran pikiran bahwa aku tidak mau menua seorang diri, tanpa ada seseorang di sampingku : kami menghabiskan waktu di dalam semacam rumah dengan perapian, dan seterusnya dan seterusnya.

Aku iri bagaimana kebanyakan orang dapat sepenuh hatinya menjalani banyak hal sambil memasukan ruh kedalamnya. Menjadikan persoalan yang ia geluti sebagai bagian tak terpisahkan dari jiwanya, dan perasaan yang dilibatkan dalam melakukan semua hal membuat ia jauh dari gagasan mengenai manusia separuh mesin.

Kubiarkan diriku puas dengan kesimpulan menyesakkan bahwa aku tidak lebih dari serangkaian komponen mesin yang tidak punya inisiatif, tapi takut diancam kelaparan, atau takut oleh kemarahan Tuhan, dan seterusnya.