Berita mengenai pemilihan menteri

Berita pemilihan menteri menjadi sorotan publik. Tampaknya masyarakat yang  semakin melek politik masing-masing boleh memiliki pendapat terhadap hal itu. Pemberitaan yang terkesan sangat digembor-gemborkan memicu banyak tanggapan, terutama di jejaring sosial yang rasanya pada dekade ini merupakan media paling sukses dalam membuat viral suatu pemberitaan. Saya termasuk orang yang mendapat informasi sebagian besar melalui media online. Hal itu secara langsung membuat saya ‘kemasukan’ semua jenis opini.

Selanjutnya, karena tidak ingin repot-repot menyaring semua pendapat yang ada, saya merasa perlu untuk mengkaji sendiri berita ini. Walaupun saya sepenuhnya sadar apa yang muncul belakangan dalam pikiran saya mungkin tidak lebih dari sekadar ‘cukup tahu’. Tapi pada gilirannya, terdorong oleh desakan bahwa tidak cukup bagi kita hanya menerima mentah-mentah begitu saja kebijakan yang dibuat pemerintah, saya merasa harus bersuara, dan opini yang tidak berarti apa-apa ini seharusnya sesuai dengan salah satu dari beberapa kelompok pendapat yang muncul.

Pada mulanya saya membuat sebuah pertanyaan untuk saya jawab sendiri. Yaitu, sejauh mana selama ini saya mengikuti jalannya pemerintahan dan secara sungguh-sungguh berniat untuk memahami sistem kerja yang sedang berlangsung tersebut? Satu jawaban singkat segera muncul dalam pikiran saya, dan itu bukan merupakan jawaban dari pertanyaan barusan, melainkan satu pertanyaan balik yang teramat menganggu dan sejujurnya membuat saya sendiri merasa malu : mengapa saya mendadak peduli pada masalah ini, di saat publik membicarakannya ramai-ramai?

Akhirnya saya menyadari penilaian saya  barangkali hanyalah selentingan pikiran temporer semata, yang muncul karena terbawa oleh arus deras pemberitaan. Kadang kala saya bertanya apakah sebagian besar orang sungguh-sungguh paham dengan suara mereka sendiri. Saya tidak berniat mengatakan bahwa opini seharusnya muncul dari hasil pemikiran serius yang didasari oleh proses belajar disipilin melalui membaca atau diskusi rutin, karena seharusnya tidak perlu susah-susah bagi kita untuk menilai apa yang berlangsung dengan begitu jelas dan gamblang di depan mata.
Berita ini mungkin sama mudahnya untuk dimengerti sebagaimana berita terorisme yang berulang-ulang mendera Perancis, atau berita mencengangkan dari Turki yang pernah menderita pemberontakan serius lewat beberapa tahun kebelalang. Kita bahkan tidak akan kesulitan mencari berbagai fakta karena semua media cetak atau online saling berkompetisi membeberkannya.
Memahami apa yang terjadi tidak sulit semestinya. Tetapi ada dua persoalan yang saya rasa perlu kita semua jawab. Pertama, apakah pertanyaan yang selanjutnya akan muncul di benak semua orang? (dengan anggapan semua orang tidak begitu saja melupakan berita ini seperti melupakan berita-berita gosip).

Adakah jaminan dengan mengganti mentri kinerja pemerintah (maksudku orang yang sama, Jokowi) akan jauh meningkat? Barangkali pertanyaan itu yang sering muncul. Dalam pikiran paling praktis saya menganggap bahwa apa yang dilakukan Jokowi mungkin adalah tindakan buang-buang waktu. Secara mudah, bayangkan saja sebuah mobil yang harus mengebut agar mencapai tujuan tepat waktu, sementara kita adalah penumpangnya dan apapun yang terjadi bergantung pada bagaimana supir menyetir. Di tengah jalan, pada saat mobil sedang melaju dengan kecepatannya yang paling optimal, mendadak kita diharuskan berhenti guna mengganti sopir (kita bahkan tidak begitu paham kenapanya). Saat hal ini terjadi sebetulnya kita baru saja kehilangan waktu. Tapi sekarang kita belum harus khawatir. Kita baru boleh cemas saat mengetahui bahwa tidak hanya sopir yang diganti, melainkan lengkap dengan kendaraannya (yang kita tidak tahu seperti apa bentuknya). Bagaimana kita tahu sopir baru itu akan paham kondisi jalanan melebihi sopir lama kita yang telah berpengalaman di jalan ini selama satu atau dua tahun? Mungkin sopir baru hanya sebatas melanjutkan kerja sopir lama dengan gaya yang berbeda. Kita boleh merasa khawatir jika ia akan bekerja lebih buruk, bahkan mungkin ia mampu mengebut jauh lebih mahir. Tetapi kita seharusnya tidak mengabaikan kemungkinan supir baru ini alih-alih mengebut, malah sibuk sendiri meraba-raba kondisi jalan, terlebih lagi jika mobil baru nya tidak seefektif mobil lama. Selanjutnya, anggaplah tenggat waktu yang diberikan untuk kita berkendara telah habis, dan anggaplah kebanyakan dari kita tidak begitu tahu percis kemana tujuan mobil ini (yang paling kita sadari hanyalah tahu-tahu mobil telah sampai di suatu tempat). Apa yang akan kita katakan pada supir kita yang baik hati, yang telah membawah kita sejauh ini?

Sekarang memang bukan waktunya kita memikirkan hal itu. Hanya saja, apapapun yang terjadi, kita yang kemarin-kemarin repot-repot beropini (bahkan bersitegang), berkewajiban terus memantau kerja orang-orang baru ini. Apalah pentingnya semua opini yang kita suarakan kalau pada akhirnya, setelah masa pemerintahan ini selesai, kita sama sekali kebingan pada satu pertanyaan yang paling sedehana sekalipun : mana yang lebih ngebut? Supir lama kita atau supir baru? (pertanyaan sejenis ini sering muncul pada saat jabatan satu presiden selesai).

Kedua. Persoalan ini muncul seketika di benak saya begitu berita ini menjadi viral, dan untuk menjabarkannya hanya perlu satu kata.
Mengapa?

Dengan iseng saya membuka browser di ponsel dan mengetik berbagai kata kunci. Terlibat kasus, ingin jadi capres, tetap jadi ketua parpol, dan lain sebagainya, membanjiri artikel-artikel yang saya buka. Yang saya sayangkan adalah ketidakvalidan alasan-alasan yang dikabarkan sebagai sebab beberapa menteri di copot dan diganti oleh Jokowi. Sejauh ini saya harus menyadari begitu lemahnya saya dalam memahami persoalan. Dalam pikiran yang paling naif saya merasa ada perlunya Jokowi mengumumkan alasan-alasan ia memilih atau mengganti beberapa menteri. Menteri (1) Pernah terlibat kasus A, menteri (2) Sangat penurut dan loyal, (3)Ingin jadi wapres lagi, dan sebagainya. Barangkali seperti itu.


Dalam catatan pinggir majalah Tempo edisi 6 November 2016, Goenawan Mohammad mangatakan bahwa di Negeri ini, ada orang-orang yang tampil di atas podium, ada yang berjubel tampak-tak tampak. Sebenarnya yang tampak-dan-tak-tampak itulah yang membuat sejarah.

“Indonesia” berasal dari bawah.

Sepotong kalimat diatas adalah pembuka yang ditulis Goenawan Muhammad dalam catatan pinggir majalah Tempo edisi 6 November 2016.  “Bawah” dimaknai sebagai mayoritas. Seperti sebuah piramida, “bawah” merupakan bagain terbesar dan terkokoh; sebuah kelas dengan jumlah paling banyak menyimpan potensi.  Sudah sejak beberapa abad lalu, kelas bawah ini, yang direpresentasikan oleh kaum buruh dan petani, menjadi sumber lahirnya banyak peristiwa penting.
Mundur lebih jauh lagi, melalui sejarah kita akan paham bahwa apa yang kita nikmati kini buah dari  kalangan “bawah”. Perjuangan kelas tani, pedagang (yang pertama-tama berhimpun), pelajar, adalah perjuangan kelas bawah. Belakangan kaum pelajar behimpun dan lihat bagaimana signifikan dampaknya.

Meskipun terutama hanya karena dorongan media sosial, aku jadi mau ikut-ikutan melihat peristiwa beberapa waktu lalu, dan diliputi rasa haru bagaimana pemerintah kita dibuat tampak kecil oleh teriakan ‘anak-anak’. Semasa kuliah aku jarang terlibat aktivitas politik. Faktanya aku memang bukan tipe itu. Tetapi dari banyak diskusi (aku sering terlibat sebagai pendengar), aku sadar bahwa apa yang berlangsung sekarang adalah permasalahan milik orang-orang seusiaku yang dulu berkoar di ere reformasi.

Selentingan pikiran mengatakan apakah teriakan-teriakan itu akan menggema? Apa yang akan terjadi begitu di masa mendatang generasi kita lah yang ‘diteriaki’ anak-anak kita.

Soe Hok Gie pernah mengkritik teman-teman sejawatnya yang setelah perjuangan melawan orde lama usai, duduk enak-enakan di lingkaran penguasa baru (tampak lupa pada apa yang diperjuangkan dulu). Aku setuju dengannya bahwa perjuangan kita pada dasarnya hanya akan melahirkan satu golongan penguasa baru yang bukan 'kita'. Seperti revolusi komunis rusia yang bermaksud menghapus kelas dalam masyarakat, justru malah memunculkan kelas baru yaitu golongan partai yang absolut.

Aku sebetulnya hijau pada persoalan ini, tetapi membaca harian kompas tadi pagi, aku agaknya paham bahwa pemerintahan baru Jokowi mendatang adalah satu bentuk kemenangan golongan. Bagaimana parlemen kini dipimpin: ketua DPR Puan Maharani, ketua DPD La Nyala, dan ketua MPR Bambang Susetyo, memberi petunjuk bagaimana Jokowi nanti akan menyusun kabinet.

Bagi-bagi kekuasaan untuk lingkaran sendiri adalah lumrah, begitu kata penulis di harian Kompas yang artikelnya kubaca tadi. Advantage dan disadvantage  dari cara Jokowi hendak menjalankan pemerintahan dibeberkan. Aku terima saja itu sebagai ilmu ‘sebatas tahu’.

Sebagai bagian dari orang-orang yang di bawah (seperti diibaratkan Goenawan Mohamad), aku boleh merasa agak kecewa pada Jokowi. Ditambah lagi fakta bahwa unjuk rasa besar beberapa hari lalu terkait UU KPK tidak digubris (dari berita terakhir aku dengar rancangan UU itu telah disahkan), aku jadi setuju dengan penulis artikel di harian Kompas tadi pagi: Kita masyarakat seperti pengantin baru yang diselingkuhi di tengah-tengah bulan madu.