(Ada kemungkinan besar aku spoiler)

Aku Ingin bercerita. Dalam salah satu usahanya memahami apa yang dirinya inginkan, tokoh ‘Aku’ dalam buku The Temple of the Golden Pavilion-nya Yukio Mishima berakhir pada keadaan yang penuh 'kekosongan’ di batinnya. Ia mulai kehabisan hal-hal yang menjaganya tetap memandang 'kuil kencana’ sebagai perwujudan dari puncak keindahan, dan saat menatap api mulai malahap puncak atap kuil yang indah itu, Ia tenggelam dalam kekosongan yang disertai aroma tembakau. Ia menghisap rokoknya pelan-pelan penuh kepuasan.

Paling tidak kalimat itulah satu-satunya yang berhasil aku tulis untuk menyimpulkan cerita dalam buku The Temple of the Golden Pavilion.

Yukio Mishima mati dalam keadaan pisau membelah perutnya. Kenyataan itu membuatku pernah berpikir bahwa penulis yang mampu melahirkan karya2 semacam The Old Man and the Sea atau The Temple of the Golden Pavilion, rasanya punya ciri-ciri sama dengan Mishima : mereka terlibat sangat dalam dengan tokoh karangannya.

Aku berpikir barangkali metafora berlebihan yang Mishima coba ungkapkan dalam tokoh yang menderita banyak kehilangan itu (dan berakhir pada kesimpulan bahwa sumber keindahan terbesar yang menjadi pusat hidupnya layak menjadi abu) adalah gambaran penuh dramatisir dari ujung kehidupan orang-orang yang sepanjang hidupnya resah, bahkan oleh pertanyaan sederhana sekalipun seperti 'kenapa aku hidup, mau kemana, dan untuk apa.’

Beberapa kali aku pernah terlibat (sebagai pendengar pasif) diskusi kecil-kecilan bersama beberapa senior di kampus (kebanyakan dari mereka aktif di masjid atau berkiprah sebagai pentolan BEM). Aku nyaris selalu mendengar pertanyaan paling mendasar tersebut dilontarkan. Kebanyakan punya pandangan yang begitu gamblang : mempersiapkan kehidupan setelah mati. Beberapa yang lain berputar-putar pada logika yang sesekali diselingi istilah seperti eksistensialis, dialektika, atau semacamnya yang kurasa belum lama ini mereka dengar.

…..

Aku ingin menulis lebih jauh lagi. Tetapi rasanya pendapatku nanti hanya akan berakhir seperti ini : manusia akan bertanya soal hakikat hidupnya, soal bagaimana hal-hal terjadi dan meninggalkannya, bagaimana di dunia ini keindahan banyak diciptakan sementara ia tidak kebagian jatah.

Dan jawaban 'mempersiapkan kehidupan setelah mati’ adalah kesimpulan terbaik yang bisa aku pikirkan.

Tainan

02-05 September 2018

Perjalanan ini berlangsung sebelum wisuda. Aku yakin ini terakhir kalinya sebelum aku meninggalkan kampus. Tapi aku bersyukur Taiwan bisa aku kunjungi lagi akhirnya. Andy kebetulan tinggal di Tainan sehingga aku bisa menghabiskan satu malam menelusuri kota itu.







Singapore #Jurnal perjalanan sebelum wisuda

Aku jarang ingin jalan-jalan. Hanya saja sesekali kesempatan datang dan cukup menyenangkan jika bisa merasakan atmosfir berbeda. Aku mungkin berdiri di tempat yang sama dengan seorang kolonel Inggris ratusan tahun lalu yang tidak menyadari betapa negeri yang jauh dari tempatnya tinggal, yang jadi semacam alat penyadap di pucuk pohon yang tingginya puluhan meter demi meraup cairan manis, akan menjadi begini hebatnya.



Aku harusnya di foto dengan latar patung


Maksdunya patung ini. Tidak se 'hebat' kelihatannya. Alih-alih singa, aku medapat kesan lain. Entahlah, mungkin kucing berukuran besar yang makmur dan suka dielus.


Aku repot-repot ke India Town untuk mendapat makanan halal.