Seperti Padi...

Suatu hari ayahku berkata. Mengejar ilmu bukanlah bertujuan untuk menjadi kaya raya. Ayahku tidak pernah menyuruhku untuk belajar yang rajin supaya aku jadi kaya. Tidak. Aku tidak pernah dipukul karena tidak belajar. Nilai ulangan jelekpun ayahku hanya mengangguk takzim lantas menyuruhku ikut les. Jika aku tak mau, tak jadi soal. Paling-paling ia hanya akan mengadu pada ibuku agar aku mau ikut les.
Ayahku tidak pernah menyuruhku untuk jadi dokter yang handal, jadi insinyur jenius seperti Habibie, jadi penulis hebat seperti Pramoedya Ananta Toer, Apalagi jadi orang semacam Bung karno. Ia hanya berkata, jadi apapun gak jadi masalah, yang penting aku tetap ingat pada tujuan utama aku hidup. Akhirat. Karena sikapnyalah aku tidak pernah meremehkan pendidikan. Paling tidak semenjak aku lulus SD. Masa-masa SMP aku mulai menghargai kesucian sebuah pendidikan. Aku tidak ingin main-main apalagi menyalahgunakan pendidikan untuk hal-hal yang akan membuat sekitarku hancur berantakan.
 Aku sering berpikir andai koruptor-koruptor itu pernah dididik dengan cara ayaku. Pasti sudah sejak lama negeri kita sejajar dengan Jepang. Atau belanda. Negeri kincir yang orang-orangnya hebat-hebat bukan main. Aku gak habis pikir bagaimana bisa cucu-cucu mantan 'pengasuh' negara kita bisa berbuat segitu rupa. Aku lebih-lebih kagum pada orang Jepang yang walaupun negerinya nyaris bangkrut pasca perang dunia dua, mampu menjadi negara adidaya saat ini. Ya,, awalnya aku heran pada hal-hal itu. Aku tidak mengerti kenapa bisa ada orang semacam Einstein, Habibie, Dr. Setia Budhi (entah apa hubungannya tetapi nama orang hebat ini diabadikan menjadi nama Jalan di Bandung), dan the Great One, Rasulullah Muhammad SAW. Tapi sekarang aku paham orang-orang bisa jadi seperti itu karena isi kepalanya yang cemerlang. Dan isi kepala yang cemerlang cuma bisa didapat lewat proses berpikir yang brilian. Untuk bisa menciptakan pemikiran yang brilian salah satu caranya lewat pendidikan.
Sudah terhitung enam tahun lebih sejak aku dicerahkan tentang makna pendidikan, aku baru mengerti ucapan-ucapan ayahku yang berbusa-busa tentang pentingnya pendidikan. Tentang guna pendidikan yang bukan untuk memperkaya diri sendiri. Pendidikan bukan untuk menyombongkan kehebatan, menjatuhkan sesama, menjajah, tapi untuk mengangkat harga diri mansuia, tanah air dan Agama yang diinjak-injak. Baru sekaranglah aku faham maksud dari ucapan ayahku yang dulu selalu membuat telingaku panas karena terlalu sering ia ulang-ulang. Bahwa pendidikan yang berhasil pada akhirnya, setinggi apapun, sehebat apapun, akan menjadikan seseorang menjadi manusia yang sederhana. Biar kuulangi, sederhana...
Orang yang jiwanya telah dirasupi ruh-ruh suci ilmu pengetahuan akan menjadi orang paling sederhana dan bijak. Itulah intisari dari sebuah pendidikan. membuat orang menjadi sederhana. berfikir bahwa tidak pantas sekecil apapun ia merasa hebat, karena yang berhak merasa hebat hanyalah Dia yang menjadi sumber ilmu, Allah SWT. Sang maha cerdas. Dari Dia-lah Ilmu yang begitu luas berasal-muasal. Bukan dari hasil pemikiran otak manusia. Maka orang yang paling tolol sedunia adalah orang Jenius yang menganggap dirinyalah sang pemegang ilmu pengetahuan, seakan teori yang ia ciptakan adalah mahakarya yang mampu menyaingi Tuhan..[]

Suatu malam. Waktu aku masih kecil. Aku menguap berkali-kali sambil tertunduk mamandangi sebuah angka keramat di atas secarik kertas. Angka itu dituliskan menggunakan tinta merah. Ibuku ceramah, aku mecuri-curi pandang pada televisi. Aku bisa lihat dua Adik ku yang masih kecil sedang asik menonton kera sakti lompat-lmpat di dalam gua bersama puluhan anak buahnya. Andai aku adalah salah satu anak buah kera sakti yang hanya bermain dan makan pisang setiap hari. Tapi suara ibuku menyadarkan ku lagi pada dunia nyata. Ibu selesai ceremah. Kini Ayahku yang naik ke mimbar. Berkatalah ia.. "Kamu jangan kaya Bapak, bisa di bodoh-bodohin sama orang. Liat! sekarang udah ada listrik. Dulu waktu bapak kecil gak ada listrik! cuma lampu minyak yang dipake gantian sama nenek kamu yang lagi ngejait baju. Kalau dulu ada listrik, bapak pasti jadi orang yang pinter. Gak bisa dibodoh-bodohin...." Aku menguap...