Dalam catatan pinggir majalah Tempo edisi 6 November 2016, Goenawan Mohammad mangatakan bahwa di Negeri ini, ada orang-orang yang tampil di atas podium, ada yang berjubel tampak-tak tampak. Sebenarnya yang tampak-dan-tak-tampak itulah yang membuat sejarah.

“Indonesia” berasal dari bawah.

Sepotong kalimat diatas adalah pembuka yang ditulis Goenawan Muhammad dalam catatan pinggir majalah Tempo edisi 6 November 2016.  “Bawah” dimaknai sebagai mayoritas. Seperti sebuah piramida, “bawah” merupakan bagain terbesar dan terkokoh; sebuah kelas dengan jumlah paling banyak menyimpan potensi.  Sudah sejak beberapa abad lalu, kelas bawah ini, yang direpresentasikan oleh kaum buruh dan petani, menjadi sumber lahirnya banyak peristiwa penting.
Mundur lebih jauh lagi, melalui sejarah kita akan paham bahwa apa yang kita nikmati kini buah dari  kalangan “bawah”. Perjuangan kelas tani, pedagang (yang pertama-tama berhimpun), pelajar, adalah perjuangan kelas bawah. Belakangan kaum pelajar behimpun dan lihat bagaimana signifikan dampaknya.

Meskipun terutama hanya karena dorongan media sosial, aku jadi mau ikut-ikutan melihat peristiwa beberapa waktu lalu, dan diliputi rasa haru bagaimana pemerintah kita dibuat tampak kecil oleh teriakan ‘anak-anak’. Semasa kuliah aku jarang terlibat aktivitas politik. Faktanya aku memang bukan tipe itu. Tetapi dari banyak diskusi (aku sering terlibat sebagai pendengar), aku sadar bahwa apa yang berlangsung sekarang adalah permasalahan milik orang-orang seusiaku yang dulu berkoar di ere reformasi.

Selentingan pikiran mengatakan apakah teriakan-teriakan itu akan menggema? Apa yang akan terjadi begitu di masa mendatang generasi kita lah yang ‘diteriaki’ anak-anak kita.

Soe Hok Gie pernah mengkritik teman-teman sejawatnya yang setelah perjuangan melawan orde lama usai, duduk enak-enakan di lingkaran penguasa baru (tampak lupa pada apa yang diperjuangkan dulu). Aku setuju dengannya bahwa perjuangan kita pada dasarnya hanya akan melahirkan satu golongan penguasa baru yang bukan 'kita'. Seperti revolusi komunis rusia yang bermaksud menghapus kelas dalam masyarakat, justru malah memunculkan kelas baru yaitu golongan partai yang absolut.

Aku sebetulnya hijau pada persoalan ini, tetapi membaca harian kompas tadi pagi, aku agaknya paham bahwa pemerintahan baru Jokowi mendatang adalah satu bentuk kemenangan golongan. Bagaimana parlemen kini dipimpin: ketua DPR Puan Maharani, ketua DPD La Nyala, dan ketua MPR Bambang Susetyo, memberi petunjuk bagaimana Jokowi nanti akan menyusun kabinet.

Bagi-bagi kekuasaan untuk lingkaran sendiri adalah lumrah, begitu kata penulis di harian Kompas yang artikelnya kubaca tadi. Advantage dan disadvantage  dari cara Jokowi hendak menjalankan pemerintahan dibeberkan. Aku terima saja itu sebagai ilmu ‘sebatas tahu’.

Sebagai bagian dari orang-orang yang di bawah (seperti diibaratkan Goenawan Mohamad), aku boleh merasa agak kecewa pada Jokowi. Ditambah lagi fakta bahwa unjuk rasa besar beberapa hari lalu terkait UU KPK tidak digubris (dari berita terakhir aku dengar rancangan UU itu telah disahkan), aku jadi setuju dengan penulis artikel di harian Kompas tadi pagi: Kita masyarakat seperti pengantin baru yang diselingkuhi di tengah-tengah bulan madu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar