penyesalan yang indah

Seperti dalam tulisan yang sudah-sudah, perasaan khawatir bahwa aku mulai mengalami kesulitan mengungkapkan sesuatu yang baik-baik dan positif, mungkin menjadi sebab selama jangka waktu lama aku tidak bisa beroleh satu patah kata pun untuk ditulis. Aku menyadari sejak lama bahwa blog adalah tempat aneh dan satu-satunya yang bisa sedikit memberi ruang bagi pikiranku untuk terbuka. Kenyataan bahwa ada kemungkinan (walau sangat kecil) bagi sesorang membaca keluh kesah yang tidak berguna, kemudian sambil lalu menganggap betapa tidak pentingnya apa yang dilakukan seseorang sehingga membuang-buang waktunya menulis di tempat ini, kenyataan itulah yang memberi jalan bagi pikiranku untuk bisa mengungkapkan sesuatu melalui kalimat-kalimat, yang paling omong kosong sekali pun.

Kita selalu ingin mencicipi semacam perasaan yang hanya datang ketika kita tahu bahwa permasalahan dunia tidaklah ditanggung seorang diri. Juga perasaan aneh ketika kita tahu bahwa seolah-olah dunia turut merasakan permasalahan pribadi yang mendera. Sampai tahap tertentu pikiran itu membuatku sedikit lega.  Akan tetapi penyesalan adalah hal yang sangat berbeda.
Rasa sesal barangkali, adalah satu-satunya yang harus kita habiskan sendiri. Dan biarkan kita terseret dalam perasaan sesal yang dalam dan berlarut-larut, hingga akhirnya diri menemukan titik dimana ia bisa 'pulih'.

Aku tidak pernah menemukan bahwa penyesalan datang terlambat, kenyataanya ia selalu datang tepat waktu, tepat saat perasaan gagal yang menyedihkan, kesadaran menyakitkan bahwa perbuatan yang kita lakukan telah merusak banyak hal, serta siksaan neraka kegagalan keinginan-keinginan seperti yang digambarkan Dostoyefsky, sedang berada di puncaknya. Hal itulah yang menjadikan rasa pulih dari perasaan sesal merupakan satu hal paling baik yang bisa seorang manusia rasakan.
Penyesalan dengan demikian, aku rasa merupakan peringatan terbaik yang bisa seorang manusia dapat dari Tuhan. Kemudian dirinya dapat menyadari bahwa itu hanyalah penghukuman atas kesalahan-kesalahan.

Aku ingat Mersault, lelaki fiktif ciptaan Albert Camus dalam the Stranger, yang hidup tanpa punya perasaan menyesal. Ia menjalani kehidupan absurd dimana perasaannya seakan mati, dan dirinya kosong dari harapan. Perasaan menyesal, kupikir, adalah satu titik tolak penting yang mampu mendorong orang melampaui dirinya kini.

Aku meyakini bahwa  penyesalan, paling tidak, membuat ungkapan 'la vie ne vant pas la peine d'etre vecue', hidup tak layak dijalani, yang lahir dari novel itu, tidak berarti sama sekali.