1 Bulan Terisolasi

Saat iseng membuka-buka jurnal yang sebagian besar tidak tersalin ke blog dan melihat foto-foto lama, aku mencoba mengingat suasana hati macam apa yang menghinggapiku saat itu. Sekarang tanggal 2 Ramadhan, bertepatan dengan 26 April 2020. Aku mulai berpikir ini adalah tahun paling aneh dalam hidupku. Setiap kali menulis hal-hal semacam ini aku diliputi rasa ganjil yang sama saat aku mulai menulis nyaris 10 tahun lalu. Masuk SMA aku menyalin beberapa ke sini, kebiasaan tidak berguna itu terus berlanjut. Entah kenapa aku melakukannya, saat itu mungkin aku hanya ingin meninggalkan semacam jejak. 

Aku begitu sadar semua ini adalah buang-buang waktu. Pukul 9:59 pagi, hari minggu, aku bisa menghabiskan waktu untuk apapun, tapi aku lagi-lagi mulai membuat kalimat-kalimat di sini (Sebetulnya aku sedang lembur, tetapi hanya menunggu pekerjaan seseorang selesai dan aku cuma sekedar menjadi reviewer).
Hanya Tuhan yang tahu kapan aku akhirnya berhenti menulis.

Tapi aku ingat alasanku buang-buang waktu di sini. Aku mungkin ingin meninggalkan semacam jejak, atau sekedar ingin merasa lega saat tahu bahwa aku pernah punya suasana hati serupa seperti apa yang terjadi hari ini. 
5,7, atau 10 tahun lagi aku akan iseng membuka catatan ini, dan menerka-nerka suasana hati semacam apa yang sedang aku rasakan.

-----------------------------------------------------------------------------

Ada beberapa catatan penting yang ingin aku ingat agar 5,7, atau 10 tahun lagi aku dapat gambaran  lebih baik saat menerka-nerka apa yang berlangsung hari ini.

1) Aku telah bekerja secara remote selama satu bulan lebih dan selama itu motivasiku turun drastis. Dalam waktu singkat ini aku sering berdebat dengan beberapa orang di kejauhan (mungkin aku berhasil membuat satu dua orang merasa jengkel). 
Beberapa kali aku diskusi dengan seorang teman soal pekerjaan, atau kami sekedar iseng membicaran atasan yang mulai menjadi menyebalkan di masa pandemik ini. Bersyukur aku bisa melakukan hal itu dan banyak memperoleh semacam motivasi. Aku kadang memaki-maki dalam hati kenapa wabah ini terjadi bersamaan dengan saat-saat akhir masa kontrak kerjaku. Sejak lulus kuliah hampir 2 tahun lalu, baru kali ini merasa ketakutan. Aku menelfon orang tuaku dan mengatakan bahwa aku telah berusaha melamar pekerjaan ke banyak tempat, hanya saja belum membuahkan hasil. Jika kontrak kerja habis dan aku tidak mendapat perpanjangan maka aku akan stuck di kota ini di tengah wabah bodoh, sebagai pengangguran

2) Wabah ini semakin parah saat Ramadhan datang sehingga rencanaku pulang ke rumah Jumat sore setiap minggu tidak terlaksana. Tapi aku bersyukur karena beberapa hal :
- Adik perempuanku berhasil masuk universitas yang dinginkannya, aku tidak akan bisa memberinya selamat secara langsung, paling tidak sampai Jakarta resmi di buka dan aku tidak akan disuruh putar balik saat hendak pulang. 
- Kakak perempuanku, sekitar 3 minggu lalu, entah bagaimana caranya bisa diam-diam pulang ke rumah tanpa terdeteksi. Aku khawatir jika Ia ketahuan keluargaku akan masuk daftar ODP. Ia tentunya paham juga hal itu dan pasti berusahan menjadi invisible. Seharusnya kini ia sudah melewati masa self quarantine.
- Adik laki-laki ku sama-sama harus menghabiskan masa-masa ini di Jakarta. Tapi ia punya penghidupan yang jauh-jauh lebih baik di sini (sudah sejak lama aku diam-diam punya prediksi kalau Ia akan melampauiku di banyak hal, termasuk pekerjaan). Entah kenapa itu membuatku lega. Aku telah lama mengakui, sejak SD, bahwa barangkali aku yang seorang adik. 

3) Andi Taufan dan Belva Devara mundur dari jabatan staf khusus presiden. Aku bersimpati pada mereka yang berusaha berkontribusi, tetapi harus menelan banyak celaan. Walaupun mundur mereka tidak mengendurkan effort kerja nya. Dan di masa-masa pandemik yang menyulitkan semua orang ini kita akan tahu kualitas orang sesungguhnya. Aku mendapat semacam tamparan karena masuk bulan Ramadhan motivasiku kering sama sekali. Belajar dari orang-orang itu membuatku paham bahwa kapasitasku bukan apa-apa bahkan untuk sekedar bisa menyulut lagi motivasi.

4) Aku menulis ini sambil menunggu pekerjaan Pak Maryanto usai (ia alasan aku harus lembur). Aku sering mendebatnya lewat telfon. Kurasa Ia merasa sangat jengkel, tapi belakangan, entah kenapa Ia sering share foto lingkungan rumahnya yang masih aman di Indramayu. Seperti kakak perempuanku, ia diam-diam 'kabur' dari Jakarta. Katanya Ia naik motor malam-malam menempuh 200 km, dan begitu sampai langsung melakukan self quarantine. Ia menceritakan aksi nekat itu lewat telfon beberap hari lalu, dan dengan lucu mengatakan bahwa Ia otomatis menjadi ODP kalau sampai kepergok jalan-jalan pagi. Mungkin gara-gara aku mulai mengurangi intensitas bantahanku di telfon, Ia pun menceritakan keluarganya, pekerjaan lamanya sebelum pindah (dan kini Ia sial karena harus satu tim denganku). Sangat melegekan mengetahui banyak orang masih bisa berada di rumah bersama keluarga di tengah pandemik.