Jakarta, 22 Maret 2020

Aku memikirkan hal ini saat sedang duduk di mikrolet yang berjalan dari Bogor menuju terminal dekat rumahku lebih dari sebulan lalu.  Beberapa menit sebelumnya, aku berdiri di depan stasiun Bogor, dipenuhi perasan yang hanya akan muncul di saat-saat tertentu. Aku bisa dengan enteng 'menghanguskan' uang untuk segelas minuman ringan yang  lebih mahal dari tiket kereta yang juga baru saja hangus itu. 5 menit, itu yang aku katakan berulang-ulang dalam hati. Ya Tuhan, kalau aku datang 5 menit lebih awal aku pasti sedang duduk di gerbong ber AC dan sampai rumah sejam kemudian, alih-alih kini aku harus menghabiskan 2 jam tambahan lagi. Aku lupa sejak kapan situasi trivial dengan mudahnya bisa merubah perasaan secara signifikan. Atau mungkin ini hanya satu hal asing lain yang berkembang di dalam benak semua orang saat pelan-pelan tumbuh dewasa.

Selama duduk berdesak-desakan di kendaraan meyedihkan itu aku berpikir lebih jauh lagi. Semuanya adalah pertanyaan serupa : 'mengapa dulu aku memutuskan itu', 'apa jadinya kalau aku melakukan atau tidak melakukan itu', 'mengapa aku tumbuh di sebuah kota kecil', dan seterusnya.

Di tengah-tengah miserable feeling (ya aku suka melebih-lebihkan) aku tetap menemukan perjalanan pulang menjadi pemicu paling baik dari munculnya pikiran, seperti bagaimana sukabumi yang menjadi tempat aku menghabiskan masa kecil membentuk apa yang aku tahu tentang diriku sekarang. Aku bisa saja tumbuh di tempat mana pun di dunia, tapi nampaknya kota kecil ini yg dipilih Tuhan. Kemudian benak ini, ruang jasmani yg aku tempati, resource yang aku punya sekarang, lingkaran kecil kehidupan di Jakarta, semua menjadi terasa asing saat aku duduk di kereta menyaksikan kota yang pelan-pelan ingin aku kenali lagi. 

Aku satu dua kali bertemu beberapa teman lama saat berjalan dari stasiun menuju rumah. Kami berpura-pura masih menyimpan keakraban, seolah 5, 10, 15 tahun bukan waktu yang lama untuk membuat orang menjadi merasa asing satu sama lain; bahwa orang yang saat itu bicara padaku telah menjalani semua bagian penting dalam hidupnya tanpa aku pernah terlibat sedikitpun.
Dan kurasa kami dilingkupi satu perasaan sama saat saling bergegas mengakhiri percakapan yang dibuat-buat untuk terasa hangat : kami seperti sekumpulan ikan salmon yang terbaru-buru mencapai hulu sungai, ingin kembali ke tempat asal. Teman-teman lama itu biasanya tidak pernah lagi aku temui, atau berusaha aku hubungi.

Peristiwa kecil semacam itu sering mengingatkanku bahwa barangkali kota ini telah seutuhnya menjadi 'orang' asing lain dalam hidupku, dan bahwa sepanjang hidupku nanti aku akan terus-menerus menjumpai hal-hal baru, orang-orang baru, tempat baru, yang semuanya pada satu titik akan  menjadi orang-orang asing lainnya.

***
Aku lupa pernah menulis catatan ini di handphone, dan kini terdorong untuk menyelesaikannya  lantaran waktuku terasa lebih longgar di tengah-tengah semua kejadian yang berlangsung.
Jakarta sudah sejak lama membatasi akses keluar masuk.
Kini tempatku menghabiskan masa kecil itu terasa sangat-sangat jauh.

Jakarta, 22 Maret 2020