Jakarta, 29 Februari 2020

Biasanya aku mulai merasa ingin menulis saat selesai membaca satu buku, setelah menonton film bagus, atau terserang insomnia, meskipun belakangan semua itu tidak bisa membuatku ingin menuliskan apapun.

Semua hal abstak yang aku pikirkan ini muncul beberapa waktu lalu. Lantaran pulang larut malam dan merasa kalaparan, aku berkeliaran dulu mencari makanan. Aku berjalan cukup jauh dari tempatku bekerja. Di jalan aku tidak berpkir apa-apa, tapi ingat melihat seorang gelandangan yang tidur dengan damai di jembatan penyeberangan. Jalanan becek, kupikir (satu-satunya yang aku pikirkan saat itu) hujan turun tidak berselang lama. Udara hangat dan kemeja flanel yang aku pakai mulai lengket dengan kulitku.

Aku sebetulnya hanya ingin mengatakan bahwa malam itu aku tidak bisa tidur. Tapi aku tidak bisa mengatakannya tanpa merasa perlu mengungkapkan dulu beberapa kejadian secara kronologis:

1. Aku telah lulus dari perguruan tinggi 2 tahun berselang, dan menjalani hidup dengan alakadarnya sebagai insinyur struktur. Aku bekerja penuh waktu, dan baru-baru ini keranjingan pulang malam.
2. Saat itu aku lagi-lagi dengan sengaja pulang larut malam, meskipun tidak ada deadline yang mesti aku selesaikan.
3. Satu hal membuatku sadar bahwa aku telah berlama-lama berada dalam permainan pikiranku sendiri, bahwa aku telah berbuat bodoh habis-habisan, dan barangkali aku telah mencapai titik balik.
4. Aku duduk diam di kursi begitu sampai di kamar, menaruh kantong plastik berisi makanan yang tidak jadi aku makan malam itu.

Dalam upaya keras untuk bisa tertidur (aku kesulitan 'mematikan' pikiranku) aku terus-menerus menyesali diri yang mulai kehilangan keinginan dalam melakukan banyak hal. Aku memutuskan berhenti dari kelas musik setelah menjalaninya selama 5 tahun, dan membatalkan niatku manjadi pangajar di salah satu sekolah; bebulan-bulan di Jakarta aku kesulitan menghabiskan satu buku pun; aku bekerja seperti robot tanpa menikmati apa yang aku lakukan, dan seterusnya dan seterusnya.

Entah bagaimana akhirnya aku tidur, dan tahu-tahu mendapati diri keesokan paginya berusaha kembali mengulang hari.

Aku terkesan pada daya tahanku menghadapi persoalan ini. Saat ini adalah satu penggal waktu yang aku tidak bisa mengukur, memprediksi, dan berharap bagaimana ujungnya akan berlangsung. Biasanya aku tidak pernah repot-repot selain sibuk berkutat meyakinkan diri bahwa di satu masa apa pun aku berada, aku hanya seperti orang yang duduk di dalam bus, menjumpai orang asing di bangku sebelah, kemudian berbincang sepanjang jalan, lantas berpisah di tujuan masing-masing.

Hidup rasanya mudah jika berlangsung seperti itu. Aku tahu pasti tujuanku, paham apa-apa yang aku ingingkan, dan tidak repot menebak arah mana yang mesti ditempuh atau dihindari. Hubungan dengan orang lain hanya seperti perbincangan hangat yang berlangsung singkat dalam bus, tidak lebih. Kini bahkan aku kerap merasa muak pada upaya-upaya kecil membesarkan hati seperti, "kamu masih muda, coba banyak hal! apapun yang terjadi hadapi saja", hal klise seperti "semua ada timing nya.."

Kurasa Tuhan mau memberi reward besar untuk sebuah kesabaran atau rasa syukur lantaran kedua hal itu sulit dijalani. Hanya saja, aku biasa menipu diri dengan mengatakan aku bersyukur, lihat saja, aku melakukan rutinitasku setiap hari dengan baik, tanpa sekali pun tergoda untuk mangkir.

Kupikir setidaknya itu penemuan penting yang aku peroleh dalam satu penggal waktu ini, bahwa sehebat apa pun aku berusaha bersyukur, rasa tidak tenang, tidak puas, frustasi karena kegagalan-kegagalan keinginan, selalu ambil bagian.
Barangkali seseorang mencapai kedewasaan ketika mampu memilah dan menentukan sebanyak apa porsi yang mau repot-repot dipikirkan. Dan seharusnya gejolak-gejolak semacam ini tidak ambil banyak tempat.

Jakarta, 29 Februari 2020