Sering-sering pulang ke rumah membuatku memaafkan banyak hal, tapi hal itu berlaku juga sebaliknya

Aku pernah beberapa kali memutuskan untuk membenci satu dua hal. Mengingat masa kecilku di Sukabumi, saat sekolah dasar dan menengah aku membenci harus berjalan melewati sekumpulan orang yang selalu usil dalam berbagai situasi, dan saat duduk berkumpul bersama-sama, mereka dapat tempat khusus untuk menjadi mengesalkan sehingga tidak mau melewatkan semenit pun tanpa menganggu anak-anak lain. Dalam banyak kesempatan aku akan putar balik mencari jalan lain. Tapi sesekali aku turut bersama satu dua yang dikerjai habis-habisan.

Mengalami hal semacam itu saat kecil bagi banyak orang adalah persoalan serius lantaran menurut mereka, psikologi seorang anak seperti bubur encer, dan bagaimanpun ia kelak akan tumbuh dewasa, dengan atau tanpa menyadari psikologinya telah diganggu seperti bubur yang terlalu banyak diaduk-aduk. Aku merasa tidak setuju dengan pendapat ini, tetapi belakangan aku berpikir apa jadinya jika dulu aku tidak perlu selalu merasa khawatir saat berjalan sendiri.

Di usia setua ini, jika mengingat-ingat bagaimana aku bertemu tanpa sengaja dengan satu dua anak yang sering mengganggu saat kecil dulu, aku diliputi satu perasaan halus saat kami menaruh hormat satu sama lain. Saling melempar senyum dan menanyai kabar, membagi informasi sekarang sedang kerja di mana, berbasa-basi mengajak mampir ke rumah, dan seterusnya. Aku lupa pada kenyataan bahwa orang yang berada di hadapanku pernah aku benci habis-habisan.

Perasaan itu bisa berlaku kebalikannya dalam banyak situasi lain. Hal yang mirip aku rasakan di awal-awal masa SMA, aku bertemu sahabat dekat yang dalam tiga tahun tidak aku temui karena berbeda SMP, dan saat bertemu kembali kami merasa asing satu sama lain. Akhirnya SMA aku lalui tanpa punya satu kesempatan lagi untuk membentuk pertemanan yang pernah berlangsung tiga tahun lalu. Aku bisanya dengan iri memperhatikan bagaimana satu dua teman dekatku tumbuh sedemikian rupa tanpa aku terlibat sedikit pun di dalamnya.

Ada banyak hal akan berubah, tanpa aku bisa berpikir apa yang semestinya akan menjadi baik atau menjadi buruk dalam waktu yang terlewati itu. Tiga tahun lagi akan datang titik di mana aku menyimpulkan sesuatu yang mustahil kubayangkan sekarang, entah itu hal-hal yang berkaitan dengan orang-orang di sekitarku atau diriku sendiri. Kini aku masuk dalam kehidupan yang dulu kubayangkannya dengan sedemikian rupa, anehnya aku telah sama sekali lupa bagaimana aku pernah membayangkannya. Aku hanya merasa yakin kalau Ia (aku saat itu) akan begitu bernafsu untuk menghajarku habis-habisan jika tahu apa yang akan terjadi pada dirinya.

Aku ingat satu memoar dalam kumpulan esai yang ditulis Orwell. Di penghujung masa perang dunia II ia harus berjalan menemani Jurnalis anti perang yang sangat benci pada Jerman. Tidak ada yang aneh dengan itu karena tampaknya sebagian besar penduduk Eropa merasakan hal sama. Kebenciannya begitu jeneral, seolah apapun yang dilekati kata 'Jerman' adalah benda busuk. Persoalannya, ia belum pernah terlibat langsung dalam konflik sehingga apa yang ada di pikirannya betul-betul subjektif. Begitu kondisi telah sedikit 'aman',  ia mengambil kesempatan pertama untuk terjun ke lapangan dan dengan membawa serta kebenciannya ia berjalan masuk ke daerah konflik yang baru berakhir. Titik balik terjadi saat di tengah jalan ia melihat mayat tentara Jerman yang sangat memprihatinkan. Dalam sekejap rasa bencinya yang jeneral pada apapun tentang Jerman menguap habis. Apa yang terjadi setelahnya ada kebalikan dari semua hal yang dipikirkan dan diucapkan jurnalis itu. Ia menjadi begitu simpati dan tersentuh begitu menemui bagaimana orang-orang Jerman juga menjadi sengsara lantaran perang. Melihat kejadian itu, Orwell berkesimpulan bagaimana manusia sebetulnya membenci hanya pada situasi lemah atau takut. Melihat apa yang dibencinya kini tidak berdaya sama sekali membuat perasaan berputar balik.
Aku memikirkan hal itu baik-baik. Dan setelah sekian lama, saat aku akhirnya bisa sering-sering pulang ke rumah, kurasa apa yang Orwell katakan ada benarnya juga.

Hanya saja di satu sisi aku merasa kebingungan apakah perkataannya akurat lantaran aku telah melupakan banyak hal, atau kerena sesuatu telah tumbuh dalam diriku sehingga aku tidak lagi merasa 'lemah' terhadap satu hal yang begitu aku takuti dulu. Dan pikiran ini rupanya berlaku juga pada kondisi sebaliknya. Apa yang dulu begitu aku bayangkan akan terjadi dan berjalan dengan baik, kini adalah asal mula perasaan cemas terbesar dan ketakutan atas kehilangan waktu.

Delicate

Jakarta, Akhir Juli

Selalu ada cukup kata untuk mendefiniskan sesuatu. Aku menyadari bahwa ‘delicate’ tidak ada padanannya (atau aku belum menemukan saja). “Secara Halus”, paling-paling itu yang muncul di kamus. Satu kalimat bisa menggunakannya dengan ganjil seperti : The plumber working delicately. Awalnya aku mengartikan secara harfiah dengan “bekerja secara halus”. Tetapi informasi yang kuperoleh belakangan menunjukan bahwa belajar bahasa memang tidak segampang yang aku pikir. Hanya tukang pipa yang betul-betul mengerti cara memperbaiki wastafel bocor. Kira-kira itu maksud sesungguhnya.
Aku agak memahami kenapa ia diterjemahkan secara hafiah sebagai “cara yang halus”. Rasanya sulit menjelaskan bagaimana seseorang bisa melakukan satu hal lebih baik dari orang lain. Saat mencoba menjawab teka-teki itu, aku perlu berpikir seperti ini terlebih dahulu:

Aku kerap berada dalam situasi canggung saat masuk ke lingkungan baru yang sama sekali asing bagiku. Secara natural biasanya aku akan memencilkan diri di sudutku dan berusaha untuk tidak menonjolkan diri sedikit pun. Orang semacamku kelihatannya memang berbakat untuk memainkan peran itu. Dalam situasi itu aku dapat tempat istimewa khusus untuk bisa merasakan jati diriku sebaik mungkin. Kehidupan tengah bermaksud menjalankan rencananya tanpa mementingkan apakah aku terlibat atau tidak.

Kenyataannya aku membenci situasi itu habis-habisan. Dengan dungu aku sering melihat bagaimana wajahku terpantul di monitor komputer yang mati lantaran masuk ke mode sleep, lalu secara tergesa-gesa aku menekan satu tombol di keyboard agar pantulan wajahku segera lenyap. Dalam detik-detik terakhir itu aku biasanya berhasil menangkap sekilas wajah yang mengatakan: bagaimana aku akan membawa diriku andai masuk ke dalam lingkaran orang-orang? Satu pikiran segara mengusaiku dan mangatakan bahwa aku akan tetap berada di sudutku duduk dengan tenang, di lingkaran pergaulan apapun aku berada. Memahami maksud delicate dengan cara membandingkan dir terhadap lingkungan sekitar rupanya memberiku pengertian yang cukup memuaskan.

Bagaimana seseorang bisa mempraktikan tindakan-tindakan sederhana yang menimbulkan suasana hangat, inisiatif untuk membuka pembicaraan, menjadi cair dengan lawan bicara yang punya karakter berlainan, dan seterusnya dan seterusnya, adalah bentuk terjemahan yang bagus dari delicate. Memahami bahwa kemampuan yang teramat khusus itu akan sulit ditemui dalam diriku membuatku sadar bahwa satu pengertian yang mampu mewakili banyak keaadaan, terutama saat berkaitan dengan kondisi 'halus' yang susah diungkapkan, adalah penemuan yang teramat penting. Aku semacam memperoleh tongkat penggaruk untuk mencapai satu sudut di punggungku yang sulit dijangkau.
Dan tongkat itu membantu beroleh pengertian lebih baik tentang siapa orang di dalam ruang jasmani yang telah mengisi kehidupannya tanpa menjadi signifikan bagi apa pun ini.