Beberapa detail penting yang aku pikirkan dan ingin aku nikmati

Jakarta belum terasa mengesankan seperti Surabaya. Tapi cukup banyak detail kecil terjadi di tahun ini. Sebetulnya aku ingin menikmati kesan dari banyak detail yg berlangsung, tapi yang ada malah pikiran seperti ini : seharusnya kini aku sedang melesat dengan cepat di tengah-tengah usahaku ntuk mewujudkan berbagai hal yang telah kurencanakan dengan baik, kalau saja aku mulai memupuk sejak lama ambisi ke dalam diriku yang begitu enggan menerima yang paling sepele sekalipun. 

Kalaupun aku mendapati diri menjalani hari-hari sebagai pekerja yang tekun, bukan karena aku punya ambisi tinggi. Kenyataannya apa yang kulakukan kini ala kadarnya. Rasa-rasanya semua itu hanya lantaran aku tidak mau kelaparan! atau meminta ibuku mengirimi uang . Aku bekerja sekeras yang aku mampu hingga beroleh kepuasan kecil ketika satu tahap aku lalui, dan aku pulang berjalan kaki sambil berpikir apa yang akan aku kerjakan besok. Barangkali aku hanya menghabiskan waktu seperti anak kecil yang bosan di tengah film kartun dan mulai mencari makanan ringan.

Gagasan itu sempat aku kemukakan pada seorang teman dan seperti yang kuduga, ia berkata bahwa pikiran semacam itu cukup membahayakan. Ia menjelaskan pokok masalahnya sehingga aku paham bahwa gagasan itu agak ngeri untuk dijalani. Barangkali saja nanti aku akan dengan enteng berujar bahwa aku sibuk menjalani ibadah, Shalat, Puasa, hanya karena aku takut masuk neraka. Ia berkata lebih lanjut bahwa barangkali aku, pada satu titik akan mulai membenci kehidupan yang sendiri ini, hanya lantaran pikiran bahwa aku tidak mau menua seorang diri, tanpa ada seseorang di sampingku : kami menghabiskan waktu di dalam semacam rumah dengan perapian, dan seterusnya dan seterusnya.

Aku iri bagaimana kebanyakan orang dapat sepenuh hatinya menjalani banyak hal sambil memasukan ruh kedalamnya. Menjadikan persoalan yang ia geluti sebagai bagian tak terpisahkan dari jiwanya, dan perasaan yang dilibatkan dalam melakukan semua hal membuat ia jauh dari gagasan mengenai manusia separuh mesin.

Kubiarkan diriku puas dengan kesimpulan menyesakkan bahwa aku tidak lebih dari serangkaian komponen mesin yang tidak punya inisiatif, tapi takut diancam kelaparan, atau takut oleh kemarahan Tuhan, dan seterusnya.

Penutup bulan ini

Senin ini aku datang ke Bandung terlalu pagi, Jam 4.30. Semestinya aku tiba 30 menit lebih awal kalau kereta tidak mengalami gangguan kecil. Surabaya sudah 12 jam di belakang dan rasa-rasanya dalam waktu lama aku tidak akan ke sana lagi. Bertahun-tahun banyak hal terjadi di sana. Masa perkuliahan yang begitu ingin aku ulangi lagi, upayaku bekerja serabutan pasca wisuda agar tidak buru-buru pulang ke Sukabumi dan resmi menjadi penganggur, pertemanan yang begitu kental, lingkungan yang baik, masa-masa itu aku tutup dengan satu perjalanan di penghujung Ramadhan.
Kereta punya sistem pendingin yang kurasa sedikit berlebihan, tetapi untuk kasus ini aku pikir ia jadi semacam 'penghangat' karena begitu keluar gerbong, udara Bandung membuatku harus membongkar tas dan mengambil jaket. Walaupun sama-sama dingin, selisih keduanya membuat gerbong jadi terasa lebih nyaman. Berjalan-Jalan di stasiun aku merasa lebih hangat karena lorong dipenuhi orang-orang yang baru selesai sahur.
Besok adalah hari lebaran dan aku mesti melanjutkan perjalanan ke Sukabumi untuk pulang. Lantaran telat membeli tiket travel, satu-satunya kursi tersisa yaitu mobil yang berangkat jam 10 pagi. aku mencoba berlama-lama di stasiun tapi hanya tahan sampai jam 5.30. Baru setelah itu aku berpikir untuk datang saja dulu ke Balubur Town Square karena Travel sudah buka dari jam 5. Aku mestinya bisa menitipkan satu koper besar dan back pack lantas jalan-jalan sebentar.
Balubur masih gelap, tentu saja. Tapi di rubanah sebagian kios-kios sudah buka. Travel berada di salah satu pojok yang langsung menghadap ke kolong fly over Pasopati. Aku mengobrol sebentar dengan seorang pegawai sebelum minta ijin menitip barang. "Saya mau ke ITB dulu sebentar." Kataku. Pegawai travel mengecek status tiketku sebelum membolehkan aku menitipkan koper besar dan back pack. ITB cukup ditempuh 10 menit berjalan kaki. Aku berniat mengunjungi Masjid Salman untuk tidur.
Besok sudah lebaran saja, pikirku (baru belakangan aku tahu Ramadhan digenapkan dan lebaran diundur jadi hari Rabu). Bandung jadi terasa sepi sekali (Daerah itu jarang sepi). Di jalan depan ITB tidak tampak ada orang atau kuda (biasanya banyak kuda untuk wisatawan, atau barangkali aku jalan terlalu pagi). Begitu memasuki lingkungan masjid salman, keramaian membuatku berpikir ada yang dengan sengaja menumpahkan orang-orang di tempat itu. Awalnya aku ingin tidur di dalam, alih-alih bergabung dengan ratusan orang yang sedang 'Itikaf'.
Aku duduk itikaf di dalam ruangan masjid, tetapi telah sama sekali lupa apa yang awal bulan Ramadhan ini aku rencanakan. Aku ingat salah satunya adalah selesai membaca seluruh ayat Al-quran lengkap dengan terjemahannya. Tapi aku mendapati selama sebulan ini pembatas baru mencapai surat Maryam. Aku tidak ingat berhenti di ayat yang mana dan memilih mulai di ayat tentang Maryam membawa bayi Nabi Isa A.S yang berbicara dan membuat Bani Israil tercengang. Jika membaca terus sampai tengah malam nanti barangkali rencanaku menghabiskan satu Al-Quran penuh bisa tercapai.
Selesai membaca seluruh Surat Maryam aku sangat mengantuk dan pergi ke pojok untuk tidur. Sesaat sebelum berhenti membaca aku beroleh satu kesan yang rasanya persis seperti saat aku telah menyelesaikan satu semester kuliah : Tinggal satu tugas kecil terakhir mata kuliah 1 SKS yang belum aku kumpulkan, tetapi aku kerjakan ogah-ogahan lantaran sehebat apapun nilaiku di tugas ini tidak akan memberi efek banyak pada nilai akhir.
Aku menghela nafas. 'Sudahlah!', lantas memasukan mushaf dan menyetel alarm pukul 9.30. Kupikir sebagian orang di masjid yang tidur setelah itikaf semalaman saat ini tengah bermimpi yang indah-indah. Aku nimbrung bersama mereka. Tapi Jam 8.30 terbangun karena dari pengeras suara ada pemberitahuan bahwa kajian akan dimulai. Masjid seketika menjadi rapi dan tahu-tahu semua orang telah duduk menghadap proyektor besar.
Ya ampun! kenapa orang-orang ini tidak pulang dan siap-siap saja buat besok lebaran. Aku penasaran apa yang hendak orang bicarakan di ujung Ramadhan selain besok adalah hari Lebaran
.
Masih cukup lama sampai jadwal keberangkatan. Aku memutuskan ikut kajian sampai 9.30.
Pagi itu adalah jadwal tafsir Al-Quran. Setengah jam aku menunggu sampai kajian mulai. Begitu kajian di buka, orang-orang di sekitarku telah siap dengan Mushaf dan tanpa diberi intruksi membuka satu ayat untuk melanjutkan kajian sebelumnya. Saat tahu mereka baru mencapai pertengahan Surat Yusuf, aku langsung merasa pencapaianku yang hanya sampai surat Maryam tidak jelek-jelek amat.
Pembicara siap dengan laptop dan proyektor. Di benakku telah muncul potongan-potongan kisah Nabi Yusuf. Apapun yang Ia bicaran kurasa tidak akan jauh dari apa yang pernah aku dengar.
Alih-alih membicaran ayat yang dimaksud, Ia mulai dengan bercerita hari kematian Nabi Muhammad SAW. Apa yang ia ceritakan sudah sering aku dengar : Umar bin Khatab R.A murka dan mengancam untuk membunuh siapapun yang mengatakan Rasul Wafat hanya untuk mendapati Abu Bakarlah yang mengucapkan berita itu, Kota Madinah mendadak mencekam dan semua sahabat tersungkur dalam duka karena merasa mustahil Rasul meninggalkan mereka 'begitu saja', dan seterusnya dan seterusnya.
Kadang aku mendengar kajian dengan pembicara seperti ini. Ada satu hal yang ia tekankan dicaranya berbicara (mungkin nada bicara atau apapun itu). Yang mengherankan Ia berhasil menyampaikan satu hal tanpa mengesani bahwa semua orang sebetulnya telah tahu apa yang Ia bicarakan.
Aku mendengar beberapa orang di dekatku menahan diri untuk tidak menangis ketika pembicara sampai pada bagian Abu Bakar ash-Shiddiq Radhiyallahu ‘anhu membacakan satu buah ayat, yang menurut banyak riwayat entah kenapa semua sahabat lain merasa ayat ini tidak pernah ada dalam Al-Quran. Pembicara menirukan kejadian itu dengan seksama, membacakan ayat yang dimaksud, Surat Ali-Imron-144, dan Ia mengakhiri kisah dengan mengatakan bagaimana semua sahabat tidak bisa berhenti menangis mendengar ayat itu.
Aku menangkap kesan kisah itu dan kupikir pembicara ini sangat brilian memasukan konteks wafatnya Rasulullah dengan berakhirnya Ramadhan.
Ia menutup kisah singkat itu dengan berkata : Ingatlah, barangsiapa menyembah 'Ramadhan' Ia akan segera pergi, dan barangsiapa menyembah pemilik Ramadhan, maka Ia akan selalu ada di setiap bulan.
---
Sedikit yang aku peroleh pagi itu. Tapi kadang-kadang prasangka bisa begitu saja berputar, atau mungkin memang sudah semestinya hal-hal kecil yang boleh berjalan menuju sesuatu teramat penting. Aku ingat ungkapan yang suatu hari aku temukan : 'singkaplah keset tua dan lihatlah apa yang ada di bawahnya'.
Aku tidak bisa berpuas diri dengan kajian singkat yang hanya bisa aku ikuti separuhnya. Seseorang dari travel menelfon. Karena tidak aku angkat Ia mengirim pesan "Bapak jadi berangkat atau tidak?".
Aku balas singkat. "Jadi." Kemudian berjalan gupuh menuju Baltos. Setelah selesai memakai sepatu, dari pengeras suara aku mendengar pembicara baru mulai membahas surat Yusuf.

3 Syawal
Tulisan ini mengendap cukup lama dan aku tunda untuk menaruhnya di sini lantaran aku kesulitan menyusunnya. Ia begitu melelahkanku, dan aku kesulitan membuatnya menjadi bentuk yang rapih.

Pada intinya aku mau menceritakan beberapa nama yang setiap kali aku tanyakan pada seseorang, jarang yang pernah mendengarnya:
Kira-kira, di awal masa-masa kuliah, aku mulai tertarik dengan tulisan-tulisan Nietzsche. Awalnya aku mengetahui sedikit tentangnya dari buku Syahwat Keabadian yang aku "curi" dari kamar kakakku, Raudika. (Banyak bukunya yang aku curi, makanya aku merasa tidak enak dan tulisan ini bagaimanapun bisa aku buat lantaran buku curian itu. Karena rajin menulis, ia bisa dengan mudah di temui di sini : mazeass.wordpress.com) Aku kira itu bertahun lalu, tapi puisi-puisi Nietzche masih rajin aku baca sampai sekarang. Sama seperti semua orang yang berkomentar tentang Nietzche, aku pun berpikiran betapa malangnya orang ini.

Aku tertarik pada pria ini bukan secara positif, mengingat sisi keyakinan soal ketuhanan yang ia pegang, atau caranya menghujat, menyatakan Tuhan telah mati. Aku tertarik pada Nietzsche sebagai manusia yang jujur. Kudengar sebelum mati, akal sehatnya terganggu dan suatu hari orang-orang mendapatinya manangis memeluk kuda penarik gerobak yang sekarat. Barangkali ia berpikir tentang betapa beruntungnya kuda yang tersiksa dan hendak mati itu. Nietzche membuatku berpikir betapa sangat disayangkan bagaimana sesuatu yang cemerlang bisa berakhir demikian.

Tulisan lain yang begitu banyak mempengaruhiku adalah cerpen-cerpen dan novel-novel Kafka. Ia tidak bernasib lebih baik dari Nietzche. Karya brilian seperti novela "Metamorphosis" tentang seorang pria yang tiba-tiba berubah menjadi seekor kecoa, bisa saja lenyap dari sejarah dan tidak pernah dibaca siapa pun seperti hari ini, mengingat kondisi mental pada akhirnya membuat Kafka membakar sebagian karyanya. Nietzche dan Kafka selanjutnya menjadi sebab aku menghabiskan waktu dengan Samarago dan Dostoyefsky. Jika mengingat-ingat lagi bagaimana aku secara berulang-ulang membolak-balik Note from the Underground-nya Dostoyefksy  atau Things-nya samarago, kupikir kala itu aku telah sepakat dengan mereka tentang bagaimana diri ini hendak menempati dunia.

Berkaca melalui tulisan-tulisan mereka, aku diliputi rasa ngeri bagaimana kehidupan ini berlangsung. Dan semuanya membawaku pada kesimpulan bahwa diri ini tidak akan pernah bisa menjangkau semua hal teramat halus yang membanjiri sekitarku berisi satu hal yang absolut : kegelapan berisi absurditas. Aku kerap berjalan (bergerak di dalam gerbong, Bus, atau hanya berjalan) melaui banyak manusia dan bertanya betapa banyak wajah telah aku jumpai (dan kulupakan). Sebagain barangkali telah menghadapi kematian. Di satu sudut kota aku mendapati diri berada di lingkungan yang jika aku berjalan menjuhinya beberapa meter saja, maka aku mendapati keadaan yang bertolak dengan lingkungan itu. Sekelompok orang duduk dengan semangkuk Remen, sekelompok lagi berjingkat-jingkat di pinggir jalan raya penuh asap.
Kemudian berpuluh-puluh pertanyaan seperti ini muncul :
Dari mana kejahatan berasal?
Kenapa setan dibiarkan?
dan seterunsya..

Aku sebetulnya  ingin menyelesaikan tulisan ini sekali duduk, hanya barangkali akan sangat lama sampai ini berakhir. Tetapi satu hal membantuku mencapai kesimpulan yang memuaskanku, yaitu Tuhan telah berkehendak dan apa yang kupikir baik atau buruk adalah apa yang muncul semata-mata dari kemampuan akalku yang terbatas.