Memperbaharui Resolusi

--Tulisan ini sebetulnya aku buat lebih dari setahun lalu. Aku sedang berada di dalam Bus kramat djati yang merayap menuju Jakarta. Surabaya sudah tertinggal 7 atau 8 jam dan aku tidak bisa tidur karena suara mesin--


(2 atau 3 Januari tahun lalu)

Aku pernah meyakini bahwa menulis adalah usaha menjaga kewarasan. Jika demikian, maka selama berbulan-bulan kewarasanku pastinya terganggu, dan barangkali akan butuh usaha sulit untuk mengembalikannya ke jalur normal. Tetapi ternyata tidak seperti itu. Kesukaran hidup, tantangan, dan kesedihanlah yang justru menjaga diri kebanyakan orang tetap pada jalur. Aku pernah menertawakan pikiran semacam itu. Mencemoohnya dan bersikeras bahwa kebahagiaan, kemudahan, dan ketenanganlah yang mampu membawa seseorang pada kewajaran.

Awalnya aku menulis karena perasaan resahku yang selalu minta untuk disalurkan. Semua orang mempunyai perasaan resah dan masing-masing punya cara bagaimana menghilangkannya (sering kali menyalurkannya). Sebagian orang mulai menulis untuk mengubah perasaan resah menjadi semacam energi penggerak ide-ide di kepalanya. Beberapa orang menyarlurkannya begitu rupa dalam bentuk lain yang lebih sigifikan hingga akhirnya menjadi faktor pembentuk dunia seperti adanya sekarang. Sejarah dunia bergerak akibat perasaan resah yang kelewatan membuat sadar segelintir orang hingga satu-satunya cara untuk lepas darinya adalah melakukan tindakan-tindakan diluar jangkauan orang-orang kebanyakan. Penyaluran perasaan resah nyatanya telah menjadi sumber dari banyak berlangsungnya hal-hal besar. Bagaimana mungkin Muhammad SAW akan menjadi Rasul jika hidupnya tenang-tenang saja? Family man yang sedang menikmati kesuksesannya sebagai pengusaha ini justru menjauh pergi ke atas bukit selama berminggu-minggu. Atau bagaimana Adolf Hitler membangkitkan Jerman sehingga maju ke urutan puncak padahal semula dianggap negara sakit yang bangrut pasca PD1, kalau ia hidup nyaman sepanjang umur mudanya di kampungnya di Austria. Berleha-leha atas keberhasilan karirnya sebagai seniman. Faktanya Hitler nyaris menggelandang dan mesti bersusah-susah hidup dengan lukisan-lukisannya yang ia jual murah di jalan-jalan kota Berlin. Dalam Most Notably of 100 –nya Michael H.Hart saja masih ada 98 orang lain lagi yang jika mau aku tulis singkat satu-satu disini akan sangat membosankan jadinya.

Menerima kenyataan bahwa mayoritas manusia (aku termasuk didalamya) adalah pribadi yang ‘biasa-biasa’ saja, menurutku adalah penemuan paling penting saat aku masuk usia 20-an. Sebelum itu aku kerap menatap ke kejauahan melalui jendela. Dihadapanku merupakan hal yang sungguh-sungguh besar, dan di kaca jendela terpantul samar bayanganku yang nyata sekali terlihat begitu menyedihkan sekaligus arogan dan dipenuhi keinginan-keinginan serta ambisi yang sebagian telah berumpuk-tumpuk terlupakan. Jika dua pemandangan kontras itu (dunia yang besar dan bayanganku yang buruk sekali) berbaur menjadi gambar yang saling menumpuk pada mataku, aku merasa ingin kembali pada ibuku segaimana sering aku lakukan saat masih kecil dan mulai menangis tanpa sedikitpun merasa malu.

Menulis seharusnya bukanlah lagi menjadi usaha menjaga kewarasan tetapi menjadi salah satu cara untuk menghindari rasa malu. Aku malu pada semua hal yang ada disekitarku, pada Tuhan, pada Ibuku, pada Bapakku, setiap kali aku berdiri di dekat jendela dan mulai menatap keluar sedangkan bayanganku terpantul pada kaca, sebuah tubuh yang selama ini menjadi ruang jasmani yang aku tempati, dan berisi benak serta kepribadian ini. Ketika aku melihat dengan teliti pantulan tubuhku pada kaca, pertama-tama muncul perasaan bahwa aku tidak mengenali sosok itu. Aku terhenyak karena begitu yakin bahwa aku merupakan sebuah sudut pandang, atau sebuah kamera yang melayang-layang yang tengah menyoroti orang tersebut. Lalu pada satu titik ketika sudut pandang berhenti bergerak dan kamera menyorot bagian matanya dan mulai membeku, aku mulai menyadari bahwa sebentuk tubuh ini merupakan “aku”.

Begitulah bagaimana aku melalui tempat jasmani yang selama ini semua orang kenal sebgai “aku”, akhirnya mulai menerawang jauh dan meneliti dengan seksama waktu yang telah aku lewati. Aku membayangkan (mengharapkan) diri berada pada tubuh ini bertahun-tahun yang lalu, akan tetapi dengan kesadaran yang aku punya saat ini. Kesadaran seorang yang telah berumur 23 tahun berada pada bentuk jasmaninya yang baru berusia belasan. Saat itulah aku mulai merasa malu karena berharap pada masa lalu dan merubahnya sesuai seperti yang aku inginkan, alih-alih berharap pada titik sekarang, dimana tubuh “aku” tengah berada dan merasakan dengan penuh puncak eksistensinya.

Kadang-kadang, dari jendela sebuah ruangan aku melamun pada deretan sepeda motor yang salah satunya adalah milikku. Udara di ruang itu terasa asing saat aku mulai membayangkan diriku mencapai tempat parkir (kenyataanya aku masih di dalam ruangan). Aku membayangkan sedang berjalan keluar ruangan, mengangguk pamit pada penjaga perpustakaan, meraih motor di parkiran, menyalakannya, lalu melesat sembari merenungkan betapa ratusan pengendara motor lain melewatiku begitu saja setiap harinya. Aku dengan kesadaran yang aneh merasakan tubuh yang sedang menghadap jendela adalah tubuh yang saat ini sedang duduk di kendaraan, terguncang-guncang di jalan. Satu menit kemudian aku telah benar-benar berada di atas motor, melasat melaui jalan-jalan paving block. Berpapasan dengan pengendara-pengendara motor lain. Apa yang membedakan antara diriku pada satu menit sebelumnya adalah perasaan yang melingkupku. Hanya pikiranlah yang merasakan banyak hal secara khas saat ia dikatikan dengan waktu yang sedang terjadi tatkala tubuh mengalami pengalaman yang nyata. Perbedaan itu seperti pikiran tubuh basah kuyup dan kenyataan bahwa tubuh benar-benar basah kuyup; pikiran (angan-angan) tubuh sedang menikmati sesuatu dan kenyataan bahwa ia sedang benar-benar menikmati itu. Hanya saja, satu hal yang membuatku merasa ngeri adalah betapa seringnya rasa takut, khawatir, malu, memenuhiku tanpa mempedulikan apakah ia hanya berupa pikiran atau sunggu terjadi.

Menerima kenyataan bahwa mayoritas manusia (aku termasuk didalamya) adalah pribadi yang ‘biasa-biasa’ saja, menurutku adalah penemuan paling penting saat aku masuk usia 20-an. Karena saat diri mau lebih sering berbaik-baik pada dirinya sendiri, tidak berkutat pada rasa khawatir, tidak ‘gupuh’ mengejar resolusi yang setiap awal tahun selalu diperbaharui hanya untuk disesali pada akhir Desember, ia akan mulai memahami bahwa peran kecilnya di kehidupan ini patut dinilai tinggi, dan bahwa 100 orang saja dalam daftar Michael H. Hart sudah cukup.