Mengapa Membaca Karya Non-Fiksi Menjadi Begitu Penting [1/4]

Sebagian catatan yang aku tulis berisi pikiran guru-guruku di kampus, atau orang-orang yang telah lama mati yang berbicara denganku lewat buku. Sayangnya catatan-catatan itu berceceran di banyak notebook. Aku takut pecahan-pecahan itu akan hilang, dan rasanya akan sangat baik jika mereka aku himpun di sini. Karena kebanyakan adalah memoar yang tidak bertanggal, aku merasa tidak perlu menyusunnya secara kronologis atau membuatnya tidak tampak berantakan seperti ini. 
----- 
Beberapa bacaan yang belakangan aku nikmati, kabanyakan digesa-gesa dengan keranjingan,  merupakan jenis yang berbeda dari apa yang biasa aku habiskan. Awalnya aku berpikir tulisan lain di luar karya sastra kurang menarik untuk dibaca (berita atau text book kuliah diluar konteks yang aku bicarakan). Tetapi diri ini selalu ingin berkembang, ya, seperti manusia normal kebanyakan yang mengalaminya dari waktu ke waktu. Satu kata saja, berkembang.
Aku menyesal mengapa perkembangan ini muncul belakangan. Fakta baru ini agak mengejutkan karena jauh melampaui karya-karya sastra yang selalu kubaca, tulisan-tulisan non-fiksi mempengaruhiku lebih signifikan. Keinginan-keinginan baru muncul dalam benakku, dan itu membuat frustasi karena kenyataan yang mesti aku telan habis: aku sungguh-sungguh telah melewatkan melakukan banyak hal. Dalam tiga sampai empat tahun terakhir, begitu sering aku berhadapan dengan kesempatan yang kini aku harapkan akan muncul lagi. Kalau boleh naif, enteng saja kukatakan, kesempatan harusnya boleh datang berkali-kali!
Sebetulnya keinginan, yang kini berkembang menjadi semacam kebutuhan untuk membaca tulisan-tulisan di luar fiksi, mulai aku tumbuhkan mula-mula berkat kebiasaan membaca artikel-artikel di dunia maya, atau selentingan status-status sarat pikiran kritis di media sosial usang yang antik bernama facebook. Aku selalu mengagumi ketajaman pikiran teman-temanku di media itu.  Bahkan hanya lewat kegiatan sepintas mengisi waktu luang sebelum shalat di hari raya idul Adha, satu pikiran cemerlang bisa muncul dan memicu diskusi yang pada gilirannya membuatku merasa mendapatkan semacam asupan ‘gizi’.
Menulis (termasuk mendokumentasikan, mempetakan, mengilustrasikan, atau apapun semacamnya) merupakan satu sisi dari uang logam ilmu pegetahuan. Berpikir adalah satu sisi lainnya. Karya sastra adalah penemuanku dalam hidup yang sangat penting, karena selain memiliki dua sisi uang logam, juga berisi satu aspek lain, keindahan bahasa.
Tulisan-tulisan lain yang juga merupakan buah pikiran cemerlang, seperti filsafat, politik, esai (atau semacamnya di luar ilmu eksak), yang baru-baru ini aku ‘temukan’ makna terpentingnya, mendorongku untuk secara tidak mendalam membuat kesimpulan-kesimpulan berupa daftar yang aku beri judul ‘mengapa membaca karya-karya non-fiksi adalah penting?’. Aku menyusunnya menjadi kerangka acuan sebagai pengingat sekaligus bentuk apresiasiku pada penemuan yang baru ini, penemuan yang kurasa sangat terlambat. Secara garis besarnya telah rampung aku buat.

-----
Dalam politik, kebangsaan, ekonomi (1926 – 1977) yang ditulis Mohammad Hatta, aku beroleh dorongan untuk mulai memperhatikan keadaan secara mendalam. Hatta, kurasa, adalah salah satu cendikiawan Indonesia terhebat yang pernah aku kenali namanya. Membaca kumpulan tulisannya, atau himpunan pidato-pidato yang Ia dokumentasikan tidaklah membosankan sama sekali. Di halaman-halaman awal aku disuguhi teori-teori sosial, politik, ekonomi, sejarah, dan ilmu-ilmu humaniora lainnya, yang belakangan aku sadari telah membengkokan kekakuan berpikir akibat kemonotonanku dalam belajar yang hanya terfokus pada bidang mekanika teknik dan material. Kuakui selama kurun waktu yang lama dalam perjalananku menuntut ilmu, aku hanya terpaku pada satu pikiran bahwa jalan yang telah aku putuskan untuk kutempuh ini (bidang teknik) merupakan hal yang nanti bakal menjadi pusat dari penghidupanku, penghabis sebagian besar waktu-waktuku, serta satu-satunya objek yang akan aku kembangkan hingga tingkat profesional.
Di halaman-halaman yang lebih lanjut, Hatta membeberkan bulat-bulat kejahatan imperialisme barat, teristimewa kolonial Belanda. Beberapa halaman Ia isi dengan masalah-masalah dan penderitaan yang mendera bangsa Indonesia. Dengan jujur Ia mengatakan bahwa membeberkan semua masalah itu satu per satu hanya akan membuat kita bosan sendiri. Yang membuatku berpikir betapa elegan tulisan-tulisannya adalah, Hatta dengan cermat berhasil mengaitkan fakta mengenai bangsa Indonesia dengan teori-teori sosial barat dan sejarah dunia dari abad-abad lampau hingga masa yang berbarengan dengan waktu tulisan itu dibuat.
Dalam bagian-bagian awal bukunya (yang bahkan belum semuanya selesai aku baca dan berhasil aku maknai), Ia menitikberatkan pada permasalahan yang memang sudah tidak relevan lagi dengan masalah Indonesia hari ini, karena semua masalah-masalah itu, yang Hatta kupas sampai habis, berasal dari satu sumber saja, yaitu Kolonialisme Belanda yang telah runtuh sejak puluhan tahun lalu. Meski begitu, sebagai kaum muda kita mesti memaknai pikiran beliau sebagai refleksi perjuangan bangsa ini yang sampai kapanpun tidak akan pernah berhenti.

-----
Apapun bidang yang digeluti seseorang, panggilan untuk mempelajari ilmu sosial haruslah dipenuhi. Aku seharusnya bisa lebih berpikiran terbuka jika saja buku Dibawah Bendera Revolusi, karangan Soekarno, aku temukan jauh-jauh hari, bahkan mungkin sebelum aku memutuskan untuk terjun ke bidang ilmu yang isinya cuma hitung-hitungan. Aku baru ­ngeh bahwa Soekarno pun dulunya mendalami bidang teknik yang sama denganku, ilmu bangunan. Hanya saja ia dalam perjalanannya menuntut ilmu meraih berbagai pencapaian gilang-gemilang, yang itu semua terwujud karena ia tidak hanya fokus pada bidang teknik itu. Lagi-lagi aku bertanya, apakah yang telah orang-orang itu lakukan sehingga ‘berhak’ mendapatkan takdir semacam itu. Aku terpukau pada analisanya mengenai Overbevolking, atau ledakan penduduk. Bagi Soekarno, pada dasarnya tidak ada sangkut paut antara kesejahteraan dengan jumlah manusia yang menempati satu wilayah. Pada tahun Ia menulis tentang itu, kurang lebih satu abad lalu, kurva pertumbuhan masyarakat Hindia sedang menukik naik setelah secara fluktuatif naik turun (lebih banyak turun) sejak masa Raffles berkuasa hingga kaum liberal Belanda yang dengan politiknya dianggap lebih sukses mensejahterakan pribumi. Pulau Jawa yang menjadi semacam mutiara kerajaan Belanda mengalami juga apa yang menjadi problem banyak penduduk dunia. Mayoritas merasa lonjakan jumlah orang yang lahir ketimbang yang meninggal tersebut adalah sumber masalah. Soekarno bilang itu bukan apa-apa jika Rezeki yang diperoleh masyarakat mencukupi.

Artikel yang Soekarno tulis itu bagiku lebih terasa seperti analisa seorang pakar demografi alih-alih sarjana Teknik Sipil. Kenyataan itu membuatku berfikir bahwa aku selama ini sibuk menaruh pikirinku dalam sebuah kotak yang didalamnya aku hanya berkutat dengan upaya mencari penghidupan pribadi: beroleh pekerjaan mapan, berkeluarga, dan seterusnya dan seterusnya.

---
Aku menjadi paham bahwa apa yang terjadi pada manusia pada dasarnya (dengan kehendak Tuhan tentunya) adalah buah dari perlakuan manusia lainnya. Seorang prajurit di perang dunia 2 menulis memoar : “… aku bisa melihat apa yang manusia dapat lakukan pada manusia lainnya”…. Al-Quran mencatat hal serupa seperti dalam kisah Nabi Musa, yang menceritakan bagaimana satu bentuk pemerintahan bisa berbuat “apapun” dan merasa memperoleh superioritas Tuhan. Buku sejarah (yang dulu jarang aku beli) kini menempati banyak tempat di rak. Sejarah pada dasarnya adalah apa yang terjadi pada manusia yang saling berinteraksi. Hal menarik tentang manusia adalah di titik waktu manapun hidup, Ia tetaplah sama. Apa yang kita pikirkan persis dengan apa yang manusia ribuan tahun lalu pertanyakan sambil tidur di bawah bulan. Satu-satunya yang berbeda adalah fasilitas yang kita punya hari ini. Begitu pula interaksi antar manusia. Ia berprilaku sama di setiap masa lantaran manusia adalah makhluk yang itu-itu juga.

Aku terkejut menemukan bahwa 3000 tahun silam orang Sumeria telah biasa memperdebatkan hak waris atau mengklaim status kepemilikan tanah dengan menunjukan semacam sertifikat hak milik hanya untuk dibantah bahwa surat itu sudah tidak otentik. Faktanya masalah kompleks seperti itu bukan lagi hal baru dan kita bisa dengan mudah paham kenapa banyak orang Yunani kuno berusaha habis-habisan untuk memahami manusia dan membawa filsafat ke arah yang lebih mikro: bahwa manusia adalah bentuk dari alam semesta. Ujung-ujungnya muncul ilmu politik, sosiologi, dll. 

Dari Guns, Germs, & Steel nya Jared Diamond aku beroleh fakta bahwa sains atau produk-produk engineering (taruhlah Roda) adalah buah dari kesuksesan kolektifitas manusia. Sebetulnya, cikal bakal dari munculnya semua itu, adalah di satu titik waktu manusia dalam jumlah besar memutuskan untuk berkumpul setelah sukses mempelajari produksi pangan. Dulunya mereka adalah kaum pemburu biasa seperti semua manusia lainnya di seluruh penjuru dunia. 

Setelah tidak perlu repot-repot lagi menjalani hidup nomaden demi mengikuti hewan buruan, masyarakat yang kelebihan anggota itu belajar bahwa surplus pangan juga ternyata menjadi asal-muasal banyak masalah. Munculnya birokrat tidak bisa ditawar lagi dan mereka yang bisa menghitung menjadi pelopornya. Jika masyarakat sudah terdiri atas ribuan orang, satu-satunya cara untuk membagi-bagikan makanan (yang suply nya berlebih) tanpa harus ada ribut-ribut adalah menghitung dulu berapa jumlah yang tersedia. Karena otak manusia terbatas, seorang jenius muncul dengan ide untuk menggoreskan lidi di sebongkah tanah liat: simbol tertentu untuk mewakili jumlah 10 Ton, jumlah panen musim ini adalah 100 tanda goresen yang berarti 1000 ton, dan jika dibagi 1000 keluarga berarti masing-masing dapat jatah 1 Ton. 

Kurang lebih sesederhana itu bagaimana birokrat di awal-awal sejarah bekerja (itu pula yang menjadi permulaan munculnya budaya tulisan yang ujung-ujungya adalah perkembangan sains gila-gilaan). Tentu orang-orang akan percaya pada si tukang tulis itu dan mulai menganggapnya punya kapasitas mengatur hal begitu rumit supaya orang tidak ribut-ribut. Juru tulis itu lama-lama perlu banyak personil tambahan sehingga ketika masyarakat ada puluhan ribu dan tersebar di banyak tempat, tahu-tahu satu keluarganya setelah beberapa generasi kemudian telah memonopoli upaya administrasi itu. Bahkan mereka sudah lepas tangan dari hal remeh temeh menggores-goreskan lidi karena banyaknya ahli tulis yang mengabdi. Mereka tidak perlu bekerja seperti orang kebanyakan tapi mengendalikan semua pasokan pangan. Mereka lambat laun semakin kaya dan berpengaruh, lalu berpikir ada baiknya juga jika membayar segelintir tukang pukul yang dipersenjatai untuk sekedar jaga-jaga.  Power dan konsentrasi kekuasaan bukan satu hal yang tiba-tiba muncul menimpa seseorang seperti berkah dari langit. Begitulah akhirnya muncul dinasti.


----
[2/4] di Minggu ke-27

Reflux - Embargo

--Shibaura Institute of Technology, SIT.
   2 Syawal.. Sabtu 16 Juni 2018


Jose Samarago melalui 'Reflux' membuat analogi yang menarik tentang kehidupan satu negara. Setelah diam beberapa menit dan mencoba membaca ulang 'embargo', meninjau lagi beberapa hal penting dari simbol2 yang secara sederhana menjelaskan dengan begitu gamblang rapuhnya sebuah negara(kumpulan individu yang secara sistematis menentukan gerakan besar mekanis : mesin hukum  yang memiliki daya besar), dan bagaimana satu individu bisa terlibat dalam perasaan rawan yang menyeretnya menuju pikiran yang dilebih-lebihkan bahwa dirinya telah secara harfiah 'bersatu' dengan mobilnya, maka kalau saja semua negara penghasil minyak utama serentak bersekongkol menolak menjual barang paling pokok itu, seperti yang digambarkan lewat cerita kafkasque Samarago yang kelam, dunia bisa melorot menuju ketidakmampuan.

Embargo minyak, dengan demikian adalah sebentuk kajahatan kemanusiaan yang jika sebuah negara memutuskan melakukannya, akan menyeret keluar kembali keadaan yang lebih buruk dari depresi ekonomi paling parah yang pernah terjadi, kemudian manusia akan mati dengan konyol dalam mobil2 nya.
Kurang lebih pesan itu yang kutangkap dari cerita kelam 'embargo'.

'Reflux' tadinya ingin aku tunda esok hari. Tetapi Sabtu  dalam cuaca buruk tidak banyak yang bisa aku lakukan di tempat ini, dan aku sangat merindukan untuk bisa mengobrol. Hal itu begitu kecil kemungkinannya sekarang. Untung saja Jepang punya kebiasaan yang lain, sehingga aku bisa menghabiskan waktu di perpustakaan  walau pun hari minggu. Kupikir dalam cuaca seburuk ini orang2 akan enggan memasuki perpus, tetapi begitu masuk aku harus berjalan melalui beberapa lorong untuk memperoleh kursi kosong.

Reflux aku habiskan segera, dan setelahnya aku mengambil catatan lantas menggambar sebuah tabung reaksi.

Kurang lebih seperti ini deskripsi dari tabung yang aku gambar :

Tabung sebelah kiri, berisi air yang mengandung beragam hal. Saat dipanaskan, uap air murni akan bergerak melalui spiral. konsentrasi gas yang bergerak melewati media dengan suhu lebih rendah itu pelan-pelan terkondensasi, kemudian air yang murni lama2 masuk ke tabung kanan.

pada dasarnya dua tabung menampung air yang sama. Satu-satunya yang jadi perbedaan ialah tabung kiri telah menampung air jauh lebih lama dan entah karena hal apa lama-kelamaan kemasukan zat-zat kotor yang kini mengendap di dasar sebagai bentuk padat.

di dalam cerita yang yang sangat pendek itu, tidak ada sama sekali kalimat tentang tabung kiri atau tabung kanan.  Tapi waktu aku membaca keseluruhan kisah, dan penasaran mengapa  ia diberi judul seperti itu, aku segera mencari tahu makna 'reflux', dan tabung kiri-tabung kanan adalah apa yang aku pahami.

Nah, sekarang api dapat dianggap sebagai satu 'penyebab'; penyulut terjadinya hal-hal penting, yang selanjutnya bisa kita sebut reformasi, revolusi, perang, konflik atau apapun.

disinilah proses dimulai. kupikir tabung kanan pada akhirnya akan mulai tercemari, dan secara alami akan terjadi rangkaian sama, pada gilirannya 'reflux', lalu tabung ketiga kini berdiri sebagai perwujudan negeri yang baru, murni, memiliki semangat dan masa depan, mengenang tabung kedua yang berisi endapan 'sejarah'.