Global Leadership Camp

Bulan Maret di semester akhir aku masih dapat kesempatan untuk menjalankan aktivitas terbaik dalam kehidupan kampus : meninggalkan kelas tanpa dihitung bolos.
















Pecahan-pecahan tidak berguna

Setelah melewati hampir 2 minggu  hingga bulan Februari berakhir, hari ini aku kembali mengikuti kelas pagi. Selama 2 minggu ke belakang aku menjalani aktivitasku yang penghabisan sebagai sukarelawan di satu kegiatan (satu-satunya yang aku sukai dari kehidupan kampus). Begitu kegiatan itu selesai dan aku memulai kembali kehidupan yang biasa-bisa ini, rasanya aku telah tertinggal 1 semester saat mendengarkan ceramah dosen tentang mekanisme tegangan yang berlaku di dalam beton prategang. Aku tidak pernah berminat membahas bidang keilmuan yang telah bertahun2 ini aku dalami, tetapi mendapati diriku seperti anak sekolah dasar yang tersesat di ruang kelas kedokteran membuatku merasa malu. Masih tersisa satu minggu untuk men-drop subjek ini. Aku berpikir panjang selama duduk, dan berkesimpulan bahwa aku masih sangat rasional jika mengambil opsi tersebut. Aku sebetulnya agak menyesal karena kehilangan banyak waktu padahal kuliahku yang tersisa tinggal 1 semester ini. Jika mengambil semua kelas pilihan yang aku mau, yang dulu tidak aku ambil lantaran malas, aku harus berada di kampus sepanjang hari, dari senin sampai rabu, seperti mahasiswa tingkat 1.

Sepanjang pagi ini aku terus menerus memikirkan bagaimana sebuah minat pada akhirnya mulai tumbuh dalam diriku, bahwa bidang keilmuwan yang aku geluti bertahun-tahun ini mesti menjadi jalan aku beroleh penghidupan. Jika mengingat beberapa tahun kebelakang, di awal masa kuliah pekerjaan yang kulakukan kebanyakan adalah menyesal habis-habisan karena memilih bidang ini.  Sekarang aku idak mengira bisa menyesal habis-habisan karena telah melewati banyak perkuliahan dengan ogah-ogahan.

Aku ingat percakapanku dengan Ilalang Dzahira, sepupuku yang sekarang baru  masuk kuliah, tentang kehidupan kami masing-masing yang tengah berjalan menuju kedewasaan secara peculiar (aku suka memakai isitilah ini). Rasa-rasanya baru kemarin kami membahas game PC dengan keranjingan, lupa bahwa spesifikasi laptop yang kami berdua miliki jauh dari memadai untuk menjalankan game2 yang kami bicarakan. Itu bertahun-tahun lalu, aku berkunjung di bulan puasa dan dalam liburan yang membosankan itu aku sedang mencoba membunuh waktu. Waktuku memang benar-benar habis berbicara dengan sepupuku itu, walau aku kebanyakan hanya bilang 'Ya' saja selama ber jam-jam.

Ia baru-baru ini mempelajari seni melinting rokok kretek. Aku memperhatikan. Dalam hitungan detik rokok telah jadi. Aku tidak tahu ia merokok. Tetapi aku senang karena ia minta izin dulu sebelum menghanguskan karya seninya. Kalau tidak suka asap bilang saja, katanya. Aku bilang tidak masalah.
Kemudian kami ngobrol sambil makan mie instan.

Ia bercerita kehidupannya di jurusan sastra. Kukatakan puisi-puisinya yang dibagikan di Line sangat bagus dan aku berpikir untuk mengumpulkannya menjadi kompilasi. Kehidupan sebagai seniman rupanya enak dijalani. Tetapi aku terlanjur berkutat dengan ilmu mekanika tegangan. Jadi, lagi-lagi dalam kesempatan itu aku paling banyak jadi pendengar (sebetulnya di banyak jenis pembicaraan aku memang seperti itu). Untungnya Lalang pembicara yang bartangan dingin, atau bermulut dingin, ya, apapun istilahnya, yang penting Ia sangat puas jika mendominasi percakapan, dan aku cukup senang karena tidak harus merasa bersalah lantaran khawatir orang mengira aku terlalu membosankan setengah mati.

Aku mengatakan minatku pada teknik kini sedang berada di titik yang cukup tinggi. Dan aku sudah memutuskan untuk berdedikasi penuh pada bidang yang aku (terlanjur) dalami ini. Jika mengingat beberapa tahun kebelakang, saat aku sedang jenuh-jenuhnya kuliah dan menghabiskan waktu dengan Trilogi J.R.R Tolkien atau Crime and Punishment-nya Dostoyefsky, alih-alih membaca karya Braja M.Das tentang konsolidasi tanah, aku dirundung perasaan penuh sesal karena telah mengabaikan banyak pengetahuan yang sekarang aku dapati sangat menarik.

"Ilmu teknik sebetulnya buah pikiran filosofis." Kadang-kadang ia terasa sederhana seperti seni meilinting rokok yang menyenangkan.


------

Perhatianku kembali pada dosen yang tengah bercerita (aku ketinggalan separuh cerita karena melamun. Kupikir ia dosen terbaik yang aku jumpai dalam dua tahun ini. Ia sejenis pengajar yang sering membuatku tersenyum sendiri saat mendengar kuliah. Aku agak menyesal kenapa pengajar-pengajar bermulut dingin (bertangan besi? atau apalah istilahnya) baru muncul di saat-saat terakhir. Jika dipikirkan lagi, apa yang aku pelajari saat ini kurang lebih sama dengan ilmu filsafat. Ini pendapatku saja.

Banyak persoalan terjadi dan manusia secara "lucu" berhasil memperoleh pijakan darinya, paling tidak kini sudah mencapai planet paling jauh. Aku tidak heran kalau filosof yunani juga bekerja paruh waktu sebagai Arsitek, Astronom, atau Penasihat Jendral. 

Kini aku lupa telah berapa banyak memasuki berupa-rupa kelas, tapi hanya lewat saja sehingga yang tersisa sekarang hanya pecahan-pecahan tidak bermakna.