Bicara Gempa dan Moralitas Agama

2017 akhir tahun ajaran. Aku masuk fase yang menegangkan dari kuliahku lantaran harus siap-siap untuk sidang akhir. Sebetulnya masih ada dua semester lagi yang mesti aku habiskan. Tapi men-carter dosen pembimbing yang enak jauh-jauh hari merupakan persoalan yang penting. Aku merasa tidak menjadi pragmatis setelah meyakinkan diri kalau upayaku hanya silaturahmi semata, dan kudengar biasanya teknik itu bekerja dengan baik karena satu alasan, siapa cepat dia dapat.

Akhirnya di tengah-tengah liburan aku kembali ke Surabaya dan menjadi rajin bertemu seorang professor yang menurut pendapat banyak orang bisa aku temui kalau aku berminat bicara struktur bangunan tahan gempa. Awalnya aku tergagap-gagap dan bicaraku berantakan sekali, tetapi aku memang seperti itu di banyak kesempatan. Untungnya dosen itu tipikal Ilalang, sepupu dekatku di Bandung yang suka sekali bicara. Baru 15 menit aku sudah dihujani banyak hal. Dalam satu jeda karena ia harus membalas pesan WA, aku buru-buru menyalakan perekam suara. Kira-kira pembicaraan satu jam lebih itu bisa aku singkat begini :

1) Gempa adalah fenomena alam, dan seperti fenomena lainnya (gelombang besar, tsunami, angin topan, badai, dll), tidak ada yang bisa manusia lakukan untuk mencegahnya. Tetapi ilmu pengetahuan bergerak pada tahap di mana superioritas alam telah dipahami dengan jauh lebih baik, sehingga (tanpa mengurangi superioritasnya) alam bukan lagi tantangan yang membuat manusia tidak berkutik sama sekali. Mengingat banyak peristiwa yang tercatat oleh sejarawan-sejarawan kuno atau kitab suci, dapat kita pahami bahwa bencana adalah satu titik waktu di mana peradaban berhenti. Katakanlah Pompeii yang musnah oleh letusan merapi, bangsa Ad yang dalam Al-quran diceritakan dikubur dalam badai pasir, kaum Nabi Luth secara abstrak digambarkan lenyap ditelan bumi, dan sebagainya. Semua peristiwa itu berarti satu hal : tidak ada yang patut manusia sombongkan dihadapan pencipta. Al-Quran mengatakan kaum Ad adalah bangsa yang dapat mendirikan bangunan yang belum pernah ada satu kelompok orang pernah melakukannya. Aku yang hendak terjun dibidang teknik pembangunan merasa apa yang manusia capai saat ini (gedung pencakar langit, jalan tol yang dibangun tanpa henti, dst) adalah pencapaian luar biasa. Melalui kisah dalam Al-Quran kita paham bahwa semua ini dapat Allah ratakan dalam sekejap.

2) Masih berkaitan dengan poin satu, ilmu pengetahuan kini telah dengan sangat baik memprediksi perilaku alam. Apa apa yang pernah terjadi pada peradaban kuno nyaris tidak kita dengar lagi. Manusia bisa menyikapi hal ini dengan beberapa hal:

  • Apa yang manusia capai pada dasarnya hanyalah sebongkah kerang di pinggir laut. Kata Newton, kita seperti anak kecil yang bermain-main di pinggir pantai, menyingkap sebuah kulit kerang dan mengagumi keindahannya, lupa pada kenyataan bahwa di hadapan kita adalah lautan luas yang tidak kita pahami. (Bagian ini akan aku bahas lebih dalam di poin 3)
  • Tidak ada yang perlu ditakutkan karena superioritas manusia telah melampaui alam, lihat lah bagaimana kita telah mencapai bulan, menjangkau planet-planet jauh, dan menjawab banyak teka-teki yang tidak satu pun pernah. Jika apa yang menimpa Sodom dan Gomorah betul-betul terjadi, mengapa Holywood dan Las Vegas, tetap dibiarkan.
3) Dalam surat Ali-Imron ayat 190, semua yang berlangsung di langit dan bumi adalah tanda-tanda kebesaran Allah bagi orang yang berpikir. Ini memberikan aku pemahaman bahwa gempa (aku akan mulai secara khusu bicara hal ini) yang kini telah dengan baik kita pahami hanyalah satu hal dari apa yang Allah tetapkan untuk terjadi. Sehebat apa pun terjadi, Allah menakarnya sedemikian rupa melalui hukum alam sehingga gempa selalu terjadi pada taraf yang masih bisa manusia terima. Jika gempa adalah ujian, maka semestinya itu merupakan satu beban yang manusia tetap bisa pikul. Menyadari hal itu kita mesti berkesimpulan bahwa sedikit saja Allah berkehendak untuk mengubah hukum-Nya, maka apa yang manusia pikirkan puluhan tahun dan kini kita bicarakan (dosenku yang mengatakan hal ini) adalah satu bentuk kesia-siaan. Aku bisa membuat stuktur sehebat apapun dengan asumsi gempa terbesar yang bisa aku pahami dan prediksikan mungkin terjadi. Ketika Allah menghendaki terjadi gempa yang sedikit saja melempau prediksiku, maka semua yang aku lakukan tidak ada artinya. 

4) Ikhtiar penjadi poin penting di sini. Tujuan Allah memerintahkan kita memahami alam semesta, melihat bagaimana siang dan malam silih berganti, dalam kasusku memahami gempa bumi, adalah bentuk kasih sayang yang begitu hebat. Seakan Ia berkata: "berusaha saja sebaik mungkin dengan akalmu yang aku berikan, tetaplah pada rasa takut dan hati yang rendah, perhatikan bahwa apa yang terjadi tidak satupun Bathil, dengan itu jangan khawatir akan aku turunkan ujian yang lebih besar dari melampaui kemampuanmu"





Winter Camp, Late January

Taipei is the first foreign land I have ever visited. It was a cold place, indeed. But not that cold I only felt like sleeping wihout blanket at home.



converence 


random 


(I skipped most of actvity as it contain 90% Random thing)

something to be done, finally.


Civil engineering squad