Trivial Things



Tulisan kurang penting ini segera kubuat sepulangku dari Taiwan sabtu malam lalu. Berpikir panjang mengenai sedikit ke-anti media sosialan-ku yang tidak beralasan, awalnya aku mengira ada sesuatu yang “salah" dengan hal itu. lantaran smartphone-ku rusak, aku terisolasi sama sekali darinya selama seminggu dalam kegiatan winter camp tak terduga di Taipei (Ia rusak saat hari pertama aku di sana, semua masalah yang muncul belakangan akibat hal itu akan aku tulis nanti).

Aku memikirkan ulang banyak hal. Selama seminggu aku melihat bagaimana semua orang menggunakan benda itu saat duduk di MRT atau bus, sementara aku hanya bisa banyak-banyak mengobrol dengan orang-orang (walaupun hasilnya tidak memuaskan). Aku mengakui bahwa aku merindukan menggenggam benda itu, iseng-iseng membuka aplikasi yang ada di dalamnya, atau surfing.

Kupikir rasanya sedikit melelahkan melihat bagaimana semua orang bersenang-senang dengan kamera dan instagram sementara tidak ada yang bisa kulakukan untuk memasuki lingkaran tersebut. 
Dalam salah satu perjalanan menggunakan bus setelah kehujanan sebentar di tempat bernama desa kucing, pikiran itu aku enyahkan dan sebagai gantinya  kusimpulkan bahwa aku mungkin hanya agak berpikir ‘ketuaan’ (kolot) untuk mengikuti arus yang begitu cepat. Tidak penting repot-repot memikirkan bagaimana semua orang menunduk pada layar di dalam MRT sementara aku melamun seperti anak hilang atau menatap jalan terus-menerus melalui jendela seperti orang udik. Selama seminggu aku belajar bagaimana sebuah momen kecil seperti kehujanan dapat menjadi sebentuk rasa hangat. Bagaimana mungkin aku bisa melupakan hal tersebut? Dengan atau tanpa smartphone di tangan, semua orang akan kedatangan momen-momen kecil dalam hidupnya. Tidak masalah apakah seseorang hendak menaruhnya dalam Instagram atau hanya sebatas mengingat-ingat dalam pikiran.

Pengalaman itu hanya satu alasan selain rasa khawatirku yang kembali muncul. kenyataannya, satu alasan lain yang mendorongku mengaktifkan instagram adalah blog yang kosong dalam waktu lama mengindikasikan turunnya semangatku menulis. Aku khawatir akan hal itu. Melihat-lihat hal trivial di instagram sedikit-sedikit mampu memotivasiku, setidaknya untuk menulis rasa kesal.

---




*beberapa kucing di Desa Kucing












Lobster

Sudah lama aku ingin menulis tentang film berjudul ‘Lobster’. Aku tidak pernah mengulas film atau buku (saat ini pun aku tidak bermaksud membuat sebuah ulasan). Kritik terhadap karya seni adalah pekerjaan yang berat menurutku, dan ketika berhadapan dengan karya besar seorang kritikus sering kali mempertaruhkan reputasinya. Ketika aku berpikir untuk mulai mencatat semua cerita ganjil yang mengispirasiku begitu hebat, seperti cerita ‘Lobster’ ini, nama-Jose Samargo adalah sebuah titik tolak yang tepat kalau-kalau aku hendak mengingat-ingat dari mana ini bisa muncul.

Jika ingin pergi lebih jauh lagi, Samarago juga nama yang bertanggung jawab atas dimulainya keinginanku untuk mengerahkan energi menulis sebesar-besarnya pada genre yang akhirnya membawa Ia (Samarago)  memperoleh penghargaan nobel sastra.

Aku ingin langsung menuju point yang ingin kutulis, dan karena ini bukan ulasan, aku paling-paling hanya akan mengambil satu atau dua potong cerita yang paling banyak ‘menggangguku’.

Pertama, kenyataan yang sudah pasti bahwa setiap orang akan berubah (diubah kata yang lebih tepat) menjadi hewan jika sampai batas waktu yang ditetapkan tidak juga mendapatkan pasangan hidup. karena aku laki-laki maka kalau di tempat-tempat umum aku kedapatan berjalan-jalan sendirian tanpa pasangan (wanita) dalam konteks formal (istri), aku akan “dirazia”. Jika dikonfirmasi lajang, aku akan dikarantina dari kehidupan umum hingga tidak lagi lajang. Dalam akhir masa karantina, aku akan menghadapi dua pilihan yang pasti : kembali ke kehidupan umum bersama pasangan baru atau diubah menjadi hewan.

Kedua, kenyataan bahwa aku bisa memilih opsi lain, yaitu bergabung dengan kelompok ‘lajang’ dalam konteks yang juga formal dan sah secara hukum, tetapi harus hidup terkucil di hutan. Kelompok ini, yang bertahan hidup di alam liar secara sangat efektif, mesti patuh pada sumpah berdarah untuk lajang seumur hidup. Jatuh cinta berarti pengkhianatan. Pengkhianat pada semua kebudayaan di muka bumi adalah kejahatan yang hanya bisa dibayar dengan eksekusi.

Aku sedikit melamun setelah menonton. Sebabnya, saat mengunduh film ini secara ilegal, aku baru masuk usia ke 22. Tidak ada tanda-tanda aku akan segera mendapatkan pasangan hidup dalam waktu dekat. Kehidupan di Surabaya yang sepertinya akan selesai tidak lama lagi belum menunjukan jalan ke arah itu. Opsi ke dua adalah pilihan paling menjanjikan yang aku punya (aku tidak mau jadi hewan). Sampai titik waktu aku memikirkan hal itu, belum banyak gebrakan dalam hidup yang aku lakukan. Niatku yang menggebu belakangan ini untuk segera mendapat sertifikat gitar klasik, mendaftarkan diri menjadi pengajar, dan beroleh banyak murid di Surabaya harus batal; Disamping aku terlalu sering menunda melakukan rencana-rencana yang sudah aku tulis sendiri.

(Beberapa gambar berikut menjadi pertimbangan penting sebelum kau memutuskan ingin menjadi hewan apa..)







Tetapi aku segera ingat pesimistis adalah salah satu prasangka paling buruk yang bisa dimilki seorang  manusia. Kuputuskan bahwa opsi ke dua, mengucil di hutan bersama kelompok yang dibuang, sama sekali tidak lebih baik dari pada mengambil resiko menjadi hewan.

——————————————————————-

Dan beginilah akhirnya setelah lewat berbulan-bulan, aku hanya bisa mulai lagi dengan satu tulisan tidak penting sama sekali.