Demian





















Kurang lebih tiga tahun lalu aku meminjam sebuah buku lama karangan Herman Hesse (sebetulnya aku mengambilnya diam-diam dari rak buku kakak-ku di Bandung). Aku tidak bisa menolak daya tarik dari kertas-kertas usang berwarna kekuning-kuningan yang begitu kubuka menyebarkan bau khas yang mencirikan ia telah 'sangat tua'.'

Yang membuatku heran adalah buku tipis itu, yang hanya terdiri dari sedikit halaman (relatif terhadap buku klasik kebanyakan) baru saja selesai aku baca setelah ia mengendap cukup lama di dalam tasku (ia sangat kecil sampai aku lupa telah menyimpannya di dalam situ) Sebabnya, bukan karena aku malas atau tidak menyukai jalan cerita dalam buku itu. Tetapi barangkali aku merasa takut karena setiap kali membaca satu bagian, aku menemukan hal yang sungguh-sungguh tidak pernah aku pikikan sebelumnya. Setiap kali mendapat tambahan cara berpikir baru yang absurd, mengerikan, sekaligus begitu logis dan rasional, satu bagian dalam kehidupan di sekitarku terungkap, seperti saat aku mengangkat sebuah kain keset yang tidak diganggu bertahun-tahun, lalu kudapati dibawahnya berkumpul kecoak-kecoak.

Cerita itu berpusat pada anak kecil yang mengalami perkembangan spiritual secara ganjil. Di awal-awal bab aku langsung mendapati satu kejadian yang menjadi titik awal dari jalannya seluruh novel itu. Rasa ngeriku dimulai saat tokoh aku, menceritakan betapa hidupnya berada ditengah dua dunia yang teramat kontras. Ia merasakan dua realita itu silih berganti. Pada intinya aku ngeri membayangkan tokoh utama yang terlempar dari kehidupan masa kecil religius ke dalam kegelapan yang dihasilkan oleh pikirannya sendiri.

Pada akhirnya, tokoh 'aku' secara bertahap kehilangan satu per satu hal penting dalam dirinya : cinta, kasih sayang orang tua, ketentraman.  Jika menceritakan semuanya disini, aku khawatir akan menjadi kurang ajar karena karena hal yang terlalu bagus seharusnya dirasakan secara detail.

Buku itu membawaku pada cara membaca yang baru. Saat melewati satu bagian yang memicu pikiranku untuk melamun, aku segera melipat halaman penting itu (sampai ada banyak sekali lipatan), lalu mengulangnya lagi berkali-kali. Hal tersebut aku praktikan pada beberapa buku lain yang aku sukai.

Berkat itu aku membuat banyak penemuan penting, sehingga rasa-rasanya perjalan menyelesaikan satu buku dan berpindah ke buku lain menjadi semacam "telur waktu" yang membuatku melewati berbulan-bulan dengan cara yang halus (In delicate way). Tanpa sadar aku merasakan bahwa tiap-tiap cerita rupanya memiliki keterkaitan dan pola yang mirip. Dan fakta bahwa para penulis sebetulnya selalu merujuk pada penulis-penulis lain yang lebih senior, membuat banyak hal menjadi masuk akal. Aku teringat teori Biologi tentang pohon evolusi, dimana satu spesies akan berkembang menjadi banyak spesies yang dalam beberapa segi serupa.

Kurasa ini akhirnya menjadi penjelasan paling logis mengapa seseorang tidak akan puas ketika selesai membaca 1 buku.
Menyelesaikan satu buku adalah smenyingkap sebuah batu, dibawahnya akan terbaring banyak hal : kecoak, semut, tanah, dan seterusnya.