Tebu (Bagian 1)

2017, Perpustakaan Pusat ITS


“Tiada yang lebih tahu Jawa dari pada diri saya.” Kurang lebih begitu yang diucapkan Raffles. Ia mengemas pengetahuannya yang melimpah soal pulau tersebut dalam buku termahsyur History Of Java.  Dikatakan pulau yang bentuknya memanjang ini menurut bahasa berasal dari kata ‘jawawut’, semacam sebutan untuk biji-bijian tertentu (satu informasi yang baru aku ketahui). Membaca buku itu aku tidak merasa ngantuk meski pemaparan yang sangat formal demi kepentingan administrasi itu sarat angka dan tabel.

Sebutan lain pulau Jawa yang tercantum dalam buku tebal itu adalah Nusa Hara-hara, berarti pulau liar. Mengingat karya itu ditulis dua ratusan tahun lalu, dapat dibayangkan pulau Jawa yang dijumpai Raffles barangkali masih berupa tempat yang belum terbangun seperti sekarang. Menghabiskan buku tebal itu akan makan cukup banyak waktu.Tetapi kepuasan berkat informasi  yang terkandung di dalamnya membuatku rela begadang; aku seolah sedang membaca sebuah kisah tentang negeri yang asing. Pikiran bahwa aku merasa sedang menggali informasi tentang sebuah negeri ‘asing’ saat membaca buku itu sebetulnya sangat mengangguku. Dan alasannya baru aku pahami betul setelah baru-baru ini, karena keperluan pendidikan aku mesti pulang pergi Sukabumi – Surabaya. Perjalanan panjang yang makan waktu hampir seharian itu aku tempuh lewat jalur darat, menggunakan bus dan kereta. Rasanya mudah sekali menebak apa yang ada dalam pikiran seseorang yang hidup seperti katak dalam tempurung ini, yang karena suatu hal ia dengan enggan mesti menempuh perjalanan jauh keluar dari tempat tinggalnya yang nyaman. Tempat tinggal yang telah ditempatinya sapanjang umur.

Dalam kereta aku melewati banyak daerah yang berderet-deret dari Jawa Barat hingga Jawa Timur, kebanyakan baru aku ketahui sebatas nama. Dua ratusan tahun lalu seorang tentara kerajaan Inggris bernama William Thorn terlibat dalam ekspedisi militer di pulau Jawa—bentuk perjalannya jelas jauh berbeda dengan yang aku lakukan— dan ia menulis memoar tentang pengalamannya yang tidak terlupakan itu. Yang menjadi perhatianku adalah komentarnya tentang Jawa. Ia menyesalkan pulau yang kaya raya itu begitu tidak terbangun padahal Belanda telah mengukuhkan kekuasaan selama beberapa generasi. Katanya, orang-orang Belanda begitu tergesa-gesa meraup sebanyak-banyaknya sumber alam tanpa menunjukan keseriusan untuk membangun pulau yang telah menjadi sumber penting bagi kemakmuran negeri mereka di seberang lautan. 

Kajian-kajian demi memuaskan pengetahuan akademik atas Jawa amat jarang dilakukan, bahkan yang sifatnya menguntungkan bagi kegiatan eksplorasi. Berbeda jika dibandingkan dengan pemerintah Inggris yang dalam waktu singkat saja telah mengumpulkan informasi secara mendetail, salah satu yang hingga kini masih relefan tersusun secara cermat dalam buku karangan Raffles yang aku sebutkan di awal. Buku yang dipersembahkan untuk Maharaja itu, yang menunjukan keseriusan orang-orang Inggris dalam memuaskan keingintahuan akademik mereka (entah apapun tujuan sebenarnya), sungguh-sugguh membuatku merasa malu karena sepanjang perjalananku di kereta, aku menyadari begitu sedikit yang aku tahu tentang pulau tempat aku menghabiskan waktu seumur hidup ini.

Sejak aku mulai membaca sejarah, terutama tentang bangsa Eropa di sekitar abad 16 yang menjelajah laut untuk menemukan tempat-tempat baru, aku dipenuhi rasa kagum pada bangsa itu, yang meski pada tahap selanjutnya kedatangan mereka turut juga membawa bencana bagi masyarakat pribumi.
Penjelajahan besar-besaran bangsa Eropa yang dalam berlangsungnya sejarah adalah satu babak yang sangat penting, merujuk pada buku Mohammad Hatta : politik, kebangsaan, ekonomi,  merupakan sebab utama dari munculnya kolonisasi atas negeri-negeri di Asia dan Afrika. Ada satu teori yang menjelaskan hubungan antara nafsu menjelajah bangsa Eropa pada masa-masa itu dengan kebiasaan manusia primitif.  Hatta mengutip dari seorang sarjana Jerman bernama Gustav Klemm, yang menurut hipotesisnya, keinginan sekumpulan orang (masyarakat, bangsa, dan sebagainya) untuk melakukan ekspansi bermula dari kecenderungan penghuni dataran tinggi yang lebih aktif dan maju, dalam mengekspansi masyakat dataran rendah pemilik sumber daya alam melimpah yang lebih cinta damai meski kurang maju. Pada saat mereka (masyarakat dataran tinggi) telah berhasil menguasai masyarakat dataran rendah dan keinginan untuk terus berekspansi akhirnya terhalang lautan, mereka mulai berpikir untuk menyebaringinya. Jejak penjejahan mereka di lautan kini dipercaya sebagai cikal bakal jalur pelayaran modern.

Faktor yang menyebabkan masyarakat dengan peradaban maju melakukan ekspansi menurut Klemm sebetulnya amat sederhana, hanya terdiri dari beberapa dorongan yaitu,  urge of possession, urge of fame, urge for something new, urge of collectivity,urge of freedom, dan terakhir (dan rasanya yang paling utama), overpopulation. Di sini jelas terlihat bahwa tampaknya, kelebihan populasi, sejak masa-masa awal peradaban telah menjadi persoalan yang coba manusia urai. Melakukan migrasi dan membentuk koloni di ‘negeri baru’ sepertinya menjadi solusi menjanjikan, yang menurut Klemm juga merupakan motif, meski dalam bentuk yang berbeda, terjadinya kolonisasi baru yang dilakukan pertama-tama oleh bangsa Spanyol dan Portugis.

Akan tetapi, Hatta punya keyakinan  bahwa kolonisasi modern tidak bisa dijelaskan dengan hipotesis itu. Apa yang melatari kolonisasi modern (atau ‘penjajahan’ dalam bahasa yang lebih familiar di telinga kita) menurutnya jauh lebih kompleks dari pada sekedar dorongan-dorongan itu. Masyarakat modern, menurut Hatta, tidak akan serta merta, tanpa motif-motif yang lebih mendalam,  mengambil risiko terlibat dalam ‘petualangan penuh marabahaya’. 

Mengutip kata-kata yang Mohammad Hatta tulis,  mencari sebab-sebab kolonisasi hampir sama tuanya dengan kolonisasi itu sendiri. Dan lagi-lagi para peneliti menghasilkan fakta dan sebabnya yang utama, yaitu konflik. Dan apapun pandangan kita sekarang, faktor konflik tetaplah yang menentukan. Kalimat itu seolah memberi tahu kita bahwa akan sangat panjang  jika membahas sebab-sebab kolonisasi modern disini. Aku sebetulnya bukan bermaksud untuk membahas hal itu dan lagi pula, dalam buku yang kini mudah untuk didapat itu,  Hatta menguraikan persoalan kolonisasi (terutama yang dilakukan Belanda atas Indonesia) dengan sangat lengkap serta memuaskan. 
Ada satu lagi opini dalam buku itu terkait dorongan bangsa Eropa melakukan penjelajahan. Kutipan ini adalah inti dari argumen Jules Harmand yang Hatta rujuk,  “area-area yang luas dan subur di dunia bakal hilang bagi ‘kita’ (Maksudnya bangsa Eropa yang beradab) dan bagi kemanusiaan (dalam sudut pandang bangsa Eropa saja!) karena ketidakmampuan orang-orang yang berdiam diri di sana dan karena salah pengelolaan mereka atasnya bila sumber alam itu dibiarkan mereka kelola sendiri”.

Tentunya Harmand menyadarai bahwa tindakan mendominasi orang lain meski tujuannya ‘mengelola sumber daya alam demi kemanusiaan’ merupakan tindakan terkutuk. Ia mengatakan bahwa tindakan itu, imoralitas yang terpaksa dilakukan, tidak lain adalah wujud  the universal struggle for life. Pembenaran yang dilakukan orang-orang Eropa atas dominasi terhadap bangsa lain serta alasan-alasan yang  mereka anut, tentunya bersifat sangat urgen ketimbang dorongan-dorongan dalam hipotesis Klemm, bahkan mereka harus mengabaikan sisi kemanusiaan. Hal yang sungguh paradoks jika memperhatikan asas hidup mereka yang mengedepankan ‘keberadaban’. (berlanjut)