--Catatan ini di buat tidak lama setelah aku melaksanakan Praktek Kerja Lapangan di bulan Juli 2014-- 

Tempo hari, terhitung dua minggu lalu, ditengah kegiatan PKL yang membosankan, sudah lebih dari satu jam hujan turun cukup lebat dan tidak ada satupun yang bisa dilakukan selain berdiri di bawah atap pos pengawasan. Tanpa minat sama sekali aku mengamati sekeliling area proyek gedung itu. Pemandangan yang sama seperti hari-hari lain. Kesibukan yang baru aku rasakan berkat bidang keilmuan yang telah aku dalami dua tahun ini lama-lama membuatku muak. Aku boleh bersyukur selama hujan lebat itu turun di siang hari yang panas. Sebabnya, hujan yang seenaknya turun itu membuatku beserta tiga orang rekan bisa duduk-duduk  saja dan tidak melakukan rutinitas pkl seperti biasa. Waktu yang terasa singkat itu aku habiskan untuk melamun pada 'kekacauan' di depanku. Selain Beton dan baja yang tampak sangat berantakan, turut pula sampah-sampah konstruksi yang tidak terurus menjadi bagian dari objek yang aku pandangi tanpa minat.

Satu-satunya yang mengisi pikiranku hanyalah, betapa memualkannya hidupku nanti jika seharian harus berada di dalam 'kekacauan' ini. Aku mencoba menghibur diri dengan mengingat kenyataan bahwa luasnya bidang keilmuwan ini memungkinkanku untuk meraih banyak peluang pekerjaan dalam bentuk yang lain. Segera saja aku berfantasi menjadi insinyur sipil yang tidak perlu repot-repot menceburkan diri dalam kebisingan sebuah proyek. Aku membayangkan ruangan yang berpendingin, dengan diriku yang duduk dimeja, mengenakan pakaian rapih, mengerjakan sesuatu yang teramat penting sehingga sebuah proyek tidak akan berjalan sebagaimana mestinya kalau aku berbuat kesalahan. Aku adalah semacam manusia yang ditangannya nasib banyak orang bergantung. Di bawah pos itu kami melamun dan tampaknya tidak ada yang berminat sama sekali untuk bercakap-cakap.

Kemudian sayup-sayup, ditengah suara hujan deras (hanya itu satu-satunya suara yang masuk telingaku) terdengar suara adzan dzuhur. Aku mengabaikan suara adzan itu sampai habis kudengar dari setiap masjid yang ada di sekitaran situ. Kembali suara hujan yang ada.
Selain itu terdengar suara lain, para insinyur lapangan yang menggerutu karena proyek harus dihentikan akibat derasnya hujan, dan mereka semakin bertambah cemas ketika melihat lubang galian sebesar dua kali lapangan basket dibanjiri air. Barangkali mereka geram karena harus memompa genangan itu sampai kering, satu tambahan pekerjaan yang menghambat. Selain itu aku mendengar para pekerja bangunan yang tidak kurang senangnya dariku karena bisa istirahat lebih lama dari biasanya, mereka bergurau dan tertawa. Entah apa yang mereka tertawakan, barangkali menertawakan para mandor dan engineer yang mukanya berubah muram.

Aku sudah mengakui sejak awal bahwa aku tidak begitu suka pada orang-orang itu (ini merupakan kesombonganku yang pertama). Aku tidak pernah suka cara mereka bergurau, menggerutu, membangkang, dan melanggar aturan. Jarang kulihat pekerja-pekerja bangunan itu mematuhi peraturan. Cara mereka mengabaikan safety helmet dan pengaman lainnya merupakan bentuk sikap meremehkan yang membuatku kesal dan mulai berpikir andai kecelakaan terjadi pada mereka, aku pasti akan tertawa dulu sebelum menolong (ini merupakan salah satu pikiranku yang paling busuk). Bahkan banyak yang memanjat perancah dengan tangan kosong seolah itu adalah pohon sedangkan di bawahnya adalah lubang yang menerus sampai ke dasar pondasi.

Aku merasa prihatin pada mereka yang kurang mendapat edukasi yang memadai, bahkan hingga yang sepele seperti persoalan keselamatan pribadi. Pada saat itu kutemukan kesombonganku yang ke dua dan ke tiga : (2) sebagai warga yang bisa meraih pendidikan  tinggi, aku dilanda perasaan superior yang membuatku merendahkan para pekerja kasar itu (yang notabane kurang mendapat pendidikan memadai). (3) selama ini aku menolak realitas yang ada. Alih alih memiliki tujuan sebagai perubah keadaan sekitar, setiap hari aku semakin disibukan dengan usaha mengejar satu gaya hidup tertentu yang kurasa semua pemuda kepalang tanggung semacamku tahu seperti apa bentuknya. Dengan begitu, aku menciptakan semacam gap, garis khayal antara 'kelompok' manusia yang ingin aku masuki, dimana kami sama-sama dimabuk oleh angan-angan akan menjadi 'corong bangsa' yang teramat penting, sementara di sekitar kami, bergelimpangan masyarakat Indonesia, yang kebanyakan hidup di bawah  batas lapisan terendah, hingga sedikit menyerempet lapisan di atasnya.

Sejak manusia mulai hidup berkelompok, selalu terbentuk tiga lapisan di masyarakat : rendah, menengah, dan atas. Sejauh yang aku tahu, status mahasiswa ada di tiap-tiap lapisan itu. Masyarakat menengah merupakan mayoritas, dan sebagiannya betingkah sebagai kalangan lapisan atas. Hal itu tidak perlu susah-susah dibuktikan dengan kegiatan survei yang sangat merepotkan, karena dengan berkeliling kampus satu kali saja dari satu departemen ke departemen lain, atau mengunjungi setiap kantin, aku segera tahu siapakah para mahasiswa itu. Aku teringat sebuah memoar yang ditulis Soe  Hok Gi, mahasiswa angkatan 60-an yang menemui ajal di gunung semeru pada usia mudanya, katanya, setiap kelompok intelekual yang berdiam diri telah melunturkan semua kemanusiaannya. Nah, rasanya sebagai mahasiswa aku boleh merasa malu.

Lalu aku teringat bahwa selama ini aku bukan hanya berdiam diri, tapi dengan kebanggaan yang memuakkan aku merasa diri sangat tinggi dan akibatnya aku lupa pada realitas.
Keyakinan bahwa mengejar satu gaya hidup merupakan hal paling penting dan usaha melampaui lapisan menengah menuju tinggi dengan jalan yang begitu egois, barangkali berkali-kali lebih buruk dari apa yang ditulis dalam memoar Soe Hok Gie barusan.

Gap tadi semakin kentara dengan adanya berbagai alat yang mulanya diciptakan untuk kepentingan teramat vital seperti komunikasi, dengan sendirinya, pada satu sisi bergerak ke arah yang akhirnya membentuk tembok. Hal yang tampak sepele ini mengkotomi beberapa kalangan. Hampir semua pemuda, remaja, atau mahasiswa angkatan ini tahu betul seperti apa yang terjadi di dunia 'luar-realita' ini. Kita tahu percis siapa mereka yang boleh disebut 'alay', dan tampaknya semua pemuda yang tinggal di daerah atau pinggiran, kadang dianggap remeh oleh orang-orang kota atau bahkan oleh mereka yang berhijrah dari daerah ke tempat yang lebih tampak seperti kota dan 'berperadaban maju', 'modern', atau istilah lainnya, bahkan hanya karena perbedaan jenis hiburan, cara berpakaian, dan gaya hidup. Aku merasa disinilah asal lahirnya istilah kampungan, alay, atau apapun yang habis-habisan coba aku (kita) hindari. Hal ini merupakan salah satu alasan selain aku sebagai mahasiswa merasa berkedudukan lebih tinggi, yang jadi asal dari kesombongan no.2 dan no.3.

Satu lagi yang paling memuakkan, dengan pendidikan tinggi yang telah didapatkan, aku merasa dekat dengan angan-angan yang menjadi alasan aku belajar : mencapai lapisan masyarakat paling tinggi dengan jalan menjadikan diri sebagai tujuan (egosentris?). Ironinya, timbul keyakinan bahwa kamilah kelak yang akan menjadi corong bangsa, ujung tombak, generasi emas, generasi pilihan, dan sebagainya, dan sebagainya. Aku pernah mendengar perkataan yang teramat subjektif dari seorang pengamat pendidikan, "sepanjang cara berkendara (serta jenis kendaraan) menjadi fokus, pelajar akan menjadi robot setelah lulus". Perkataan pengamat itu, walaupun tampak tidak nyambung, Kalau dicerna baik-baik ada benarnya. Katanya lagi, sungguh ajaib, sesorang bisa merasa lebih tinggi statusnya di masyarakat saat turun dari mobil pribadi. Soal ini aku setuju sekaligus tidak, tapi rasanya tidak perlu di pikirkan.

Di tengah hari yang tiba-tiba menjadi dingin itu hujan masih deras. Aku bersyukur terus karena hujan membuat proyek yang terletak di Jalan.Otto Iskandar Dinata, salah satu tempat terpadat dan terpanas di kota Bandung itu, mendadak menjadi tempat yang dingin dan menenangkan.
Semua orang sepertinya merasa harus diam mendengarkan suara limpahan air. Para pekerja pun terdiam, mungkin karena saat itu waktunya makan siang.

Adzan sudah sama sekali tidak terdengar lebih dari setengah jam lalu. Aku sempat berpikir untuk berlari menembus hujan, melewati sampah-sampah proyek yang berserakan, mungkin sesekali tersandung, untuk pergi menuju mushola di ujung yang berseberangan. Sebetulnya Aku lebih termotivasi untuk berbaring di mushola itu ketimbang melaksanakan sholat. Mushola itu satu-satunya nya tempat yang aku sukai di proyek. Sebabnya, tempat itu selalu bersih, berpendigin, dan khusus disediakan hanya untuk staf, para engineer, satpam, dan kami, mahasiswa pkl. Tempat itu pun hampir selalu kosong sepanjang waktu.
Pikiran lari menembus hujan itu tidak berusaha aku wujudkan. Walau bosan aku kembali menatapi proyek. Yang jadi perhatianku waktu itu adalah acuan dan perancah yang berfugsi untuk membentuk struktur beton dan menahannya hingga beton itu mengeras. Beberapa kali aku diserang paranoid ketika aku berjalan di bawah beton yang baru saja dituang malam sebelumnya. Alasannya, sering aku dengar satu proyek besar menemui ajalnya dalam hitungan detik karena acuan dan perancah yang buruk. Pandanganku mengarah pada lantai paling atas. Disitu tampak banyak pekerja yang sedang duduk-duduk dan makan siang dengan tenang, tanpa sedikitpun khawatir pada lantai beton yang baru saja dituang pada malam sebelumnya di atas kepala mereka, lantai beton rapuh itu berubah fungsi jadi atap pelindung dari hujan. Semakin bertambah saja paranoidku. Bagaimana jika air yang menggenang jadi terlalu berat dan tiang-tiang beton yang baru jadi itu tidak kuat menahan? Aku mencoba membuang pikiran itu jauh-jauh.

Pandanganku menyapu semua bagian proyek yang kacau dan berantakan itu, hingga akhirnya sampai di sudut yang sepi. Aku memicingkan mata begitu melihat seorang pekerja sedang melakukan sesuatu yang agak ganjil karena baru sekali itu saja aku lihat. Ia berkali-kali mengambil segenggam air dari curahan air hujan yang merembes melalui sebuah celah beton. Sadarlah aku kalau pria tua itu sedang berwudhu. Di antara perancah ia menggelar sejadahnya, kemudian sholat. Ia melakukan kegiatan itu 'begitu saja' tanpa mempedulikan sekitarnya, dan dengan kekhusukan yang mengatakan "persetan dengan sekitarku". Dari ekspresi wajahnya yang begitu dalam aku tahu kalau ia menikmati pelerjaannya itu. Pekerjaan yang selama ini kurasa hanya bisa dilakukan ditempat nyaman, seperti mushola yang selalu sejuk, kosong, dan bersih karena khusus disediakan  untuk orang-orang di proyek ini yang 'berpendidikan'. Aku merasa barangkali pekerja tua itu pun paham, walaupun tidak ada aturannya, bahwa kuli tidak boleh sholat di mushola. Makanya ia solat di bawah lantai beton yang belum begitu kering.

Setelah sholat, pekerja tua itu bergabung ke dalam kerumunan pekerja. Bersama-sama mereka makan nasi bungkus di tempat menyedihkan itu, kebanyakan masih dengan tangan yang kotor dan perkakas di sampingnya. Sambil makan mereka bergurau dan tertawa, entah menertawakan siapa.
Saat itulah aku menyadari betapa sederhananya hidup di mata para pekerja kasar itu. Mungkin bagi mereka hujan hanya sekedar curahan air yang patut disyukuri karena membuat jam istirahat jadi lebih panjang, mereka tidak repot-repot memikirkan genangan air yang merendam lubang, mereka hanya perlu menggali dan mengoperasikan pompa. Barangkali memereka sering tertawa dan bergurau karena sudah merasa cukup puas dengan hidupnya. Seorang peraih nobel sastra pernah berkata, di dalam diri seorang yang merasa puas dengan kehidupan tersimpan rahasia besar kebahagiaan,

Nah, begitulah hari itu, hujan turun terus sampai sore. Proyek itu menjadi banjir, aku memaksakan diri berlari menuju mushola lalu tidur. Sampai waktu pulang tiba, hujan masih turun sebatas gerimis kecil.

Biasanya aku mulai menulis dan merasa ingin membagikannya pada entah-siapa melalui blog ini, jika tiba2 aku menyadari sesuatu. 

Selang beberapa waktu lalu, aku menghadapi masalah serius karena dinding telinga sebelah kiri yang terlalu tipis itu berdarah ketika aku hendak membersihkannya menggunakan cotton bud. Aku ketakutan karena darah mengalir sangat banyak. Rasa dingin yang menyebarkan bau besi itu terasa di sebelah kiri wajahku, dan begitu aku melihat cermin aku terkejut pada fakta bahwa selama ini aku belum pernah melihat darah manusia sebanyak itu, baik darahku atau darah orang lain.

Nah, barangkali karena itulah, karena tubuh ini belum pernah berdarah seperti itu, aku mulai menyadari beberapa hal yang ternyata membuatku sangat gusar.

1. Aku belum pernah dipukul oleh seseorang dengan pukulan kebencian yang membuat darah keluar entah dari mulut, hidung, telinga, atau apapun itu. 

2. Menurut dokter, rupa-rupanya aku beruntung karena yang terluka hanyalah dinding telinga. Aku merenung apakah upaya membesar-besarkan hati dengan mengatakan "untung saja....bla, bla,bla"  adalah bentuk sikap optimisme atau semata-mata ungkapan ketidakterimaan kita pada satu ketololan. Mungkin dalam kalimat lain apa yang dimaksud dokter ini seperti ini : jika kamu tidak terlalu tolol, telingamu seharusnya tidak kenapa-kenapa.

3. Melanjutkan poin nomer 1, entah kenapa aku merasa telah melewati threshold, satu titik bahwa tubuhku akhirnya pernah mengalami sebentuk tekanan fisik yang rupanya tidak begitu ngeri. 

4. Setelah kupikir ulang, aku pernah juga mengalami perasaan yang sama ketika di-khitan dulu. Barangkali yang membedakan hanyalah kenyataan bahwa pada titik ini akulah satu-satunya orang yang perlu mengurus persoalan ini. Kenyataan itu, sebagaimana aku katakan diawal, telah membuatku gusar dengan caranya sendiri bahwa pada akhirnya aku perlu menghadapi banyak persoalan seorang diri. Baik yang tolol semacam ini atau yang lain nya

Khayalan

Aku kemarin selesai membaca sebuah esai yang dibuat Sigmund Freud berkaitan dengan inspirasi, khayalan, dan mimpi. Dalam pembahasan yang tidak panjang lebar itu, aku paling tertarik pada bagian bagaimana seorang penulis dapat menemukan isnspirasinya, membentuk khayalannya menjadi semacam ‘kenyataan’ yang dipercayai oleh pembaca sungguh-sungguh terjadi. Kita memang menyadari bahwa apa yang berlangsung di dalam cerita fiksi hanyalah karangan semata. Tapi bahkan kebohongan yang paling murahan sekalipun tidak membuat kita begitu saja melempar buku tersebut, apalagi saat kita sudah terlanjur tenggelam dalam cerita. Saat aku mencoba menyimpulan maksud esai itu, mendadak aku tersenyum seorang diri, dan mulai mengagumi bagaimana aku bisa melewatkan pemikiran yang begitu mudahnya untuk dipahami itu. (isi esai tersebut bukan hanya membicarakan masalah fiksi, tetap bagian itu yang paling mudah aku asosiasikan pada kepribadianku.)

Secara kebetulan, tidak lama sebelum menemukan esai itu, aku membaca sebuah majalah sains populer. Aku terkejut pada fakta bahwa banyak sekali penemu yang menciptakan benda-benda hebat dari pikiran sederhana yang ia kembangkan secara otodidak. Pada saat aku membaca fakta itu, aku sedang dilanda perasaan murung bahwa barangkali usahaku selama ini dalam mendalami fisika bangunan, yang sebagain besar aku nikmati sepenuh hati, tidak akan banyak gunanya, mengingat bahwa di lapangan kerja orang-orang bertindak atas logika yang tidak dibangun oleh pendidikan tinggi yang didapat di bagku kuliah. Bahkan beberapa atasan yang  aku kenal secara terbuka mengunggkapkan bahwa ‘engineering judgment’ yang ia lakukan semata-mata instuisi belaka yang dibangun oleh pengalaman nekat terjun langsung dengan tangan kosong dan pengetahuan alakadarnya ke lapangan. Aku sepintas merasa ngeri saat menatap menara beton yang rupanya dibangun oleh tangan-tangan nekat nan berpengalaman itu.

Kembali pada persoalan para penemu, aku sedikit terkejut saat  membaca sejarah alat perekam suara, yang inspirasi atas temuan itu hanya berdasarkan pada pemikiran sederhana, bahwa sebuah membran yang bergetar karena suara nyaring (contohnya nyanyian), dapat dimanfaatkan untuk meggerakan semacam pena yang selanjutnya akan menggores kertas tertentu, sehingga suara dapat ‘dicatat’. Untuk menghasilkan suara imitasi, cukup membalik alurnya. Tugas sulit yang tersisa tinggal menemukan membran yang paling bagus dalam besuara mirip manusia. Kemudian cerita melompat menuju berabad-abad sebelumnya dan aku disuguhi lukisan pemuda berambut aut-autan tengah menatap apel dengan ansusias. Lalu cerita tentang orang yunani kuno yang belari telanjang di jalan dan berteriak eureka. Aku tidak akan membahas majalah sains populer itu secara panjang lebar.

Dalam kaitannya dengan sulitnya membangun motivasi diri, esai yang aku baca kemarin, serta majalah sains populer anak-anak yang iseng-iseng aku buka di perpustakaan, tampaknya merupakan semacam pertolongan Ilahi yang selama ini aku cari-cari dalam masa transisi yang aneh setelah aku menyelesaikan studi diploma di perguran tinggi. Aku merasa sangat berdosa saat menyadari selama ini aku mengabaikan nasihat universal itu, bahwa disaat-saat sulit dan membingungkan, pertama-tema kita seharusnya 'mencari' pada hal-hal kecil dan sederhana. Aku memiliki tujuan yang begitu jauh melampaui kata ‘realistis’, yang bahkan terkadang aku sendiri malu mengungkapkannya dalam sebuah do’a malam hari. Tujuan itu begitu besarnya sehingga dalam masa transisi tanggung ini, aku merasa seperti semut yang memandangi kaki manusia dari jarak satu sentimeter. Aku ngeri saat mendapati diriku yang terkadang meragukan kemampuannya sendiri, hanya karena takut pada tujuan yang aku buat dan khayalan yang aku ciptakan tanpa menindahkan kata ‘realistis’ jauh-jauh hari.

“Coba kita berkenalan dengan beberapa segi dari berkhayal. Kelihatannya orang yang bahagia tidak berkhayal, tetapi orang yang tidak puas justru melakukannya. Motiv bekhayal adalah keinginan yang tidak tercapai, dan setiap khayalan adalah tercapainya keinginan, suatu perbaikan dari kenyataan yang ada. Keinginan itu berbeda-beda sesuai jenis kelamin, sifat, dan keadaan orang yang berkhayal, tetapi secara umum terdapat dua golongan. Pertama , keiginan ambisius, yang mengangkat kepribadian subjek—dan yang kedua, keinginan erotis.” –Sigmund Freud.

Kalimat itu agak mengerikan, kurasa, jika mengingat bagaimana orang bisa begitu keranjingan dalam berkhayal sampai tidak mampu lagi memebedakannya dengan kenyataan. Tetapi hingga kini, aku selalu mendapati diriku berada dalam situasi yang memungkinkanku untuk berkhayal tanpa merasa menyesal atau malu. Anehnya aku tidak berani mengungkapkan khayalan-khayalan itu bahkan pada Tuhan sekalipun.

Fakta yang baru aku sadari belakangan itu memberiku sebuah kesimpulan sederhana. Barangkali aku hanya perlu mengumpulkan dan menyusun berbagai tujuan-tujuan praktis kecil-kecilan sehingga aku tidak perlu lagi merasa akan ditertawakan karena mungungkapakan tujuan-tujuan itu. Memulainya dengan kegiatan seperti menyusun semua tulisan yang kubuat, mengobrol dengan sebanyak mungkin tema lama yang kini sedang sama-sama berjuang dalam jalan masing-masing, atau membaca tulisan-tulisan beberapa orang teman dekat yang begitu jauh, mungkin akan mengakhiri saat-saat membingungkan ini.

-30 Ramadhan-