Penulis yang pertama kali aku temukan namanya di sampul sebuah buku berkata tentang sia-sia nya ambisi manusia. Bersamaan dengan kemauanku yang terbatas terhadap perubahan penting yang selalu berusaha aku ciptakan dan paksakan, aku berharap menjadi seseorang yang dapat melampaui kesia-siaan ambisi manusia. Yang kumaksudkan barangkali demikian :  bagaimana aku mampu mewujudkan khayalan saat bayangan diriku yang habis menjadi abu seratus tahun kemudian selalu menghantui?
Dalam seratus tahun mendatang, di suatu tempat yang murung, begitu anjing terakhir yang mengoggong tertidur, akan kudapati diriku hanya benda busuk yang telah melapuk dan bergabung bersama tanah menjadi pupuk yang dingin.
Begitulah penulis itu, yang mengatakan batapa sia-sia nya ambisi manusia, mempengaruhiku. Anggapan itu aku jalani hingga akhir umur belasan. Waktu aku berjalan di usia 21, dengan kesadaran penuh kubiarkan orang-orang datang dan pergi seperti angin yang menggoda telingaku.

Pada titik ini aku menyesali ambisi mengejar sesuatu yang begitu terbatas pada diriku, termasuk kenyataan bahwa aku begitu jarang menciptakan  hubungan dengan seorang perempuan- (yang merupakan ambisi hampir setiap orang yang muncul begitu ia masuk usia belasan) - mengusikku akhir2 ini. Pertemuan dengan temanku beberapa waktu lalu membuat perasaan konyol itu menghantuiku sewaktu tidur melalui mimpi yang menyedihkan, bahwa aku akhirnya hidup bahagia selama-lamanya dalam rumah musim dingin yang lengkap dengan perapian.

Pada akhirnya, aku menyayangkan tulisan ini yang merupakan satu-satunya hasil dari ambisiku yang terbatas, setelah waktu yang lama, dalam menulis sesuatu yang berguna. Tetapi paling tidak, aku sekarang diliputi keinginan untuk memulai lagi kebiasaan mengisi halaman2 tidak berguna ini.