Banyak sesuatu atau benda-benda yang dulu kita sukai, kini berubah jadi satu atau dua hal yang tidak penting dan tidak lagi kita sukai. Semakin tua, semakin banyak benda-benda yang kita ‘buang’ dari kehidupan. Boneka-boneka yang berjajar rapih di atas lemari dan berselimut debu, hanya diam ditempatnya entah sampai kapan. Mungkin sampai saya dewasa dan beranggapan kalau benda-benda itu hanya merusak tatanan ruangan. Mainan adalah harta paling berharga ketika saya kecil dulu sebelum saya sadari kalau mereka cuma plastik yang bisu.
Itu adalah manusiawi. Manusia menyukai sesuatu, ia bosan, lalu ia tinggalkan. Sifat itulah yang mendorong saya (dan mungkin semua orang) untuk mencari hal-hal lain. Mengeksplor sesuatu yang baru entah itu yang ada didalam dirinya dan tersembunyi dalam kegelapan tubuhnya, atau yang ada di dunia luar.
         Dalam pencarian itu rupanya terjebak dalam satu hal saja dan terbuai terlalu lama di dalamnya kadang bukanlah hal yang baik. Saya bukannya membicarakan passion , maksud saya ‘terjebak pada satu hal dalam proses pencarian’ dan passion merupakan dua hal yang berbeda. ’terjebak pada satu hal dalam proses pencarian’ yang saya maksud adalah seperti pada suatu hari ketika kita menyadari bahwa ada satu hal yang benar-benar kita cintai, lantas waktu yang kita punya dihabiskan untuk itu hingga kita benar-benar terlupa bahwa di luar sana masih banyak hal indah lainnya. Kita benar-benar terlupa dan terbuai dengan kenyamanan itu.
        Hingga kemudian setelah semuanya terlambat, barulah kita sadar bahwa apa yang kita sukai itu telah membuat kita lupa. Betapa bencinya kita karena itu. Mungkin ada rasa penyesalan. Terlebih ketika melihat banyak sekali keindahan yang ada di sekitar kita, dan tidak ada yang bisa dilakukan selain menatapnya saja. Bisa saja di satu waktu kita berusaha untuk mencapai salah satunya. Berusaha sekuat tenaga hanya untuk tersadar kembali bahwa keindahan-keindahan itu memang tidak bisa dicapai.
 Dari situ saya (dan samua orang saya rasa) harus banyak belajar menerima untuk tidak mendapat jatah apa-apa dari begitu banyaknya keindahan. Hingga akhirnya saya harus puas dengan apa yang saya punya tanpa harus melakukan kesia-siaan seperti mencoba mengejar kebahagian yang hanya ada dalam angan-angan. Kemudian mulai mempercai kalimat-kalimat yang diucapkan oleh diri sendiri : 'Baiklah, begini saja sudah cukup'.

Atau mungin saya salah?

Setelah 19 tahun

Sepertinya kehidupan saya dan semua hal disekitarnya berjalan pelan. Pelan dan menghanyutkan. Mirip dengan matahari yang terbit ternggelam setiap harinya. Majunya pelan (bukan secara harfiah), maksudnya, siapa orang kurang kerjaan yang sepanjang hari memandangi matahari dari terbit sampai tenggelam? mungkin semua orang hanya secara otomatis akan sibuk ketika matahari muncul dan kembali pulang saat hari mulai gelap. Melihat pergerakan matahari buka jadi bagian dari hari-hari. Dirasakannya matahari berjalan pelan, tapi sekaligus cepat. Ah, susah sekali mejelaskannya. Begitu memang, perputaran bumi itu terasa pelan, tapi sebetulnya lebih cepat dari yang bisa kita bayangkan.

Waktu bergerak tidak terduga. Lambat laun jadi tampak kejam dan mengerikan seperti pisau dengan mata dua. Dan tahu-tahu, sudah sembilan belas tahun. Saya baru menyadari 19 tahun adalah waktu yang cukup lama bagi seseorang untuk hidup di dunia. Menarik sekali mendengar dua orang di kepala saya saling bergelut tentang apakah penting memperhatikan perubahan yang ada pada diri saya dan semua hal yang ada disekeliling saya setelah 19 tahun hidup. Sekalipun saya agak sedikit lebih memihak pada orang pertama yang berkata : jalani saja hidup seperti daun yang terbawa angin, membiarkan semua datang tanpa terduga sambil melupakan pohon yang pernah menjadi tempatnya bergantung.
        Cukup sederhana dan masuk akal, sekaligus menantang karena hidup semacam ini pastinya penuh dinamika dan kejutan-kejutan yang luar biasa.

Orang kedua tidak pernah mau menyerah. Baginya evaluasi adalah hal penting yang harus dilakukan setiap manusia sebelum ia tidur. Tapi orang pertama pikir itu sangat merepotkan. Harus mengingat masa lalu, mengorek rasa sakit dari kegegalan, membuang-buang waktu untuk memikirkan kesalahan, dan merencanakan baik-baik masa depan seolah-olah renacana-rencana itu akan benar-benar terjadi dan berjalan lancar. (ketika orang pertama mengatakan hal itu, orang kedua diam beberapa saat karena kehabisan kata-kata).

Saya pun diam sejanak. Tapi segera orang kedua berkata dan memecah keheningan diantara kita bertiga : Hidup adalah apa yang terjadi saat kita membuat sebuah rencan lain. Dan rencana-rencana itu selalu memberi harapan. Bisa saja kau hidup seperti daun hayalan mu itu, tapi setelah angin berhenti bertiup dan tanah jadi tempat pemberhentian. Lalu? tidak ada apa-apa lagi yang ingin kau lakukan karena harapan-harapan itu tidak pernah ada. orang ke kedua yang penampilannya mirip Andy dalam Shawsank Redemption, dengan tenang mengakhiri kalimatnya : hope is a good thing, maybe the best of things, and no good things ever dies. Tampaknya saya sudah tahu apa yang akan saya lakukan. Pertama-tama menyalakan sebuah lampu redup di dalam kepala saya.