Dalam beberapa bulan ini gak ada cerita menarik yang patut untuk dikenang. Hari-hari baru yang sudah berjalan selama dua minggu dan, begitulah, berlalu begitu saja, sangat biasa seperti awan sore gemulai yang tidak pernah dipedulikan.
Dalam hari-hari dimana saya harus memaksakan diri untuk ikhlas menceburkan diri pada jalan yang saya lalui, terdapat banyak jawaban yang jadi tamparan hebat sekaligus pemuas petanyaan-pertanyaan.
Satu jawaban yang hadir, membuat jawaban-jawaban yang lalu jadi gak ada artinya.
Katanya, seseorang menemui jati diri di usia puber, di usia remaja ketika hendak menuju dewasa. Tapi saya rasa tidak begitu. Jati diri, paling tidak menurut keyakinan saya yang serapuh daun kering, mirip dengan sebongkah lilin. Bisa berubah. ,diubah-ubah, diputarbalikan, sampai diruntuhkan.
Jati diri gampang sekali dirubah, terutama saat pertanyaan-pertanyaan yang coba dihindari itu tiba-tiba terjawab dengan suatu hal yang bisa saja saya temukan di suatu sore. Lalu kanapa manusia menutup mata dengan pertanyaan-pertanyaan yang memburunya? pertanyaan yang hadir dan menuntutnya untuk berbuat sesuatu terhadap sisi gelap yang menggerogoti kehidupan. Lalu ia berusaha membentuk dirinya sesuai dengan apa yang dirasakan paling ideal. Kemudian berjalan bangga sambil menutup mata. kemudian, di pagi hari sebuah prinsip saya pegang, sorenya saya lempar seperti lap kotor. Jati diri jadi omong kosong. Harga diri cuma seharga jam tangan palsu! Dan mulailah saya merasakan diri ini sangat rendah ketimbang orang lain.

Tentang Perempuan Pekerja Pabrik

Selama ini, sebelum 19 tahun, saya gak begitu peduli dengan keadaan di kota kecil yang namanya Sukabumi. Terlebih kecamatan tempat saya tinggal, Cibadak. Selain pegunungan dan air terjun paforit saya, semuanya dimata saya tidak lebih dari deretan beton menjemukan yang kurang direncanakan dengan baik oleh para pembangun kota ini. Semakin dewasa, semakin kerasnya perasaan jemu untuk berlama-lama diam di kota ini. Tapi saya rasa ini cuma perasaan sementara yang muncul akibat libur tiga bulan yang paling memuakan.

Beranjak dewasa memang menjadi tahap yang paling membingungkan. Dalam banyak hal, kita dituntut untuk menjadi sesuatu yang 'dewasa'. Tapi apa kata orang-orang bilang soal dewasa? biarlah semua orang punya pandangannya masing-masing soal dewasa. Sudah cukup muak saya mendengar seseorang bilang, jadilah dewasa!!! atau, kalian itu mahasiswa yang sudah dewasa, bukan anak SMA lagi!!! berfikirlah kritis, dewasa..!!  

Siapapun, suka-suka lah mau mengaggap dewasa itu seperti apa. Siapapun bebas mau menjalani kehidupan 'dewasa'  yang menurutnya paling ideal.

Dalam perjalanan menuju kedewasaan yang belum tentu hadir itu (umur manusia tidak ada yang tahu), saya merasa banyak hal yang saya anggap sengaja Tuhan putar balikan bagi diri saya. Salah satunya pandangan negatif mengenai perempuan pekerja pabrik. 

Saya sangat terbiasa mendengar seseorang berkata dengan nada jengkel, "sorry terlambat, biasa lah, pabrik". Saya juga terbiasa mengucapkan itu. Hampir semua orang yang saya kenal tahu tentang hal negatif yang muncul akibat hadirnya  pabrik-pabrik yang notebene memeperkerjakan wanita muda.  Tanpa mempertimbangkan apapun selain anggapan negatif yang  muncul di benak saya, saya merasa luar biasa kesal ketika jalan raya yang selalu macet di sore hari padahal sebelum-sebelumnya tidak pernah, atau soal para pekerja pabrik yang tampak dengan asyik dan tidak mempedulikan kemacetan, nongkrong di depan pabrik setelah bekerja. Entah itu sekedar ngobrol ringan dengan sesama rekan, membeli makanan di sepanjang trotoar dekat pabrik, atau berdiri saja menunggu sesuatu entah apa, yang pasti bukan kendaraan, sebab supir angkot sering kali merasa kesal karena mobilnya sulit mendapat penumpang walaupun para pekerja yang baru selesai kerja jumlahnya ratusan. Siapapun yang terjebak macet pasti sepakat kalau sudah seharusnyalah para pekerja itu tidak berlama-lama menyesaki jalanan. Langsung saja naik kendaraan yang jumlahnya bejibun. Dan jalan raya tidak akan terganggu. 

Jadi setelah semua ini berlangung bertahun-tahun dan, ya, tahulah, sejak saya merasa mulai berjalan menuju 'dewasa', saya anggap apa yang dulu saya pikirkan tentang perempuan pekerja pabrik adalah sebuah ketidakadilan manusia yang  menganggap rendah sesuatu disekitarnya. Singkatnya, kesombongan. Sebetulnya saya sangat kesal melihat seseorang menliskan hal negatif tentang mereka di media sosial, tulisan itu kurang lebihnya kaya begini : para cecep(cewek-cewek pabrik) itu emang sampahnya Sukabumi. 

Kalau dipikirkan lagi, persoalan ini punya dua sisi yang dilematis.  Memang jelas sekali kalau kemacetan lalu lintas yang membuat kesal siapapun adalah dampak dari hadirnya pabrik-pabrik. Sedangkan dilain pihak, pabrik-pabrik itu, gak bisa dipungkiri siapapun, karena telah merekrut ribuan pekerja, secara efektif (sebetulnya masih bisa jauh lebih efektif lagi) telah menurunkan angka pengangguran dan mampu meningkatkan daya beli masyarakat. Lupakan soal kritik orang-orang yang merasa pabrik-pabrik itu terlalu mengekploitasi wanita, gajinya gak sebanding dengan jam kerja, atau apalah. 
Coba lihat wajah perempuan-perempuan muda sepulang kerja dari pabrik-pabrik itu. Gak berlebihan kalau kita katakan bahwa mereka tampak ceria. Betul. Ceria dan sumringah.. 

Sekarang, buat siapapun yang masih mengaggap rendah pekerja-pekerja pabrik. Coba buat sesuatu yang lebih baik dari pabrik-pabrik itu!! Bisa tidak?? sehingga angka pengangguran berkurang, daya beli masyarakat meningkat, dan wajah perempuan-perempuan setelah seharian bekerja jadi sumringah dan penuh dengan harapan.