Pasir pantai

Akhir-akhir ini agaknya pikiran saya tentang pantai sedikit berubah. Dan setelah merindukan pantai sedemikian rupa, akhirnya bisa ketemu lagi dengan hamparan pasir yang jadi batas antara daratan dan laut.






















Sudah dua tahun, dan tahu-tahu, seperti sebuah papan yang terangkat, keluarlah semua hal yang tersembunyi di bawahnya. Pantai yang sangat tidak asing itu seperti berubah mukanya dan memunculkan air wajah aslinya. Tapi ekspresinya mirip seseorang yang bertahun-tahun lalu pernah jadi teman akrab, dan sekarang jadi orang asing yang punya tatapan sinis. Sehingga tidak ada lagi ramah tamah, pantai yang saya rindukan berubah jadi tempat segalanya tumpah. Dan kemarahan yang membatu entah pada siapa dan karena apa, terlalu menerobos seenaknya, dan tumpah menerjang segalanya. Sisa-sisa tumpukan sampah-nya masih berserakan di sepanjang pantai-pantai itu. Dan kemungkinan pada hari rabu nanti sisa-sisa sampah itu akan membuat saya malu saat saya datang lagi ke sana karena adanya satu urusan yang aneh dan penting dalam satu waktu yang bersamaan.

Semuanya, tiba-tiba lepas begitu saja karena dua tahun rupanya waktu yang cukup lama. Tidak pernah saya sangka sebelumnya, kalau dua tahun yang singkat ini dalam sisi lain bisa terasa begitu panjang. Waktu berbicara dengan penuh basa-basi dan sangat bertele-tele, atau memang kenangan yang dibuatnya dengan seenaknya, entahlah, apa harus di hapus selagi hangat, atau dibiarkan terus tergantung-gantung dihalaman rumah sampai dingin dan membekukan. Kenangan-kenangan yang dibatasi oleh seonggok kekosongan selama setahun penuh dan seonggok hal aneh lainnya selama setahunnya lagi, menjadikan sebuah sumbat dari aliran sungai yang berdetak dalam putarannya jadi sulit bergerak dengan liar. 

Lalu,
kenapa menjadi betapa sunyi nya pantai itu? Kenapa ia jadi menatap dengan tatapan yang sinis? 
Mungkin ini adalah wajahnya yang asli yang sengaja ia tutup-tutupi dengan angin sepoi yang tidak pernah hilang pesonanya walaupun di tengah terik, dan oleh pasir halus serta matahari terbit dan tenggelam yang amat menawan. Wajahnya jadi begini jelas sejelas birunya dan secemerlang putih busa ombak. Dan langit hitam.

Ah,, mimpi, kalau hancur, kenapa seketika jadi debu ??

Jadi, aku rasa ini semua adalah semacam akhir dari permulaan. Dari berbagai jenis tamparan yang pernah aku rasakan (bahkan dalam arti yang sesungguhnya), tamparan yang sangat menyakitkan dan tidak kunjung bisa dilupakan perihnya ini, dalam beberapa sisi, itu pun setelah melupakan sisi paling menyedihkannya, terkandung kenikmatan aneh yang secara tidak langsung membuat hari-hari dan malam yang dingin, bahkan yang begitu panas, menjadi kabur. Sepertinya semua samar-samar dan pertanyaan-pertanyaan yang terus memburu dengan membabi buta akhirnya mulai betemu titik terangnya. Samar-samar yang begitu indah ini, lebih terasa terutama jika rasa perih yang berada disela-selanya terus-menerus diingat tanpa henti.


Nah, kalau ini adalah akhir dari sebuah permulaan, maka permulaan apa yang (demi Tuhan) tidak susah payah aku bangun? walaupun berdiri di tengah-tengah keterlambatan yang memuakkan, sehingga tempak seperti mencoba membangun kapal disaat banjir telah datang dan memendam rumput beberapa kaki dan memendam malam-malam yang coba orang lupakan dengan sekedar tidur di atas genting basah untuk dapat terlompati begitu saja dinginnya, dan tahu-tahu siang datang. Malam yang sangat memualkan perut.

Tapi Tuhan sebetulnya sudah tahu, dan aku pun agaknya mendapati sedikit keraguan walaupun dengan susah payah, tanpa henti, setiap pagi terus-menerus meneriakan mimpi yang lahir prematur dan terlanjur terbenam dalam ketertinggalan yang amat jauh. Seberapa kerasanya aku mengejar dengan rasa semangat (dengan rasa semangat tinggi seorang cendikia yang baru saja menemukan vaksin untuk menyelamatkan jutaan nyawa) justru ketika hilang menjadi serupa titik kecil yang hampir tidak kelihatan lagi, aku merasa seperti ditampar dengan tamparan yang sangat hebat. lalu tamparan itulah  yang akhirnya memunculkan sedikit kenikmatan, kenikmatan berupa berlari-lari sembari tertawa bahagia didalam reruntuhan kota yang memang tidak pantas untuk berdiri. 

Ah,, mimpi, kalau hancur, kenapa seketika jadi debu ?? tamparannya begitu memuakkan..
Ada perbedaan jelas antara kritikan kosong gak guna, masukan yang bermanfaat, dan pandangan negatif yang 'membunuh'..

Where is this?

Musik dangdut yang mengalun indah di radio kemerosok angkot ini emang rupanya jadi suatu kemewahan tersendiri. Paling tidak menurut si pemilik angkot, yang keliatannya bahagia sekali. Saya memang gak suka lagu dangdut. Hidup di tengah orang-orang yang secara gamblang merasa ‘gak banget’ dengan jenis lagu itu, saya jadi terbawa-bawa arus. Sebetulnya saya emang gak peduli sama dunia musik dan hiburan kecuali film,Tapi oke lah. Saya akui lagu dangdut di tengah bisingnya lalu lintas kota kecil Cibadak, mungkin jadi satu-satunya hiburan yang bisa saya dapatkan setelah walkmen yang saya punya suaranya tenggelam ditelan keramaian.

Lagu dangdut, apa lagi yang jadul, pasti jadi jenis musik terakhir yang mau saya dengar. Tapi lupakan soal gendangnya yang bertalu-talu riang, suara organ tunggal konvensional dengan melodi melayu kental, atau suara penyanyinya yang cempeng dibuat-buat dan sangat dipaksakan itu. Saya baru tahu kalau lagu dangdut ternyata punya lirik yang dalem banget. Saya sering dengan tidak sengaja mendengar lagu dangdut ‘modern’ di angkot-angkot. Kesan yang muncul adalah betapa tidak berbobotnya jenis musik ini. Liriknya tidak bermakna. Misalnya, dalam suatu lagu dangdut yang pernah saya denger, si penyanyi dengan enjoy menceritakan pengalamannya kehilangan keperawanan karena kebablasan, lalu hamil dan baru ketauan setelah tiga bulan kemudian. Begitu enjoy. Begitu lugas seakan sedang menceritakan pengalamannya pergi ke rumah nenek. Ayolah! Kenapa hal semacam itu harus diketahui orang lain?

Hingga pada malam itu, di tengah kemacetan saya dipertemukan dengan dangdut yang aga jadul. Penyanyinya siapa lagi kalau bukan legenda Rhoma Irama. Supir itu sepertinya penggemar nomer wahid. Satu album di putarnya. Macet pun jadi gak kerasa. Setelah mendengar beberapa lagunya, saya terdiam dan coba mencerna makna dari lagu-lagu itu. Dalem ternyata. Rupanya pak Rhoma Irama ini punya bakat membaca kehidupan dan memahami manusia secara mendalam. Lagunya ibarat artikel sosiolog tentang kehidupan urban yang kehilangan arah. Dalllem banget.

Jadi, intinya saya baru sadar ternyata musik dengan jenis apapun, semuanya tergantung pada lirik yang terkandung. Saya bukan pecinta musik. Saya gak tau apa-apa soal musik selain bisa main gitar serampangan. Tapi saya tau kalau nyawa dari sebuah lagu adalah lirik. Bukan persoalan jenis musiknya apa, tapi apa maksud liriknya. Gak jarang saya mendengar lagu-lagu pop, rock, atau sejenisnya yang dianggap sangat ‘gaul’, ternyata jauh lebih gak berbobot dari pada lagu dangdut tentang kehilangan keperawanan yang suatu hari saya dengar itu. Juga lagu-lagu barat. Banyak banget lagu yang setelah saya translate, meaningless. Yang bagus cuma musik sama suara penyanyi nya aja yang hot. Apalagi kalau video clip nya keren dan digemari remaja.

Yang sering sayadenger, lirik lagu hampir mirip semua. Putus cinta. Dan ajaibnya, laku bukan main. Gak heran, karena lagu-lagu putus cinta ternyata bisa mengobati mereka yang lagi bermasalah soal cinta, dan orang yang kehilangan selera makan karena putus cinta jumlahnya luar biasa banyak. Tapi gak apa lah, emang saya akui banyak lagu gak berbobot kalau di denger, musiknya yang kata orang-orang mirip suara malaikat, bisa menimbulkan efek manis. Kadang meningkatkan percaya diri tiba-tiba, bahkan jadi berbunga-bunga seakan baru di tembak oleh Ronan Saorsie. Bagus sekali jika dibuat sebagai alat buat sejenak melupakan realita yang gak enak.

Semua hal ada buruknya, tapi gak bisa terus-menerus di lihat buruknya. Dan amat sangat buruk jika buruknya dilupakan dan terus-menerus diliat baiknya. Di nikmati mentah-mentah. Terlalu tenggelam dan terbuai sama rayuan musik yang indah sering kali membuat saya lupa keadaan. Lupa dimana saya berdiri. Lupa ada dimana ini. Seakan sedang di kipas-kipasi supaya bisa tidur lebih lama dan mimpi lebih indah. Hasilnya, tidak mau bangun dan berbuat lebih untuk realita yang ada, yang amat bertentangan dengan lirik lagu-lagu gak berbobot itu.

Dirty realism spread around us...!