---

kamu tidak pernah tahu kalau bumi itu bulat. Iya?? bahkan kamu fikir bulan yang setiap malam bercahaya seperti bola api hanya sekedar,, bola api yang bercahaya yang tuhan gantungkan agar malam hari tidak begitu pekat. Kemudian orang-orang tua berkeliling disekitar api unggun dan saling menceritakan dongeng yang susah payah mereka fikirkan. Dongeng-dongeng bodoh mengenai takhayul. Kau pasti percaya takhayul kan? Dau kau fikir takhayul itu jadi kenyataan sekarang.
Kau terikat disini bersama manusia-manusia kurus. Terikat dan terombang-ambing di atas papan raksaksa yang mereka sebut perahu. kamu juga tidak pernah mengerti kalau air bisa sebanyak di lautan. perbukitan tempat kau tinggal begitu jauh dari laut dan kau belum pernah pergi lebih dari beberapa langkah melintasi rumah-rumah. Yang kau tahu hanya hutan-hutan itu. Hutan-hutan yang mengkhiyanati nasib mu.

orang-orang yang mengikatmu bertubuh besar dan berwajah keras seperti batu. Kulitnya kecoklatan karena terlalu lama terbakar sinar matahari dan mata nya berwarna hitam. Tatapan mereka begitu dalam.
Sedalam lautan ini.
Segelap langit malam ketika bulan tidak muncul dan membuat anak kecil mu menangis ketakutan.

Beberapa saat lalu kau melihat lusinan kepala terlepas dari raganya. Dan kau menjerit. Kau ketakutan. Ya, aku tahu itu. Apalagi saat darah yang berwarna merah terciprat mengenai rambutmu yang indah. Mengotori wajahmu yang cantik. Kau menangis. Lalu kau mencoba menahan agar perutmu yang mual tidak mengeluarkan isinya, tapi kau tidak sanggup lagi. Kemudian kau pingsan diatas muntahan mu sendiri.
Kini kau telah sadar dan terikat di antara puluhan manusia yang tidak kau kenal.

Langit mulai gelap. Ada bulan disitu. Bisakan kau lihat? sebuah bola api yang Tuhan gantungkan agar anak-anak kecil tidak ketakutan karena gelap. Kau heran. Aku bisa melihatnya dari wajahmu. Tentu saja kau heran karena bola api itu entah kenapa ukuranya menjadi kecil. berbeda dengan yang terlihat di tempatmu beberapa malam lalu. Tapi aku juga tahu kalau kau juga kagum karena titik-titik bercahaya berjumlah jutaan tergantung di langit.
Aku terdiam. Kau menangis lagi.

Seseorang mendekati mu. Pria bertubuh besar dengan besi panjang yang tajam di tangan kirinya. Melepas ikatanmu lalu menarik rambutmu mu hingga kau kesakitan. Kau terseret di atas papan besar ini. Dan kau tidak berhenti menangis. Oh. Aku mohon berhentilah menangis. Berhenti membuatku merasa sakit..
Aku berlari mendekat. Berteriak pada orang itu. Pria dengan senjata itu menatapku dengan marah kemudian menyuruhku pergi. Kau kini terdiam lagi dengan heran melihat dua orang pria berpakaian mirip bertengkar dan saling berteriak. Aku ingin sekali menghujamkan besi tajam ke dadanya. Aku punya. Dan aku bisa.
Tapi itu sama saja membuat kepalaku terpenggal.
Kau tahu? pria kejam yang tadi menggusurmu itu adalah atasan ku. Ia telah bertahun-tahun manjadi penjaga tahanan dan aku adalah bawahannya. Aku ingin menangis. Aku bukanlah siapa-siapa selain pira yang juga kejam yang hanya terdiam melihat manusia-manusia menejerit saat punggungnya dicambuk. Andai aku bisa melakukan sesuatu.

Pertengkaran ini berubah menjadi perkelahian. Tanpa banyak fikir aku menghujamkan besi tajam kejantungnya. Kemudian merobek lehernya hingga kepalanya hampir terputus. Ia terjatuh. Sekarat diatas genangan darahnya. Lalu kau menatapku. Menatapku penuh tanya.
Terus menatapku sampai seorang pria lain yang melihat peristiwa ini menghampiriku kemudian memukul kepalaku hingga aku tidak sadarkan diri.

Matahari telah mucul. Bisakah kau kau lihat burung-burung camar yang menukik dilautan dan menyambar ikan-ikan malang? Kau masih menatapku berdiri di bawah tiang utama kapal dan dua orang bertubuh besar memegang kedua tanganku. Semoga kau tidak ketakutan melihat tubuhku yang penuh luka. Pria-pria bertubuh besar mengelilingi ku dengan tatapan penuh kemarahan. Tidak henti-hentinya mencambuk ku. Aku melihatmu menangis lagi.
Mereka mengikatku. Kini kita sama-sama terikat. Tapi mereka tidak mengikatku di tangan. Tapi dileherku. Aku terbatuk-batuk saat ikatan itu mencekik tenggorokanku. Perlahan mereka menarik tali yang mengikat leherku sehingga aku terangkat dari pijakanku. Aku meronta-ronta seperti ikan-ikan malang yang dijerat oleh cakar burung camar. Mendengus mengerikan seperti hewan yang sekarat.
Kau terus menangis. Kini kau mulai menjerit.
Aku mohon hentikan. Hentikan tangisanmu. Aku hanya mencoba tetap bernafas. Tapi tenggorokan sudah tidak sakit lagi. Aku tidak bisa merasakan apa-apa lagi. Bahkan aku sudah lupa cara mu memanggilku sepuluh tahun lalu.
Kini kau pasti sangat membenciku. Walaupun aku bisa mendengar jeritan mu aku tahu kau begitu membenciku.
aku tidak bisa merasakan apa-apa lagi. Aku tidak bisa mendengar tangisan mu lagi.
semoga saja kau sudah berhenti menangis.